Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Akhiri Impunitas Korporasi Perusak Hutan

Pemutihan kebun sawit ilegal ala UU Cipta Kerja terbukti menjadi celah korupsi. Akhiri impunitas korporasi perusak hutan.

 

15 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA dugaan korupsi dalam tata kelola sawit di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuktikan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja sama sekali tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, sebagaimana pernah diklaim oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2020. Sebaliknya, omnibus law Cipta Kerja justru menjadi pintu masuk bagi korupsi sekaligus ancaman terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu akar masalahnya terletak pada Pasal 110A dan 110B yang mengatur penyelesaian izin berusaha di kawasan hutan. Pemerintah mengklaim bahwa dua pasal tersebut merupakan solusi atas ruwetnya masalah tata kelola dan perizinan di kawasan hutan. Namun, sejak awal, pemerintah terlihat tidak berniat menghukum perusahaan perkebunan dan pertambangan yang beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Pasal-pasal ini lebih mengutamakan sanksi administratif ketimbang pidana, yang pada akhirnya justru menjadi bentuk pemutihan atau pengampunan bagi pengusaha yang melanggar aturan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan pengampunan terhadap pengusaha yang melakukan kejahatan di kawasan hutan telah lama berlangsung. Pada 2012 dan 2015, pemerintah menerbitkan dua peraturan mengenai tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan. Regulasi ini memberi kelonggaran waktu bagi perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan hutan untuk mengurus persyaratan administrasi. Akibatnya, perusahaan yang sebelumnya beroperasi secara ilegal di dalam hutan bisa memperoleh legalitas melalui izin pelepasan kawasan hutan.

Skema sanksi administratif ini memungkinkan perusahaan yang melakukan deforestasi secara ilegal demi membuka lahan sawit menikmati impunitas. Mereka tak tersentuh oleh hukum. Padahal, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, korporasi-korporasi tersebut telah merambah sekitar 3,37 juta hektare kawasan hutan untuk ditanami sawit—jumlah ini hampir 20 persen dari total luas perkebunan sawit di Indonesia.

Meski telah diberikan kesempatan pemutihan terhadap perkebunan ilegal di kawasan hutan, penyelewengan tetap terjadi. Dari 2.130 perusahaan yang teridentifikasi merambah hutan untuk sawit, hanya 365 perusahaan yang mengajukan pengampunan. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat bahwa hanya 155 perusahaan yang membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa provisi sumber daya hutan-dana reboisasi (PSDH-DR) sebesar Rp 648,8 miliar. PSDH-DR adalah pungutan untuk mengganti nilai intrinsik hasil hutan dan biaya penanaman kembali hutan yang telah ditebang.

Baca Liputannya:

Korupsi dalam proses pemutihan kebun ilegal ini terjadi karena kurangnya transparansi dari pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup tak pernah menjelaskan secara rinci data yang digunakan untuk menghitung luas konsesi, siapa pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner), formula denda yang digunakan, serta daftar sanksi yang telah dijatuhkan kepada perusahaan. Akibatnya, publik tidak dapat memantau kepatuhan korporasi atau menguji apakah denda yang dikenakan sesuai dengan kerusakan lingkungan dan biaya pemulihan. Proses yang tertutup ini mendorong terjadinya kolusi antara penyelenggara negara dan pengusaha.

Pemidanaan dan pencabutan izin terhadap perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal tidak bisa ditawar lagi. Jika pemerintah serius ingin menghukum perusahaan-perusahaan ini, mereka harus memperkuat efek jera dengan mempublikasikan aktor-aktor di balik korporasi sawit ilegal beserta sanksi yang dijatuhkan. Dengan adanya keterbukaan ini, masyarakat dapat turut memantau pemilik lahan yang tidak patuh serta mengawasi akuntabilitas penerimaan negara dari sanksi denda.

Membiarkan perusahaan perkebunan ilegal beroperasi tanpa hukuman sama saja dengan merelakan kerusakan lingkungan terus terjadi secara perlahan.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus