Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semula bisnisnya garmen. Namun, setahun lalu ia tergiur ajakan seorang teman berbisnis film lewat pemancar gelap. Berbekal modal Rp 40 juta, Aheng, 40 tahun, membeli peralatan film seperti decoder, sim card, dan antena parabola.
Padahal, alamak, film-film yang dipancarkannya penuh adegan syur. Siarannya nonstop pula, 24 jam terus-menerus. Aheng menangkap tayangan film esek-esek dari luar negeri, kemudian memancarkan kembali ke tv milik para pelanggan. Saluran tv partikelirnya ia beri nama Blue Kiss.
Untuk menjaring pelanggan, Aheng memasang iklan di media cetak Ibu Kota. Tentu dengan bahasa samaran: saluran film untuk dewasa. "Bisnis ini seperti saluran Indovision. Tapi film yang saya jual berbeda dengan Indovision," kata Aheng, yang mengaku tak pernah mengurus izin untuk merelai film dari luar negeri maupun mengedarkannya.
Haris, warga Jakarta Barat, mengaku pernah menonton film esek-esek itu di layar kaca. "Waktu itu saya nonton di rumah teman. Memang ada adegan syurnya. Teman saya bilang dia langganan Blue Kiss," katanya.
Aheng tak menyadari bisnis batilnya itu telah dicium penyidik dari Divisi Perindustrian dan Perdagangan Polda Metro Jaya sejak April lalu. Mereka rupanya curiga setelah melihat iklan-iklan di media cetak itu. Dengan berpura-pura menjadi calon pelanggan, polisi mengontak nomor telepon yang tertera di iklan koran.
Dari seberang kawat, seorang laki-laki menjelaskan, "Untuk menjadi pelanggan, Bapak harus membayar Rp 3,8 juta dan iuran per tahun Rp 900 ribu. Pembayaran dilakukan setelah semua peralatan dipasang di televisi Bapak."
Namun, untuk menangkap, polisi perlu bukti. Perangkap pun disiapkan. Mereka meminta dua teknisi Blue Kiss datang memasang decoder, positioner, dan parabola di sebuah rumah di Cipondoh, Tangerang. Setelah semua alat terpasang, film esek-esek langsung muncul di layar kaca. "Gila, adegan begituan di siang bolong," kata polisi yang ikut dalam penjebakan.
Rupanya, Blue Kiss tak sendiri. Polisi menemukan kasus serupa di tiga alamat yang berbeda. Temuan itu segera dibahas di Polda Metro Jaya, dipimpin oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Komisaris Besar Sahrul Mamma. Wakil dari Majelis Ulama Indonesia dan pejabat Kementerian Telekomunikasi ikut diundang untuk menyaksikan film itu. Hasil rapat memutuskan tayangan itu melanggar kesusilaan dan menyebarkan pornografi serta melanggar izin penyiaran.
Perintah penangkapan segera dibuat. Aheng dicokok langsung oleh Kepala Unit Komisaris Polisi Moh. Saleh di sebuah rumah toko di Jalan Duri Utara, Tambora, Jakarta Barat. "Aheng tengah duduk-duduk bersama tiga karyawannya saat kami tangkap," katanya. Bersama barang bukti seperti parabola, decoder, kartu Blue Kiss, dan lain-lain, Aheng digelandang ke Polda Metro Jaya.
Pada saat hampir bersamaan, tim yang berbeda menangkap tiga tersangka lainnya. Liliani Ukardi, yang menjual film porno lewat Skynet, ditangkap saat memasang parabola di rumah Komisaris Polisi Sahardiyanto di perumahan Bima Duta Indah, Kota Legenda, Bekasi Timur.
Kemudian Chuah Sioe Luan dicokok di Jalan Muara Karang, Jakarta Utara. Sedangkan Rudi ditangkap di Jelambar Raya, Jakarta Barat. Dari tangan mereka polisi menyita puluhan antena parabola, decoder, receiver, positioner, kartu Blue Kiss, kartu Skynet, dan beberapa kartu Taiwan. "Para tersangka ini tak ada kaitannya satu sama lain. Mereka bekerja sendiri-sendiri," kata Komisaris Besar Polisi Tjiptono, juru bicara Polda Metro Jaya.
Namun, entah mengapa, para tersangka itu ternyata tak ditahan. Padahal mereka jelas-jelas melanggar berbagai peraturan tentang komunikasi, perfilman, penyiaran, dan kesusilaan. Menurut Tjiptono, mereka tak ditahan karena pemeriksaannya sudah selesai. "Kita akan mengambil keterangan saksi ahli. Setelah semua keterangan lengkap, kasusnya akan kami ajukan ke pengadilan," ujarnya.
Tak khawatir mereka kabur? "Kan ada jaminan mereka tak melarikan diri," kata Tjiptono.
Eni Saeni, Martha Warta, Siswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo