Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pendidikan Integral untuk Indonesia Emas 2045

Untuk mengimbangi kecerdasan buatan, kita perlu pendidikan integral yang mencakup semua daya luhur manusia.

26 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU kali saya ditelepon Suharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Ia meminta saya berbicara di depan pimpinan dan peneliti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang “Pendidikan di Indonesia Menjelang Indonesia Emas 2045”. Saya mengusulkan tema pendidikan integral. Paradigma baru ini kita perlukan, khususnya, untuk menyambut era kecerdasan buatan (AI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paradigma pendidikan integral mengacu pada gagasan manusia integral. Saya ingat Goenawan Mohamad mengirim video dengan catatan: “Seorang pakar memperingatkan bahaya AI bagi dunia di masa depan. Kecerdasan super yang bisa tumbuh dengan supercepat, bisa memproduksi sendiri AI lain yang lebih dahsyat—dan mungkin jatuh ke tangan yang mau menaklukkan bangsa-bangsa”. Sinyalemen Goenawan ini sebelumnya digaungkan Jack Ma, Stephen Hawking, Elon Musk, hingga Yuval Harari. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan integral adalah jawaban. Menurut saya, Indonesia perlu menerapkan paradigma integral yang sumbernya bisa diambil dari warisan masa sebelum era “modern”. 

Jika kita pelajari perjalanan ilmu pengetahuan sejak awal periode sejarah, umat manusia menggunakan cara-cara atau metode yang secara umum disebut mistis atau spiritual-transendental. Dalam metode ini, hubungan manusia dengan semua obyek dalam alam dicirikan oleh kebersatuan, interaksi, dan saling partisipasi di antara semua unsur. 

Karena itu, “maju ke masa lampau” adalah jalan bagi manusia selamat dan tumbuh dengan sejahtera. Caranya dengan mengembangkan daya luhur adi-indrawi dan suprarasional atau supralogis, yang tak dapat dikembangkan oleh AI—yang cara kerjanya terbatas pada algoritma rasional-logis. Termasuk di dalamnya mengembangkan kemampuan intuitif-kreatif, imajinatif, dan kemampuan menangguk kesadaran kognitif kosmik dan transendental.

Perlu dijernihkan di sini, yang saya maksud dengan intuisi bukanlah dianoia Aristotelian yang bersifat rasional, melainkan pengetahuan apriori atau swabukti (self evident). Mungkin, setidaknya sampai batas tertentu, ini mirip dengan gagasan Michael Polanyi tentang pengetahuan terpendam/tersembunyi (tacit knowledge). Karena perbedaannya dengan intuisi rasional, ada yang menyebutnya irrational intuition

Demikian pula dengan imajinasi, yang bukan berarti khayalan nir-realitas, melainkan sumber luhur, yang sedikit-banyak bersifat spiritual-transendental. Sebagian ahli menyebutnya terkait dengan alam antara (intermediate world)—yakni alam yang berada di antara alam fisik dan spiritual. Rudolf Steiner menyebutnya sebagai pengalaman spiritual yang tak henti menukik, melewati apa yang bersifat empiris. Atau Henry Sidgwick yang menyebutnya “akal sehat moral” (moral common sense), sesuatu yang tak dimiliki AI.

Pendidikan integral mencakup semua daya luhur manusia, termasuk kesadaran kosmik. Pendidikan ini juga percaya semua kesadaran harus berkembang bersama-sama secara holistik. Dengan demikian, proses belajar-mengajar dalam pendidikan integral akan berbeda dengan pendidikan pada umumnya.

Pendekatan pembelajaran dalam pendidikan integral bersifat tematik-terintegrasi. Subyek tak lagi identik dengan mata pelajaran, melainkan tema-tema dari kehidupan nyata, yang kemudian ditinjau dari berbagai perspektif pelajaran standar. Dengan arahan guru, siswa akan merumuskan aktivitas sehari-hari berdasar ketertarikan dan minat mereka. 

Maka kurikulum pendidikan mungkin akan hampir sebanyak jumlah siswa itu sendiri. Kalaupun ada yang harus ditetapkan sekolah sehubungan dengan subyek-subyek yang wajib dipelajari, kurikulum disajikan semacam menu makanan. Siswa akan memilih apa yang disukainya. Hubungan siswa dengan tema-tema itu harus intim dan eksperiensial. Dengan kata lain, belajar merupakan suatu “kehidupan yang dialami” (lived experience atau erlebnis). 

Lingkungan sekolah meniru lingkungan hidup sehari-hari siswa—nyaman dan intim terhubung dengan alam. Bangunan kelas bersifat cair (moving), tak dibatasi tembok. Tak ada kelas fixed. Sebaliknya, siswa bisa berpindah-pindah dari satu kelas, tepatnya sentra belajar tematik, ke sentra belajar tematik lain. 

Metode pendidikan integral dekat kepada apa yang disebut sebagai project/problem based learning yang serba hands on dan melibatkan cara belajar aktif. Peran guru pun berubah dari orang yang serba tahu dan pemberi instruksi menjadi coach dan manajer kelas.

Dalam keadaan seperti ini, kecerdasan buatan masih akan berperan dalam melengkapi sekolah dengan semacam Sistem Manajemen Pembelajaran untuk mengatur belajar-mengajar yang jauh lebih kompleks dibanding sistem biasa. Lewat paradigma baru ini, pendidikan akan berubah total. Di dalamnya tak ada “batu yang dibiarkan tak berubah posisinya”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pendidikan Integral"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus