Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Paul Ricoeur: Jalan Melingkar dalam Filsafat

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Paul Ricoeur: Jalan Melingkar dalam Filsafat
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ignas Kleden
  • Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), Jakarta

    Paul Ricoeur, atau lengkapnya Jean Paul Gustave Ricoeur, adalah nama seorang filosof Prancis kontemporer, yang di Indonesia barangkali dikenal tidak seluas Jean-Paul Sartre pada tahun 1950-an atau Michel Foucault pada tahun 1990-an. Akan tetapi kalangan intelektual dan akademis dunia mengakuinya sebagai salah seorang filosof yang, kalau bukannya terbesar, sekurang-kurangnya paling mengesankan pada abad ke-20, baik karena inovasi pemikiran yang dibawanya maupun karena luasnya cakupan bidang yang digelutinya. Pengaruhnya jelas tidak dapat diabaikan dalam studi filsafat, ilmu-ilmu sosial, linguistik, ilmu-ilmu budaya, ilmu sejarah, psikoanalisa, teologi, etika dan bahkan ilmu politik. Tidak mengherankan bahwa ketika dia meninggal pada 20 Mei yang lalu di kediamannya di Chatenay-Malabry, sebelah barat Kota Paris, tidak kurang dari Perdana Menteri Jean-Pierre Raffarin yang mengeluarkan pernyataan: "Hari ini kita tidak sekadar kehilangan seorang filosof. Seluruh tradisi humanis Eropa sedang berduka untuk salah seorang juru bicaranya yang paling berbakat."

    Seperti halnya para filosof lainnya pada abad ke-20, Ricoeur mencoba menemukan kembali aktualitas filsafat, setelah pekerjaan filsafat dalam menggarap metafisika (yaitu yang berhubungan dengan segala apa yang niscaya, tetap, dan tak berubah dalam alam dan kehidupan manusia) dianggap ketinggalan zaman dan tidak ada relevansinya untuk dunia sekarang. Filsafat sekarang diharuskan membuka dialog yang radikal dengan segala bidang ilmu pengetahuan yang membentuk kehidupan dunia modern, maupun dengan berbagai masalah yang muncul dari modernitas itu sendiri. Ini dilakukan dari dua jurusan. Dari satu pihak para ilmuwan mengajukan pertanyaan filosofis tentang alam maupun tentang manusia yang dicoba dijawab dengan menggunakan informasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang dilakukan oleh Anthony Giddens di Inggris dan Pierre Bourdieu di Prancis untuk ilmu-ilmu sosial, ataupun yang dilakukan oleh Carl Friedrich von Weizsaecker untuk ilmu-ilmu kealaman di Jerman. Dari jurusan lainnya, para filosof menyerbu masuk ke dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan ilmu alam dan memanfaatkan informasi ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan filosofis yang diajukannya. Jalan seperti ini ditempuh oleh Juergen Habermas di Jerman dan Paul Ricoeur di Prancis.

    Dilahirkan di Valence, sebelah tenggara Prancis, pada 27 Februari 1913, masa hidup 92 tahun menjadi dokumen tentang pengabdian Paul Ricoeur kepada pemikiran dan pengembangan filsafat. Menulis 20 buku dan kurang lebih 600 esai yang sangat berpengaruh, dia mengajukan beberapa pertanyaan mendasar yang menyibukkan dirinya dan merangsang penelitian filosof lainnya. Bertumbuh dalam lingkungan Protestan yang taat, dia sejak dini telah ditakdirkan untuk akrab dengan apa yang dinamakan penderitaan. Kehilangan ibu ketika dia berumur beberapa minggu dan kehilangan ayah yang gugur dalam perang ketika dia berusia dua tahun, Paul Ricoeur bertumbuh besar di bawah asuhan kakek dan neneknya dari pihak ayah, dibantu oleh seorang tantenya yang tidak berkeluarga. Kita tak tahu apakah latar belakang seperti ini yang membuatnya bertanya selama hayatnya tentang makna hidup, tentang siapa diriku dan bagaimana sebaiknya saya hidup, dan tentang identitas.

    Bagi seseorang yang semenjak masa bocahnya dikonfrontasikan dengan kenyataan mengapa dia hidup tanpa orang tua, pertanyaan-pertanyaan di atas bukanlah hal yang mengada-ada. Pada titik itulah dia berhadapan secara frontal dengan para filosof post-modernis yang cenderung meremehkan identitas (yaitu pertanyaan tentang siapa diriku) yang diperlakukan hanya sebagai hasil kebetulan dari hubungan-hubungan kekeluargaan atau relasi kekuasaan semata. Bagi Ricoeur, seseorang yang tidak dapat menjawab pertanyaan tentang siapa dirinya, tidak akan sanggup menjawab pertanyaan berikutnya tentang bagaimana semestinya dia hidup dengan baik. Pada titik itu pula dia secara kontroversial membedakan etik dari moralitas. Etik dalam pandangannya berhubungan dengan the question of good life dan karena itu bersifat teleologis. Hidup yang baik adalah hidup yang sejalan dengan apa yang dianggap sebagai tujuan (telos) hidup ini. Sebaliknya moralitas lebih berhubungan dengan the question of justice yang bersifat de-ontologis, di mana seseorang menjalankan sesuatu bukan karena hal itu dianggap baik dan menjadi kebajikan, tetapi karena hal itu dianggap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam arti itu hidup hemat adalah suatu yang baik, karena berhubung dengan tujuan untuk menjamin masa depan. Akan tetapi membayar pajak adalah sesuatu yang wajib karena diharuskan oleh undang-undang, dan menjadi masalah keadilan. Negara tidak dapat memaksa warganya untuk hidup hemat tetapi negara dapat dan harus memaksa warganya membayar pajak.

    Contoh di atas sekadar ilustrasi untuk sifat filsafatnya yang dinamakan sebagai filsafat ketegangan atau tensive philosophy. Dalam berbagai bidang yang diselidikinya dia selalu menunjukkan persaingan di antara berbagai kekuatan, yang tidak selalu menjanjikan sintesis baru, tetapi lebih merupakan dua kutub yang saling mengandaikan. Ketegangan itu tidak menghasilkan dualitas tetapi menghasilkan lingkaran hermeneutik yang tidak selalu bisa diatasi (apakah keseluruhan yang menentukan bagian-bagian, atau bagian-bagian menentukan keseluruhan?). Para pengritiknya dapat mengatakan bahwa ini jejak oposisi biner dari strukturalisme yang dicoba diatasinya. Tetapi oposisi biner yang bersifat ahistoris (kanan-kiri, depan-belakang, terang-gelap, dst.) oleh Ricoeur dijadikan dialektik yang subur dan penuh dengan jejak campur tangan manusia.

    Dalam politik dia melihat ketegangan antara power in common yaitu kesanggupan tiap warga untuk mengorganisasikan diri menjadi kekuatan, dan domination dalam negara yang selalu ditandai oleh pemisahan antara yang memerintah dan yang diperintah. Tujuan politik adalah berusaha memenangi power in common (yang selalu dimungkinkan) terhadap dominasi (yang tak terelakkan), karena politik, dalam pandangannya, adalah institusi sosial yang paling komprehensif yang memberi kemungkinan dan ruang gerak bagi institusi lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan, agama atau kesenian, dan sekaligus melindungi suatu institusi dari penindasan oleh institusi lainnya.

    Tentu saja mustahil memberikan sketsa tentang pemikirannya sejauh menyangkut ketegangan yang dibangun dalam filsafatnya ini sekalipun atas cara yang sangat disederhanakan. Yang jelas, sebagian besar bukunya yang terpenting sudah dalam judulnya menjanjikan ketegangan itu. Judul bukunya seperti Freedom and Nature: The Voluntary and Involuntary mengisyaratkan ketegangan antara manusia sebagai fisik yang takluk pada hukum-hukum biologis yang tidak bisa dilawan, dan manusia sebagai kehendak bebas yang dapat menentukan pilihan yang merdeka. Demikian pula Time and Narrative (tiga jilid) menunjukkan ketegangan antara waktu yang bersifat kosmologis yang linear (masa lampau, sekarang, dan masa depan), dan tak berubah-ubah, diperhadapkan dengan waktu yang dihayati dalam hidup manusia. Waktu kosmologis menjadi waktu manusia melalui sejarah, dan sejarah terbentuk karena narasi. Hal yang amat penting dalam narasi adalah penyusunan plot, yang tidak berarti lain dari menempatkan tindakan dan ucapan manusia dalam waktu kosmologis.

    Sebuah plot menggabungkan berbagai peristiwa yang tadinya tak berhubungan menjadi kesatuan dalam satu jangka waktu. Peristiwa-peristiwa dalam suatu plot tidaklah bersifat niscaya, karena duel antara Datuk Maringgih dan Samsulbahri dalam Siti Nurbaya bisa saja diubah menjadi semacam kompromi di antara mereka, apabila pengarang ingin mencari efek yang lain dari ceritanya. Namun, dalam suatu cerita yang berhasil, penggabungan peristiwa-peristiwa yang bersifat arbitrer oleh pengarang haruslah tampak sebagai sesuatu yang niscaya, karena kalau tidak ceritanya menjadi tidak meyakinkan. Maka plot merupakan sarana dalam narasi untuk mengubah waktu manusia (peristiwa yang direka oleh pengarang) menjadi waktu kosmologis (peristiwa-peristiwa itu seakan-akan terjadi secara alamiah). Sebaliknya sebuah kalender, agenda kerja, dan buku harian mengubah waktu kosmologis menjadi waktu manusia.

    Ketegangan antara waktu kosmologis dan waktu manusia dapatlah disejajarkan dengan ketegangan antara bahasa dan wacana. Bahasa, sebagai sistem, hanya bersifat virtual, tak terikat waktu, tanpa sasaran (self-contained), dan hanya menjadi prasyarat untuk komunikasi, tetapi tidak mengkomunikasikan apa pun, karena sistem bahasa hanya menunjuk hubungan antara tanda bahasa, tetapi tidak menghubungkan bahasa dengan dunia di luar bahasa. Wacana, sebaliknya, selalu terjadi pada suatu waktu yang tertentu, merujuk kepada seorang yang berbicara, menulis, mendengar, atau membaca, sanggup melakukan komunikasi, karena dia menghubungkan bahasa dengan dunia di luar bahasa. Sebuah wacana lahir dari ketegangan antara peristiwa dan makna. Peristiwa membuat suatu wacana terlaksana, tetapi makna membuatnya dipahami. Peristiwa segera berlalu, tetapi makna tetap tinggal. Politik Indonesia saat ini, misalnya, penuh dengan peristiwa yang hangat, tetapi semua itu barulah menjadi wacana kalau peristiwa-peristiwa itu yang segera berlalu meninggalkan makna sebagai endapannya. Tanpa makna maka peristiwa-peristiwa itu akan hanyut dalam waktu kosmologis yang terus mengalir tanpa meninggalkan jejak apa pun yang dapat kita pelajari.

    Bukunya yang terakhir dalam terjemahan Inggris terbit pada 2004 (teks Prancis terbit tahun 2000) dan diberi judul Memory, History, Forgetting. Judul dan isi buku itu bagaikan sebuah isyarat. Sejarah adalah pilihan antara mengingat dan berlupa. Kalau tak ada yang dikenang kita ketiadaan modal untuk hidup; kalau tak ada yang dilupakan, kita terlalu terbeban untuk maju. Itulah sebabnya, ketika mengembuskan napas terakhirnya pada 20 Mei 2005, setelah hidup yang panjang dan bahagia bersama Simone Lejas, istrinya, dan lima orang anaknya, kita tak tahu apakah sekarang dia sedang menikmati suatu saat besar untuk forgetting tanpa sejarah dan tanpa ingatan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus