Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak dipromosikan Belanda pada 1920-an sebagai "Stad van Bloemen", harfiahnya "Kota Kembang", memang Bandung merupakan kota besar satu-satunya di Indonesia yang lekas sekali menerima mode dan gaya hidup yang datang dari belahan dunia Barat.
Tidak mengherankan juga mode perlawanan kaum muda era 1970 yang berpusat di pesisir barat Amerika, melalui semboyan "budaya tandingan" dan "antikemapanan" yang digaungkan oleh pemusik-pemusik rok di wilayah ituantara gagasan yang mereka sebut sebagai citra "psychedelic" dan pijakan yang mereka sebut "flower power"dengan cepat memode pula di Bandung.
Nama yang tadinya berbahasa Belanda itu kemudian diganti menjadi "Flower City". Ini dihubungkan dengan nyanyian populer Scott McKenzie, San Francisco: "If you're going to San Francisco, be sure to wear some flower in your hair." Diubah oleh anak-anak Bandung menjadi "Kalau kamu ke Bandung, taruhlah kembang-kembang di rambutmu, di janggutmu."
Penampilan yang seronok, berani, dengan warna-warni yang tajam, primitif, dan mengguncang iman, sewaktu-waktu bisa dilihat di jalanan. Mereka yang masuk ke perangkap mode "psychedelic" itu lantas diejek dengan sindiran yang sangat Sunda: "Kumaha we carana gelo atuh." Ini masalah menarik yang dilihat di bawah.
Mode pakaian seronok, nyentrik, gelo (untuk zaman itu), antara celana kembang-kembang yang di seberang samudra disebut "bell bottom" tapi anak-anak Bandung menyebutnya "cut-bray" maksudnya "di luhur ngarucut di handap ngajebray", kemudian jeans dengan merek palsu, dan kaus oblong warna-warni, semuanya bisa didapat di Bandung. Mode pakaian seperti itu dijual dengan harga banting di sebuah gang kecil yang menghubungi Jalan Asia-Afrika dan Jalan Dalem Kaum. Gang itu lantas disebut Pasar Kota Kembang. Termasuk Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., dan Yudhistira Ardi Massardi juga berbelanja baju di situ dari honorarium cerpen-cerpennya.
Yang tanggap melihat peluang bisnis itu tentulah pabrik kaus oblong. Tadinya kaus oblong hanya dipakai untuk tidur, dan semuanya putih, buatan Cina, cap lombok. Tapi, setelah tren kaus oblong sebagai pakaian sehari-hari kaum muda, yang notabene terpakai mewakili sikap antikemapanan tadi, bahwa kaus oblong lebih relaks, dan relaks merupakan isyarat-isyarat tersendiri dari slogan budaya tandingan tersebut, maka muncullah tukang-tukang kaus oblong di Bandung. Mula-mula, yang terbatas, dikenal khalayak luas di Cilaki. Setelah itu berdiri pabrik yang besar milik orang Santung di Ciroyom dan milik orang Hokcia di Cihampelas. Dan, dalam rangka memberi arti yang lebih wuwus akan sikap budaya kaum muda itu, maka permukaan di atas kaus oblong itu pun disablon antara brachylogia yang populer dan grafiti yang seru dan pating tlening di jalanan.
Salah satu kalimat paling populer dari gaung "flower power" itu, yang diserap dari semboyan-semboyan psychedelic oleh pemusik-pemusik rock penghujung 1960-an, bertalian dengan gerakan hippies di barat Amerika itu, adalah "Make love not war". Kata-kata ini pertama kali terlihat di tembok Jalan Dagokawasan elite sejak zaman kolonial, kawasannya para "meneer en mevrouw van door de oorlog", kawasan "goed voor pas getrouwde paar"tapi diejek oleh kaum muda pada 1972 sebagai Gang Dago, lantaran pada masa pemerintahan Wali Kota Otje Djundjunan, jalan ini dibagi dua sehingga menjadi sempit dan sulit dijadikan tempat bunuh diri oleh anak-anak muda yang ngebut di situ dalam keadaan high atau fly oleh obat bius.
Hebatnya, grafiti yang paling populer tadi kelihatannya dinalarkan di tembok sebuah SMA swasta di Jalan Naripan, tidak jauh dari Gedung Kesenian YPK. Anak-anak Bandung menyebutnya "SMA John Mayall" (John Mayall, pianis dan vokalis blues 1970-an dengan rambut panjang tergerai. Pada 2002 masih mengeluarkan album baru di bawah Eagle Records, The Bluesbreakers Stories). Di tembok SMA itu, grafiti "Make love not war" ditambahi kata-kata "I'am married, I do both". Entah siapa yang bikin. Hanya beberapa orang yang tahu di situ pernah nongkrong Isobel Joncourt dan Jose Buhler, sutradara dan aktor dari Théâtre O Genève.
Naga-naganya bahasa yang lugu, bebas, nyeleneh, tapi juga nalar, dari ciri kenakalan-kenakalan yang kreatif di jalanan pada grafiti-grafiti tersebut, merupakan ilham yang mengalir bagi perwajahan desain kaus oblong. Grafiti berbahasa Inggris yang meluas di Bandung memang diambil alih dari yang ada di seberang samudra.
Boleh jadi model grafiti yang berpindah ke desain kaus oblong di Bandung waktu itu, dan kemudian meluas ke Yogya, dipengaruhi oleh stiker-stiker yang pernah dipopulerkan sebagai bonus dari sebuah majalah kaum muda yang terbit di kota itu. Model itu tidak lepas dari pelopor dan penggagasnya, Maman H. Somanegara, waktu itu mahasiswa ITB, kini Deputi Bank Indonesia, yang kelihatannya paham benar soal selera dan greget kaum muda. Gagasannya itu serta-merta membuat oplah majalah itu naik tanpa dinyana dan pemilik SIT-nya merasa seakan berjalan di awan merah-jingga-lembayung.
Agaknya kata-kata berkesan dalam stiker-stiker itu menjadi ilham yang merangsang tukang kaus untuk memanfaatkannya. Selanjutnya model ini menjadi greget baru, berlanjut hingga kini. Dari masa awal itu telah terlihat bahwa kata-kata yang melekat dalam ingatan adalah yang nyelelek, antara bermain-main dan gila-gilaan. Salah satu yang menarik, gambar Ganesha dengan tulisan putih di atas hitam: "Institut Teknologi Indonesia Lembang". Tulisannya kecil-kecil, sedangkan singkatannya dihadirkan dengan huruf-huruf besar. Perempuan yang membaca singkatan itu biasanya melengos.
Kaus oblong dengan bahasa Inggris juga menunjukkan inklinasi yang sama. Salah satu grafiti yang disablon di kaus oblong adalah lambang miras Johnny Walker disertai tulisan "Jesus loves black and white, but he prefers Johnny Walker". Mau tak mau kalimat grafiti seperti ini menunjukkan pembuatnya adalah kaum muda yang terpelajar. Demikian pula bisa disimpulkan dari contoh grafiti yang dihimpun Nigel Rees (Whiteher Atrophy, The Graffiti File, Book Club Associates, London, 1979). Antara lain terbaca di sini: "Oedipus was a nervous rex, oral sex is a matter of taste"; "Liberté, egalité, fraternité, et maternité"; "Sex is bad for one, but it's very good for two"; "Fighting for peace is like fucking for virginity"; "TS Eliot is an anagram of toilets"; "Penis Angelicus, "Anus Mirabilis", dan seterusnya.
Apakala sifat-sifat nyelelek itu diejawantahkan oleh anak-anak di Bandungseraya melihat keadaan sosial yang berlangsung kasat mata di kotanya akibat perlintasan mode seronok psychedelic yang keruan membenturkan dua rasam: Timur yang asyik melulu berhakim-hakim pasal melestarikan tradisi dan Barat yang tak henti-henti berprosesmaka wujud tafsirannya di sini cenderung menjadi lebih sangar, lebih aje-gile, lebih edun-suradun. Realitas ini gerangan yang tengah diteliti oleh Mbak Ai Takeshita dari Jepang untuk disertasi S3-nya.
Di Jalan Tamblong, misalnya, ada tempat mangkalnya para gongli (sebutan untuk pelacur amatir, dari singkatan "bagong lieur" artinya "babi hutan yang pening"). Yang menarik diselisik di situ, tentu, adalah siapa gongli itu. Mereka tumbuh dari tempat-tempat pesta. Kata "pesta" di Bandung sejak zaman awal pop, dari "jive" ke "twist", diartikan sebagai rendez-vous dansa-dansi yang secara tidak langsung memuja budaya Amerika: sesuatu yang digemari sungguh oleh Bung Karno dalam pidato 17-annya, Manipol, 1959).
Awalnya, bisa saja gongli itu adalah grupis ("groupies", cewek-cewek negong yang membuka celana demi anggota grup musik yang dikaguminya). Mereka, dari jumlah tak terhitung, dan tak terdata di Jawatan Sosial, memang diri di Jalan Tamblong, dan menyewakan kelaminnya demi uang untuk bisa terus bermode seronok.
Arkian, keadaan seperti itu belum berubah saat ini. Sekarang, pada malam Minggu, cewek-cewek negong seperti itu bisa saja sekonyong menghadang mobil di Jalan Dago, lantas geal-geol menaikkan roknya dan menurunkan blusnya, kemudian, "Bagi duitnya dong, Om." Mereka tidak disebut lagi gongli, tapi "bondon". Dan lagu yang dulu dinyanyikan dengan takzim "Halo halo Bandung ibu kota Parahyangan", kini dinyanyikan Doel Sumbang, meniru grafiti di kaus oblong, "Halo halo Bandung ibu kota para Bondon".
Tak ayal, ada masalah di situ. Asal itu bukan katastrof dari bangsa terjajah 350 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo