Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menghafal itu Ketinggalan

Tapi metode diskusi juga belum sepenuhnya berhasil. Gara-gara dosen ngobyek?

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dunia kampus selama ini acap dikritik karena hanya mampu mengentaskan mahasiswa penghafal. Padahal, mahasiswa bukan cuma harus menimba ilmu dengan rajin menghafal, tapi juga mengerti teori dan praktek sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya.

Kebutuhan akan tenaga sarjana yang lebih berkualitas memang semakin terasa, khususnya pada fakultas kedokteran. Saat menangani pasien sesak napas, misalnya, bahkan seorang calon dokter tak cuma harus mendeteksi penyakit itu dengan teori-teori kedokteran. Ia pun dituntut untuk memahami aspek sosial, ekonomi, dan budaya pasien. Ini berarti, sang mahasiswa mesti mempelajari disiplin ilmu-ilmu lain. Karena itu, metode konvensional perkuliahan, yang disebut Subject Based Learning, semakin dianggap ketinggalan zaman. Soalnya, metode itu akan membuat mahasiswa kedokteran, yang dianggap lebih betah di kampus ketimbang mahasiswa fakultas lain, butuh waktu lebih lama lagi untuk kuliah.

Itu sebabnya, konsorsium ilmu-ilmu kesehatan Indonesia dan Organisasi Kesehatan Dunia sejak 1985 mengembangkan metode belajar diskusi aktif. Program yang bernama Problem Based Learning ini menuntut dosen supaya tak sekadar memberi kuliah di kelas, tapi juga berdiskusi dengan mahasiswa.

Diskusinya bisa berlangsung secara informal di ruang kerja sang dosen. Untuk itu, dosen dituntut selalu siap di kampus alias tak sering ngobyek di luar. Ia juga diharapkan aktif di klinik atau tempat praktek.

Supaya perkuliahan efektif, diskusi kelas dibatasi untuk 20 mahasiswa. Idealnya, satu dosen untuk 12 mahasiswa. Lama pengajaran antara satu dan dua jam. Bahan diskusi diambil dari buku-buku wajib. Selain itu, mahasiswa juga mesti rajin ke perpustakaan untuk membaca literatur atau aneka jurnal yang memuat penemuan baru.

Sejak 1994, metode baru mahasiwa aktif itu sudah dijadikan proyek percontohan di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ternyata, pola pengajaran yang baru itu, menurut Dr. Purnomo Suryantoro, Dekan Fakultas Kedokteran UGM, cukup bagus. "Kemampuan analisis mahasiswa jadi meningkat," katanya kepada L.N. Idayanie dari TEMPO.

Salah satu hasil yang nyata, kini mahasiswa kedokteran bisa praktek dengan orang sakit sebagai pasien. Sebelumnya, dengan program lama, mereka hanya bisa menggunakan marmut, ikan, atau katak sebagai hewan percobaan. Soalnya, tingkat penguasaan ilmu kedokteran yang mereka capai belum cukup untuk mendiagnosis tubuh manusia, yang tentu saja lebih rumit ketimbang binatang.

Enggan disebut ketinggalan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Jakarta, ikut menyambut program aktif tadi pada 1995. Menurut Dr. Siti Oentari Sri Widodo dari UI, program tersebut memang bisa meningkatkan daya kritis dan analisis mahasiswa. Sayangnya, modul itu di UI cuma berumur tiga semester. Lalu Siti Oentari buru-buru menepis anggapan bahwa metode itu gagal gara-gara dosen di Fakultas Kedokteran UI lebih sering ngobyek di tempat praktek.

Siti Oentari cenderung berpendapat bahwa hal itu lebih karena para dosen belum siap menerapkannya. "Dosen-dosen belum mampu berkomunikasi dengan baik. Mereka juga lebih suka menerangkan materi kuliah di depan kelas," ujarnya. Karena itu, UI mengevaluasi kembali metode aktif dan baru akan mencoba lagi pada tahun 2000.

Namun Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), terus mempersiapkan penerapan model aktif yang lebih sempurna. Berbagai bentuk dan cara kuliah lama ditinggalkan. Dosen kini dilatih untuk mengubah pola belajar dengan cara menerangkan dan menggiatkan kegiatan diskusi di kelas.

Prasarana fisik pun diubah. Tata ruang yang semula menampung 50 mahasiswa kini didesain hanya untuk 20 orang. Modul kuliahnya dirancang bersama dengan Universitas New Castle, Australia.

Namun tampaknya masih banyak hal lain yang mesti disiapkan. Menurut dr. Kabul Rahman, Pembantu Dekan I Fakultas Kedokteran Undip, belum bisa dipastikan waktu pelaksanaan program baru tadi. "UI saja perlu waktu lima tahun dan sampai kini belum rampung," begitu Kabul mengungkapkan kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Tak mudah, memang, membentuk mahasiswa berkualitas, apalagi kalau dana itu pas-pasan.

Ma?ruf Samudra, Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus