Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah empat kali pemilihan umum, proses pencalonan tampak tambah rumit dan berbelit. Lagi pula kursi di bawah Beringin itu kini tampak lebih nyaman sehingga diperebutkan banyak pihak. Pada pemilu pertama 1971, calon boleh dikatakan gampang didapat. Ketika itu, dewan pimpinan daerah (DPD) belum terkonsolidasi benar. Yang memegang kendali dalam penyusunan daftar calon adalah dewan pimpinan pusat (DPP). Pembagian kursi lebih memperhatikan unsur-unsur yang dulu menjadi cikal-bakal Golkar, seperti Kosgoro, MKGR, dan SOKSI.
Keadaan sedikit berkembang ketika Golkar dipimpin Amir Moertono. Pada Pemilu 1982, dibentuk Tim Sukses yang dimotori tiga jalur, yakni Menteri Dalam Negeri Amirmachmud, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI M. Jusuf, dan Amir Moertono sendiri. Tugas utamanya memenangi pemilu. Urusan menyiapkan kriteria dan daftar calon juga menjadi tugas tim ini. DPP lebih mendengarkan aspirasi daerah dibanding pada dua pemilu sebelumnya. Fraksi Karya Pembangunan di DPR diminta mengusulkan nama anggota Dewan yang masih dipertahankan.
DPD juga diminta mengusulkan nama-nama dari daerah. Namun kata akhir tetap di tangan DPP. Kriteria PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tak tercela) mulai diperkenalkan untuk menilai para calon. Setiap saat, DPP mengkonsultasikan calon anggota DPR/MPR dengan Ketua Dewan Pembina, sebelum daftar calon yang memuat 720 nama (dua kali kursi DPR) itu diserahkan kepada Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Tak ada gejolak yang berarti dalam proses pencalonan menjelang Pemilu 1977 atau 1982, ketika Golkar dipimpin Amir Moertono.
Dalam kepengurusan Sudharmono, demokratisasi pencalonan di Golkar makin menggelinding. Untuk 400 kursi yang diperebutkan, DPP menyusun 4.000 nama calon yang kemudian disodorkan ke 27 daerah pemilihan. Daerah kemudian diminta memilih 50 persen dari daftar itu atau mengusulkan nama baru. Asalkan jumlahnya sama, lima kali kursi DPR. Setelah itu, DPP menyusunnya menjadi 800 nama atau dua kali. Sebelum diserahkan ke LPU, nama-nama itu di-clear-kan dulu ke Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Fungsi tiga jalur lebih bersifat konsultatif.
Penyusunan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya oleh tiga jalur (Sudharmono, Menteri Soepardjo Rustam, dan Menhankam/Pangab L.B. Moerdani) kepada 11 pengurus harian DPP Golkar yang terdiri atas ketua umum, para ketua, sekretaris jenderal, bendahara, dan wakil-wakilnya. Mereka inilah yang kemudian paling banyak berperan, dari menetapkan syarat-syarat hingga kemudian menentukan kata akhir. Pada periode ini, kriteria pencalonan tingkat pusat diutamakan calon yang memiliki keseimbangan antara kemampuan dan pengaruh. Maksudnya agar wakil di DPR benar-benar bisa berbicara untuk menyuarakan Golkar dan paham apa yang diucapkan.
Tim sebelas, yang dimotori Sudharmono-Manihuruk-Sukarton, dengan lancar menyelesaikan daftar calon sebelum disetujui Ketua Dewan Pembina. Apalagi Sudharmono, yang ketika itu Menteri Sekretaris Negara, dapat lebih kerap mengkonsultasikannya dengan Presiden Soeharto, selaku Ketua Dewan Pembina.
Data ribuan kader tercatat rapi dan tim sebelas dengan mudah bisa mencomot mereka yang memenuhi kriteria. Empat ribu nama yang dipilih dari kader yang tercatat itu dikirim ke daerah pemilihan. DPD diminta menyeleksi dan mengembalikan ke pusat 2.000 nama atau lima kali kursi yang diperebutkan. Prosedur baru yang diperkenalkan kali ini adalah peran delapan koordinator wilayah. Lembaga ini diharapkan menjadi jembatan antara daerah dan pusat. Tugasnya memeras 2.000 nama itu menjadi 1.200 atau tiga kali 400.
Dalam proses menyaring itu, tentu saja ada nama yang terpaksa dicoret atau nama baru dimasukkan. Dari daftar nama panjang itu—lengkap dengan keterangan siapa dia si calon—kemudian dikutak-katik DPP (tiga jalur). Hasilnya adalah deretan daftar 800 nama calon di layar komputer.
Hasil susunan tiga jalur itu, setelah disetujui Ketua Dewan Pembina, sesuai dengan jadwal sedianya akan disahkan dalam rapat pleno DPP awal pekan lalu, untuk kemudian dikirim ke daerah pemilihannya. Seperti pemilu sebelumnya, para calon kali ini juga harus mendapat lolos butuh atau clearance. Mereka harus mengikuti penelitian khusus untuk mendapatkan surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 14 September 1991. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201406210032/ini-dia-calon-golkar-calon-golkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo