Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Setelah Kemenangan

Hasil hitung cepat pemilihan presiden 2019 memang menunjukkan kekalahan Prabowo Subianto, tapi Joko Widodo tidak bisa disebut unggul meyakinkan.

20 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika hasil pemungutan suara resmi kelak tak bergeser jauh dari angka hitung cepat lembaga survei, sang inkumben hanya unggul dengan selisih 1-2 persen dari kemenangannya lima tahun lalu.

Dengan demikian, hasil pemilihan 17 April 2019 tak hanya berarti pemberian mandat rakyat kepada Jokowi untuk menjadi presiden lima tahun lagi, tapi juga peringatan yang benderang agar dia mengubah kebijakan dan prioritas pemerintahan. Sebagai petahana yang punya kesempatan menyodorkan bukti kinerja ketimbang janji-janji belaka, persentase kemenangan Jokowi jauh dari mengesankan.

Hasil sigi lembaga survei menunjukkan Jokowi kalah di lebih banyak provinsi ketimbang lima tahun lalu. Untungnya, dia unggul di provinsi dengan jumlah pemilih besar, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini lagi-lagi menunjukkan banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Jokowi untuk masa pemerintahannya yang kedua.

Isu pertama yang mesti diperhatikan sang pemenang adalah perbaikan tata kelola ekonomi. Salah satu hal yang paling mendesak adalah subsidi energi yang terus memberatkan keuangan Pertamina dan PLN. Keengganan pemerintah melepas harga Premium sepenuhnya kepada mekanisme pasar, misalnya, jelas tak konsisten dengan janji kampanye Jokowi. Jika tak diubah, kebijakan subsidi energi seperti sekarang amat membebani neraca transaksi berjalan.

Pada periode kedua ini, Jokowi punya kesempatan mengesampingkan pertimbangan politis dalam pengelolaan ekonomi. Transparansi dan konsistensi akan membantu pelaku pasar merencanakan strategi. Sikap plinplan seperti yang ditunjukkan pemerintah dalam pengumuman kenaikan harga Premium dan penetapan daftar negatif investasi, misalnya, tak boleh lagi terjadi. Selain itu, badan usaha milik negara tak bisa terus dipaksa mengejar target pembangunan infrastruktur dengan mengabaikan pertimbangan pasar dan kondisi keuangannya sendiri.

Pembenahan juga harus dilakukan di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Penundaan kenaikan premi iuran tanpa alasan yang kuat—meski semua kalkulasi aktuaria menunjukkan perusahaan telah didera defisit—sangat berbahaya bagi masa depan program asuransi kesehatan universal ini. Setelah pemilu usai, pemerintah selayaknya bertindak lebih rasional.

Isu berikutnya adalah soal penegakan hukum. Pemerintah harus menjamin independensi lembaga penegak hukum, dari polisi, jaksa, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. Kesan bahwa pengusutan kasus pidana di kepolisian bisa dipesan sesuai dengan kehendak pemerintah memberikan sinyal amat buruk kepada orang banyak. Figur-figur yang memimpin lembaga penegak hukum seharusnya nonpartisan dan profesional. Jokowi tak boleh lagi menempatkan politikus sebagai jaksa agung.

Komitmen Jokowi soal pemberantasan korupsi juga harus diperkuat. Rongrongan terhadap efektivitas KPK lima tahun terakhir bisa terjadi karena Presiden tidak tegas melindungi lembaga itu. Dilakukan unsur polisi di dalam KPK, intervensi semacam itu mencederai integritas Komisi. Membiarkan KPK dilemahkan secara sistematis dari dalam berisiko memukul mundur gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Isu ketiga, yang tak kalah penting, adalah soal perlindungan hak asasi manusia kaum minoritas. Persekusi atas kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transeksual, pemeluk kepercayaan yang dinilai menyimpang seperti Ahmadiyah dan Syiah, serta kelompok marginal lain tak boleh lagi terjadi. Apalagi kelompok ini jelas menitipkan aspirasi mereka kepada Jokowi, bukan penantangnya.

Dominannya suara partai nasionalis pluralis, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Gerakan Indonesia Raya, dalam pemilu legislatif menunjukkan tren serupa. Kemenangan Jokowi dan partai-partai ini bisa ditafsirkan sebagai penolakan pemilih atas maraknya politik identitas yang mencoba membelah Indonesia selama masa kampanye. Jokowi harus menangkap tren elektoral ini dan berdiri paling depan memastikan perilaku intoleran dengan dalih apa pun tak punya tempat lagi.

Pengumuman resmi hasil pemilihan presiden jelas masih menunggu hasil penghitungan suara di Komisi Pemilihan Umum. Namun tak ada salahnya jika Presiden Joko Widodo dan barisan pendukungnya mulai memilah-milah prioritas kerja dan figur-figur yang bisa membantu di kabinet. Lima tahun kedua ini harus lebih baik daripada yang pertama. Tak selayaknya Jokowi menyia-nyiakan kepercayaan orang ramai ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus