Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksanaan uji klinis fase kedua vaksin Nusantara tanpa seizin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan pembangkangan terhadap kaidah medis. Agar tidak semakin kebablasan, Kementerian Kesehatan selaku otoritas medis seharusnya segera menghentikan proses pengembangan vaksin yang digagas bekas Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang tidak ada larangan bagi orang, lembaga pemerintah, ataupun swasta untuk berikhtiar mencari alternatif vaksin guna mengatasi pandemi Covid-19. Apalagi stok vaksin saat ini masih jauh dari target vaksinasi nasional, sebanyak 181,5 juta penduduk. Namun penelitian bakal vaksin apa pun harus tertib, mengikuti kaidah klinis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti disyaratkan BPOM sebagai otoritas penguji vaksin baru di Indonesia. Hanya dengan melewati tahapan pengujian yang benar, vaksin bisa diharapkan memenuhi syarat keamanan, khasiat, dan mutu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polemik vaksin Nusantara tak perlu terjadi bila sejak awal Terawan sebagai penggagas mengikuti ketentuan BPOM. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Baru melewati uji klinis fase pertama, Terawan sudah mengklaim vaksin tersebut mujarab dan lebih unggul dari vaksin Covid-19 lainnya. Pernyataan sepihak Terawan itu menyesatkan. Seharusnya vaksin baru dinyatakan berkhasiat setelah melewati tiga fase pengujian klinis.
Berdasarkan kajian sementara BPOM, vaksin Nusantara ternyata sarat masalah. BPOM menemukan bahwa hasil uji klinis fase pertama perihal keamanan dan efektivitas vaksin Nusantara belum meyakinkan. Vaksin Nusantara belum terbukti bisa meningkatkan antibodi untuk melawan virus Covid-19. Vaksin berbasis teknologi sel dendritik yang bersifat individual itu pun tidak cocok untuk Indonesia, yang membutuhkan jenis vaksin massal.
Ketentuan bahwa bakal vaksin harus diuji secara terbuka juga belum dipenuhi vaksin Nusantara. Misalnya, data hasil uji klinis fase pertama disimpan rapat-rapat di server Aivita Biomedica Corporation, perusahaan Amerika Serikat yang menyokong penelitian ini. BPOM dan ilmuwan independen kesulitan mengaksesnya. Padahal, dalam pengembangan vaksin Covid-19 lainnya, semua peneliti melaporkan dan mempublikasikannya secara luas.
Penyematan kata Nusantara pada vaksin ini sejatinya merupakan klaim yang berlebihan. Sebab, calon vaksin ini bukanlah "inovasi anak bangsa" seperti yang diklaim Terawan dan pendukungnya. Teknologi sel dendritik merupakan hasil penelitian ilmuwan Amerika. Bahan baku dan peralatan untuk membuat vaksin Nusantara pun dibeli dari Negeri Abang Sam. Walhasil, dalih sejumlah anggota DPR dan bekas pejabat pemerintah bahwa mereka menjadi relawan demi mendukung vaksin dalam negeri terdengar seperti khayalan.
Pemerintah tidak perlu berjudi dengan mendukung pengembangan vaksin Nusantara yang belum jelas pangkal dan ujungnya. Sumber daya dan anggaran yang terbatas sebaiknya dialihkan untuk program vaksinasi yang sudah jelas-jelas saja. Kalaupun hendak mengembangkan vaksin "dalam negeri", pemerintah sebaiknya mendukung sepenuhnya program vaksin Merah Putih, yang lebih dulu melibatkan sejumlah lembaga riset dan perguruan tinggi yang lebih kredibel.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo