DALAM waktu dekat ini ruang pengadilan kita bakal sibuk lagi dengan kasus-kasus pencemaran lingkungan. Sejumlah keluarga di Kecamatan Siak, Riau, mengajukan gugatan kepada PT Indah Kiat, produsen kertas dan pulp yang didakwa mencemari Sungai Siak. Sementara itu di Jawa Tengah, masyarakat di pinggir Kali Sambong, Batang -- dengan alasan serupa -- akan menggugat PT Indonesia Miki Industries, produsen vetsin, bihun, dan kopi. Di Aceh, sengketa antara PT Mobil Oil dan masyarakat setempat, juga makin meruncing. Pada kasus-kasus ini masyarakat akan didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH), serta berbagai LSM lainnya. Langkah itu memang sesuai dengan Era Penegakan Hukum Lingkungan (UU no. 4/1982), yang tahun lalu dicanangkan pemerintah, saat mengumumkan puluhan industri pencemar. Namun, sekaligus, kita kembali akan menjalani satu proses yang rumit, makan waktu, biaya, dan enerji, dengan efektifitas yang belum pasti. Kita tentu masih ingat hasil yang dicapai jalur litigasi ini pada beberapa kasus sebelumnya, misalnya, kasus PT IIU dan kasus Sidoarjo. Tidak adakah pilihan lain yang lebih mudah, murah, cepat dan efektif? Apalagi dari kasus-kasus yang pernah terjadi itu, ternyata aparat penegak maupun perangkat hukum lingkungan kita saat ini masih belum siap. Kita sebetulnya punya pengalaman lain, berupa pelajaran dari Dukuh Tapak, Semarang. Setelah menderita hampir 15 tahun akibat pencemaran, awal tahun lalu, penduduk akhirnya berniat menyeret sejumlah pabrik itu dan Wali Kota Semarang, ke pengadilan. Tetapi, setelah melalui satu proses -- termasuk ancaman boikot -- upaya gugatan itu urung. Sebagai gantinya, dibentuklah satu tim perunding yang terdiri atas wakil masyarakat dan LSM, industri, dan pemerintah. Dengan serangkaian perundingan, para pihak mencapai kesepakatan. Penduduk mendapat ganti rugi, meski tidak sebesar tuntutan. Rencana boikot LSM dibatalkan, industri menyanggupi mengolah limbahnya, dan pemerintah daerah melaksanakan program rehabilitasi lingkungan. Sejak peristiwa inilah, dalam kamus upaya penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia, kita mengenal istilah baru: negosiasi dan mediasi lingkungan. Yang menarik adalah mekanisme ini justru berkembang di Amerika, sebagai alternative dispute resolution (ADR). Agaknya orang Amerika yang sangat litiguous itu, mulai lelah dengan urusan pengadilan dan pengacara. Maka, sejak sepuluh tahun terakhir ini, ADR -- jalur penyelesaian sengketa di luar pengadilan -- makin dipilih. Di Amerika saat ini, bisa kita temui para mediator dan negosiator profesional. Banyak di antaranya mendirikan perusahaan sejenis law firm, sehingga menimbulkan sinisme dari para pengacara. Soalnya, tentu saja, karena berkurangnya lahan pencarian nafkah pihak yang terakhir ini. Lebih-lebih, untuk memasuki profesi baru ini, seseorang tak harus berlatar belakang hukum. Ia bisa seorang dokter, insinyur, ekonom, bahkan kalau di tempat kita termasuk kiai, ajengan atau wali nagari. Dalam banyak kasus terbukti cara ini lebih murah, fleksibel, dan efektif. Pada kasus Tapak pun, sebagai contoh lokal, dibandingkan kasus PT IIU, hasilnya lebih "memuaskan" para pihak. Kasus Tapak cuma perlu waktu 3 bulan berbanding 8 bulan pada PT IIU, prosesnya juga lebih sederhana. Cakupan kesepakatannya pun lebih luas, meliputi soal dari ganti rugi, pengolahan limbah, sampai rehabilitasi lingkungan. Lagipula, berbeda dengan proses pengadilan, pendekatannya musyawarah (nonadversarial) dan mufakat (win-win solution). Dengan begitu, tidakkah mekanisme demikian, lebih cocok untuk masyarakat Indonesia yang cinta damai dan senang mengalah? Bukankah, meskipun namanya keren, intinya adalah musyawarah mufakat juga? Bahkan Elissa J. Stern, seorang pakar ADR yang lama berkait dengan program pengembangan keilmuan negosiasi dan mediasi di Harvard Law School, Amerika, baru-baru ini meyakinkan para peserta Kursus Mediasi dan Negosiasi Lingkungan (diselenggarakan di Jakarta, oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dan Yayasan Dana Mitra Hukum) kalau orang Indonesia lebih pintar menerapkan mekanisme ini daripada orang Amerika. Di samping itu, sistem hukum lingkungan kita pun cenderung menganut azas keharusan (compulsory) bagi mekanisme "damai" ini, yakni pada pasal 20 UU no. 4/1982. Di situ dikatakan pembentukan tim tiga pihak (penderita, pencemar atau kuasanya masing-masing, dan pemerintah), untuk terlebih dahulu menyelesaikan sengketa. Bila tidak dicapai kata sepakat, baru penyelesaiannya dilanjutkan di meja hijau. Tetapi mekanisme ini bukan tidak ada kelemahannya. Sejumlah orang berpendapat, cara itu akan mematikan semangat perlawanan masyarakat, atas kesewenangan dan pelanggaran hukum. Pada saat kita ingin menegakkan wibawa hukum yang demokratis, dan mendidik masyarakat agar melek hukum, proses litigasi lewat pengadilan jelas lebih bermanfaat. Apalagi untuk masyarakat kita yang masih paternalistik, dan pemerintah masih senang dengan pendekatan command and control, kesetaraan sebagai syarat berlangsungnya proses negosiasi atau mediasi yang adil dan fair akan sulit pula dijamin. Sebaliknya, bagi kalangan industri, kalau sistem peradilan kita masih saja belum beres dan selalu bisa dibeli untuk memenangkan pihaknya, tentu tidak akan ada desakan bagi mereka untuk memilih jalur di luar pengadilan. Jadi, cara mana yang lebih tepat dipakai? Barangkali dua-duanya patut dikembangkan. Cuma, ada persyaratan yang telah pasti dan menentukan yang harus dipenuhi, agar mekanisme alternatif itu bisa efektif. Syarat itu berbunyi: hanya dan hanya jika penegakan hukum kita telah berjalan dengan efektif pula. Sekretaris Eksekutif YLKI, mantan anggota Tim Penyelesaian Kasus Dukuh Tapak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini