Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Peluang Harga Minyak Rendah

Pada 2008, ketika Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (NIC) menerbitkan laporan strategis dalam Global Trends 2025, prediksi kuncinya adalah dunia sedang menghadapi kompetisi konsumsi energi yang semakin ketat. Permintaan energi Cina sedang tumbuh dan sumber minyak dari non-OPEC, seperti dari Laut Utara, semakin menyusut.

14 November 2017 | 06.30 WIB

Peluang Harga Minyak Rendah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Tri Winarno
Peneliti senior Bank Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo


Pada 2008, ketika Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (NIC) menerbitkan laporan strategis dalam Global Trends 2025, prediksi kuncinya adalah dunia sedang menghadapi kompetisi konsumsi energi yang semakin ketat. Permintaan energi Cina sedang tumbuh dan sumber minyak dari non-OPEC, seperti dari Laut Utara, semakin menyusut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Setelah dua dekade dengan harga minyak yang relatif rendah dan stabil, harga minyak melambung lagi melebihi US$ 100 per barel pada 2006. Berbagai ahli menyebutnya masa peak oil atau cadangan minyak dunia telah mencapai puncaknya, sehingga produksi minyak semakin terkonsentrasi di Timur Tengah, yang biaya produksinya murah tapi rentan pergolakan politik dan keamanan. Bahkan Arab Saudi diperkirakan telah mengeksplorasi ladang minyaknya dengan kapasitas penuh, yang kemungkinan kecil menemukan ladang minyak baru dalam skala masif.


NIC tidak mengesampingkan kemungkinan kejutan teknologi, tapi berfokus pada teknologi yang salah. Mereka menekankan pada potensi energi terbarukan, seperti matahari dan angin. Padahal terobosan nyata adalah revolusi minyak dan gas dari serpih (shale oil) melalui hydraulic fracturing. Teknologi hidrolika patahan ini adalah proses ekstraksi minyak maupun gas dengan memberikan injeksi cairan bertekanan tinggi secara horizontal ke bawah lapisan batuan tempat gas dan minyak tersebut terjebak.


Walaupun teknologi ini bukan sesuatu yang baru, penggunaannya pada bebatuan serpih adalah sesuatu yang baru. Pada 2015, lebih dari separuh produksi gas alam di Negeri Abang Sam berasal dari gas serpih dan pangsanya semakin meningkat secara signifikan.


Limpahan produksi gas serpih telah mengubah wajah Amerika, dari pengimpor menjadi pengekspor energi. Departemen Energi Amerika memperkirakan negeri itu memiliki cadangan 25 triliun meter kubik gas serpih. Jika dikombinasikan dengan cadangan minyak dan gas lainnya, ini akan bertahan sampai dua abad. Badan Energi Internasional memperkirakan, pada 2020, Amerika Utara akan mengalami swasembada energi. Di Amerika, fasilitas pengemasan gas alam cair (LNG) impor telah diubah untuk kebutuhan ekspor gas.


Pasar gas dunia juga telah mengalami transformasi. Dulu, pasar gas dibatasi oleh ketergantungan pada pipa gas. Tapi, dengan LNG, pemasaran gas semakin fleksibel. Pada 2005, hanya 15 negara yang mengimpor LNG. Sekarang, jumlahnya mencapai tiga kali lipat. Selain itu, skala ekonomi yang lebih kecil untuk sumur gas serpih membuat produksinya lebih responsif terhadap fluktuasi harga pasar.


Melimpahnya gas serpih meningkatkan kekuatan Amerika. Menurut pakar dari Harvard, Meghan O’Sullivan, dalam bukunya, Windfall, revolusi gas serpih mempunyai sejumlah implikasi bagi kebijakan luar negeri negara itu. Hal tersebut memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi impor yang berujung pada perbaikan neraca pembayaran. Tambahan pendapatan dari penghasilan pajak gas serpih meringankan anggaran pemerintah.


Ada pandangan, semakin mandirinya Amerika dalam soal energi, semakin menjauh dia dari Timur Tengah. Pendapat ini mengecilkan makna ekonomi energi. Gangguan besar, seperti perang dan serangan teroris yang berakibat terhentinya aliran migas yang melewati Selat Hormuz, akan memicu kenaikan harga yang sangat tinggi di Amerika, Eropa, dan Jepang. Di samping itu, Amerika punya kepentingan selain minyak di kawasan tersebut, seperti non-proliferasi nuklir, proteksi terhadap Israel, hak asasi manusia, dan pengendalian terorisme.


Amerika juga dapat menggunakan senjata minyaknya untuk menekan Iran agar menghentikan program senjata nuklirnya. Tapi keberhasilan itu bergantung pada kemauan Arab Saudi untuk mengganti ekspor minyak Iran, yang sekitar 1 juta barel per hari. Amerika juga dapat menekan negara-negara seperti Venezuela untuk menggunakan migasnya guna mempengaruhi negara-negara di sekitar Karibia. Singkatnya, telah terjadi pergeseran tektonik dalam geopolitik energi.


Mengingat kecenderungan harga minyak yang rendah, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan Indonesia. Pertama, harga minyak yang rendah sangat menguntungkan perekonomian domestik, terutama karena Indonesia sudah menjadi net importir minyak. Turunnya harga minyak akan memperkecil harga yang harus dibayar pemerintah untuk mengimpornya dalam kuantitas yang sama. Tapi, karena sebagian besar impor migas adalah bahan bakar minyak (sekitar 70 persen), perlu perluasan pembangunan kilang minyak agar Indonesia cukup mengimpor minyak mentah saja.


Kedua, Indonesia juga harus gencar memanfaatkan revolusi gas serpih karena punya ladang minyak, baik yang tua maupun yang masih produktif, untuk direvitalisasi menghasilkan gas serpih. Ketiga, pola konsumsi energi nasional harus didorong pada energi yang semakin mengurangi konsumsi minyak dan menekankan pada konsumsi energi lain, khususnya gas. Kalau tiga hal itu dilakukan dengan segera, ketahanan energi nasional akan mudah menjadi kenyataan.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus