Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pemerkosaan, antara

Tim Gabungan Pencari Fakta belum juga berhasil menyusun sebuah kesimpulan. Ada pertentangan di dalamnya. Satu cara penyelesaian: panggil tim PBB.

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEDAKAN keras berita terjadinya pemerkosaan massal di Indonesia, 13-15 Mei lalu, kini mulai lirih. Sebab, mencari bukti pendukung di lapangan ternyata tidak mudah. Seperti pengakuan seorang wartawati Singapura yang bertugas di Jakarta, "Begitu banyak info awal yang masuk, tetapi ketika ditelusuri ternyata buntu."

Barangkali itu pula Tim Gabungan Pencari Fakta mengundurkan tenggat untuk mengumumkan hasil temuannya dari jadwal semula, Jumat lalu. Tim yang dibentuk oleh pemerintah dan dua pertiga anggotanya berasal dari kalangan non-pemerintah ini rupanya pecah di dalam. Setelah melakukan penyelidikan selama tiga bulan, ke-18 anggota tampaknya belum mendapat kata sepakat dalam menyimpulkannya. Yang jadi sebab (tapi tak diumumkan terbuka) adalah perbedaan soal jumlah korban yang telah didata dan kategori penggolongannya. Juga ada soal sejauh mana tuduhan dapat dilontarkan kepada orang atau suatu institusi, berdasarkan data yang dijumpai di lapangan.

Perbedaan ini lahir karena ada berbagai kutub pemikiran. Secara sederhana kutub-kutub itu kita letakkan saja di dalam sebuah dikotomi, yang tentu saja sifatnya sementara, yakni antara kelompok "prosa" dan kelompok "puisi" (tentu saja kedua istilah ini dipakai di sini untuk memudahkan pembicaraan). Bagi kelompok Prosa, kesimpulan yang didapat haruslah berdasarkan data pendukung yang kuat. Jika katakanlah ada 400 laporan tentang korban pemerkosaan dan yang hanya dapat diverifikasi 16 orang, yang dilaporkan adalah yang 16 itu. Tentu dengan catatan bahwa jumlah sebenarnya kemungkinan besar lebih tinggi karena di mana pun di dunia kasus pemerkosaan umumnya tidak sepenuhnya dicatatkan. Apalagi bila definisi pemerkosaan itu dilonggarkan menjadi penyerangan seksual, pasti jumlah yang dapat dipertanggungjawabkan akan meningkat lagi, mungkin hampir 200.

Demikian pula bila ada tokoh atau institusi yang dituduh terlibat dalam pemerkosaan. Pelaporan harus didukung fakta yang matang. Bila tidak, diambil kebijakan untuk memegang prinsip praduga tak bersalah. Prinsip ini yang ditolak kelompok Puisi. Bagi kelompok ini, proses verifikasi pemerkosaan terlalu membebani korban yang sudah menderita trauma berat itu. Karena itu upaya menemukan mereka untuk diverifikasi saja sudah dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Maka ada kecenderungan untuk lebih mengandalkan laporan kendati tanpa verifikasi. Jumlah korban di sini bisa tinggi sekali, sampai 180 orang. "Kami bertugas mencari fakta, bukan bukti," itulah argumentasinya.

Argumentasi ini tentu bergantung pada kesepakatan tentang apa yang disebut "fakta". Namun ternyata ini salah satu alasan mengapa rapat-rapat Tim Gabungan Pencari Fakta berakhir buntu. Timbul kekhawatiran bahwa Tim hanya akan tiba ke "jalan tak ada ujung". Bila ini terjadi, konsekuensinya berat. Di luar negeri, nama Indonesia sudah begitu buruk, dan ini dialami oleh banyak orang Indonesia yang bepergian ke mancanegara. Di dalam negeri, sebuah persoalan besar yang menyangkut suasana curiga dan terancam dari pelbagai kelompok tidak akan punya lembaga penengah yang diterima bersama. Pengadilan jelas tidak. Dan kini Tim Gabungan gagal. Manajemen atas konflik akan bertambah kacau dan kehidupan bersama akan merisaukan. Mereka yang setuju kelompok Prosa akan menuduh kelompok Puisi sebagai para "ideolog" yang hanya mengandalkan keyakinan, bukan kenyataan--dan kalau perlu mendramatiskan keadaan yang sebenarnya. Sebaliknya mereka yang setuju kelompok Puisi akan menuduh kelompok Prosa hanya menyuarakan apa yang disukai pemerintah. Akhirnya, dialog akan sia-sia.

Jelas, ini harus dicegah. Salah satu caranya adalah dengan mengundang tim internasional yang profesional dan kredibel, misalnya saja yang bernaung di bawah special rapporteur atau pelapor khusus di PBB. Badan atau tim ini dapat menjembatani perbedaan antara kelompok Prosa dan kelompok Puisi. Terlibat dalam perbedaan itu adalah soal jumlah korban. Tim dari PBB itu harus mempersoalkan kembali apa tujuan yang hendak dicapai dengan pencarian fakta itu dan mengapa soal jumlah korban begitu penting dipertikaikan. Sebab, untuk membuktikan bahwa pemerkosaan benar terjadi, jumlah 16 atau 180 bukanlah perkara yang menentukan. Bahkan apakah pemerkosaan itu berlangsung secara sistematik, katakanlah sebagai cerminan politik anti-Cina, jumlah itu, besar atau kecil, kalah penting daripada data tentang alasan serta cara pemerkosaan itu dilakukan, dan juga tentang siapa yang melakukannya.

Buat sementara ini, baik kaum Prosa maupun kaum Puisi silakan mengingat kembali, apa sebenarnya yang menjadi tujuan dengan pencarian dan penyampaian fakta itu. Ada kalanya cara berubah menjadi tujuan, dan ada kalanya tujuan menghalalkan cara. Akhirnya, ada sedikit titipan pesan dari kami: tidak ada satu pihak pun yang bisa mengklaim monopoli kebenaran. Kebenaran itu ada di mana-mana, termasuk di tempat-tempat yang tidak kita sukai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus