Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKARA dugaan korupsi dalam tata kelola sawit di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuktikan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja sama sekali tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, sebagaimana pernah diklaim oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2020. Sebaliknya, omnibus law Cipta Kerja justru menjadi pintu masuk bagi korupsi sekaligus ancaman terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu akar masalahnya terletak pada Pasal 110A dan 110B yang mengatur penyelesaian izin berusaha di kawasan hutan. Pemerintah mengklaim bahwa dua pasal tersebut merupakan solusi atas ruwetnya masalah tata kelola dan perizinan di kawasan hutan. Namun, sejak awal, pemerintah terlihat tidak berniat menghukum perusahaan perkebunan dan pertambangan yang beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Pasal-pasal ini lebih mengutamakan sanksi administratif ketimbang pidana, yang pada akhirnya justru menjadi bentuk pemutihan atau pengampunan bagi pengusaha yang melanggar aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan pengampunan terhadap pengusaha yang melakukan kejahatan di kawasan hutan telah lama berlangsung. Pada 2012 dan 2015, pemerintah menerbitkan dua peraturan mengenai tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan. Regulasi ini memberi kelonggaran waktu bagi perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan hutan untuk mengurus persyaratan administrasi. Akibatnya, perusahaan yang sebelumnya beroperasi secara ilegal di dalam hutan bisa memperoleh legalitas melalui izin pelepasan kawasan hutan.
Skema sanksi administratif ini memungkinkan perusahaan yang melakukan deforestasi secara ilegal demi membuka lahan sawit menikmati impunitas. Mereka tak tersentuh oleh hukum. Padahal, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, korporasi-korporasi tersebut telah merambah sekitar 3,37 juta hektare kawasan hutan untuk ditanami sawit—jumlah ini hampir 20 persen dari total luas perkebunan sawit di Indonesia.
Meski telah diberikan kesempatan pemutihan terhadap perkebunan ilegal di kawasan hutan, penyelewengan tetap terjadi. Dari 2.130 perusahaan yang teridentifikasi merambah hutan untuk sawit, hanya 365 perusahaan yang mengajukan pengampunan. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat bahwa hanya 155 perusahaan yang membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa provisi sumber daya hutan-dana reboisasi (PSDH-DR) sebesar Rp 648,8 miliar. PSDH-DR adalah pungutan untuk mengganti nilai intrinsik hasil hutan dan biaya penanaman kembali hutan yang telah ditebang.
Korupsi dalam proses pemutihan kebun ilegal ini terjadi karena kurangnya transparansi dari pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup tak pernah menjelaskan secara rinci data yang digunakan untuk menghitung luas konsesi, siapa pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner), formula denda yang digunakan, serta daftar sanksi yang telah dijatuhkan kepada perusahaan. Akibatnya, publik tidak dapat memantau kepatuhan korporasi atau menguji apakah denda yang dikenakan sesuai dengan kerusakan lingkungan dan biaya pemulihan. Proses yang tertutup ini mendorong terjadinya kolusi antara penyelenggara negara dan pengusaha.
Pemidanaan dan pencabutan izin terhadap perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal tidak bisa ditawar lagi. Jika pemerintah serius ingin menghukum perusahaan-perusahaan ini, mereka harus memperkuat efek jera dengan mempublikasikan aktor-aktor di balik korporasi sawit ilegal beserta sanksi yang dijatuhkan. Dengan adanya keterbukaan ini, masyarakat dapat turut memantau pemilik lahan yang tidak patuh serta mengawasi akuntabilitas penerimaan negara dari sanksi denda.
Membiarkan perusahaan perkebunan ilegal beroperasi tanpa hukuman sama saja dengan merelakan kerusakan lingkungan terus terjadi secara perlahan.