Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita perlu angkat topi terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum. KPU cukup berhasil menyelenggarakan pemilihan anggota legislatif dan presiden secara serentak untuk pertama kali. Meski ada masalah di sejumlah tempat, efeknya tak membesar, apalagi sampai mengganggu pelaksanaan pemilu secara nasional.
Sebanyak 2.249 tempat pemungutan suara di 18 kabupaten/kota memang tak bisa menggelar pemungutan suara pada 17 April lalu karena keterlambatan distribusi logistik. Ada pula faktor bencana alam, seperti banjir di Kota Jambi. Hanya, jumlah tempat pemungutan suara yang mesti mengadakan pemilu susulan itu cuma 0,28 persen dari 810 ribu TPS di seluruh Indonesia.
Insiden lain adalah pencoblosan ilegal surat suara di Malaysia. Ada pula para pemilih di Sydney, Australia, yang tak bisa men-coblos karena petugas terburu-buru menutup TPS. Semua ini harus menjadi bahan evaluasi bagi KPU.
Tak mudah memang menyelenggarakan pemilu untuk 192 juta pemilih di negeri ini. Dengan sistem lima surat suara—kecuali DKI Jakarta, yang tak memiliki DPRD kabupaten/kota—pemilihan harus digelar serentak selama satu hari. Di India, yang memiliki 930 juta pemilih, misalnya, pemilu memakan waktu enam pekan. Toh, dengan segala keruwetan pemilu di negara kita—kerap dianggap paling rumit sedunia—pelaksanaannya jauh dari konflik fisik.
Pemilu serentak merupakan pelaksanaan dari putusan Mahkamah Konstitusi lima tahun lalu. Mahkamah menyatakan pemilu yang terpisah tak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta meningkatkan transaksi politis antara calon presiden-wakil presiden dan partai. Dalam pemilu kali ini, transaksi tersebut masih terjadi, tapi sedikit berkurang dibanding pemilu sebelumnya.
Pemilihan serentak juga menghemat duit negara. Dengan penambahan sekitar 4 juta pemilih, anggaran pemilu hanya naik Rp 800 miliar dibanding pada 2014, yang nilainya Rp 24,1 triliun. Pemilu yang terpisah membuat KPU harus dua kali membayar honor petugas serta logistik dan distribusinya.
Maka niat sejumlah partai memisahkan lagi pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden patut ditolak. Alasan pecahnya konsentrasi partai dalam memenangi pemilu bisa di-atasi lewat pengaturan kampanye secara lebih baik. Coattail effect atau efek ekor jas pemilihan presiden terhadap partai asal calon presiden ternyata juga tak sebesar yang dicemaskan kalangan partai politik. Perolehan suara PDI Perjuangan dan Gerindra memang naik, tapi sejumlah partai lain juga berhasil meraih suara yang cukup bagus.
Yang amat mendesak untuk direvisi adalah aturan presidential threshold. Selama ini, kandidat presiden harus dicalonkan partai-partai yang menguasai minimal 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara dalam pemilu. Aturan ini menyebabkan pemilihan presiden jadi kurang menarik karena terlalu sedikit kandidat. Revisi aturan ambang batas diperlukan agar makin banyak tokoh yang bisa mencalonkan diri sebagai presiden. Publik pun akan diuntungkan karena memiliki lebih banyak pilihan.
Demi meningkatkan mutu dan kelancaran pemilihan umum, pemerintah sebaiknya pula segera menyiapkan pemilu secara elektronik. Voting elektronik akan jauh lebih simpel dan cepat ketimbang pencoblosan konvensional. Pemantauannya pun akan lebih efisien. Sistem ini bisa mempermudah KPU menyelenggarakan Pemilu 2024, yang lebih rumit karena pemilihan presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah akan dilakukan serentak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo