Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selain merenggut lahan dan sumber penghidupan masyarakat, perluasan PIK 2 sepanjang pesisir utara Tangerang berpotensi mencaplok ribuan hektare sawah produktif di sembilan kecamatan.
Regulasi penghambat investor memperoleh lahan, yang memakan waktu dan mahal, sudah diubah satu per satu.
Konversi lahan membuat produksi pangan domestik merosot dan ketahanan pangan rapuh.
DALAM beberapa pekan terakhir, media massa ramai mewartakan salah satu program strategis nasional (PSN): Pantai Indah Kapuk atau PIK 2. Tak hanya menuai banyak kontroversi mengenai status lahannya, proyek ini juga ditengarai mencaplok ribuan hektare sawah produktif di Provinsi Banten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika ditetapkan sebagai PSN pada Maret 2024, PIK 2 telah membebaskan 1.756 hektare lahan sesuai dengan ketetapan pemerintah. Sebagian lahan sudah terbangun perumahan, apartemen, dan jalan tol. Namun, merujuk pada analisis Direktur Next Policy Yusuf Wibisono di Tempo edisi 6 September 2024, pembebasan lahan ditengarai masih terus berlangsung, melampaui luas yang ditentukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek PIK 2 dilaporkan dikembangkan di atas lahan seluas 2.650 hektare (Bloomberg Technoz, 3 Agustus 2024). Selain merenggut lahan dan sumber penghidupan warga, perluasan PIK 2 sepanjang pesisir utara Tangerang berpotensi mencaplok ribuan hektare sawah produktif di sembilan kecamatan, yakni Kosambi, Teluk Naga, Pakuhaji, Sukadiri, Mauk, Kemiri, Kronjo, Mekar Baru, dan Tanara.
Di wilayah itu terdapat 18.487 hektare sawah atau 42,1 persen dari total luas sembilan kecamatan tersebut. Dengan asumsi daerah penyangga berjarak 3 kilometer dari garis pantai sebagai daerah paling rentan penggusuran, diperkirakan perluasan proyek PIK 2 berpotensi menggusur 15.384 hektare lahan, dengan 4.607 hektare (29,9 persen) di antaranya merupakan sawah produktif.
Kejadian ini adalah kesekian kalinya sawah dan lahan pertanian produktif—dengan mudah—dialihfungsikan untuk kepentingan lain. Entah itu untuk perumahan, proyek pariwisata, pelabuhan, bandar udara, ataupun industri. Atas nama kepentingan umum atau stempel PSN, proyek akan mendapat prioritas utama dan karpet merah.
Regulasi penghambat investor dalam memperoleh lahan, yang memakan waktu dan mahal, sudah diubah satu per satu. Melalui Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan diubah secara fundamental. Padahal dua aturan itu memproteksi lahan pertanian.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, regulasi yang bersifat protektif diubah. Jalan memuluskan konversi lahan dimulai dengan memasukkan klausul PSN berdampingan dengan "kepentingan umum". Dengan klausul ini, PSN yang menjadi jualan sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo mendapat prioritas setara dengan kepentingan umum.
Bahkan, melalui Undang-Undang Cipta Kerja, kemudahan alih fungsi bisa merambah wilayah paling sakral: lahan pertanian berjaringan pengairan lengkap. Dalam regulasi lama, sawah beririgasi lengkap dikecualikan dari konversi. Namun, lewat Undang-Undang Cipta Kerja, sawah beririgasi tidak lagi steril dari alih fungsi. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa lahan-lahan sawah di Pulau Jawa masif terkonversi.
Sejak era Orde Baru, rakyat negeri ini jatuh-bangun mencetak sawah, kemudian negara melengkapinya dengan jaringan irigasi, baik teknis maupun semi-teknis. Hasilnya, dari 7,38 juta hektare lahan baku sawah saat ini, belum semua bisa dilengkapi dengan fasilitas irigasi.
Merujuk pada data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2018, keandalan air irigasi yang airnya dijamin waduk tak beranjak dari angka 11 persen. Sisanya, 89 persen, mengandalkan debit air sungai. Ketika air sungai kering, pasokan air ke jaringan irigasi terhenti. Sebaliknya, ketika air sungai meluap, pasokan air melimpah, bahkan bisa menimbulkan banjir dan erosi. Kini lahan beririgasi itu terancam oleh konversi.
Untuk memuluskan alih fungsi, empat syarat penting dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 dan Undang-Undang 22 Nomor 2019 juga dibuang. Padahal empat syarat itu—perlunya kajian kelayakan strategis, penyusunan rencana alih fungsi lahan, pembebasan kepemilikan haknya dari pemilik, dan penyediaan lahan pengganti—menjadi perisai penting untuk membendung maraknya alih fungsi.
Satu-satunya ketentuan yang dipertahankan adalah keharusan menyediakan lahan pengganti paling lama 24 bulan. Lahan sawah beririgasi selama ini menjadi pilar utama produksi pangan domestik, yang membuat Indonesia tak sepenuhnya bergantung pada impor. Karena itu, membiarkan konversi lahan produktif sama saja merongrong kapasitas produksi pangan.
Konversi lahan merupakan fenomena lumrah selama masa industrialisasi, urbanisasi, dan pembangunan berjalan. Masalahnya, sebagai negara yang jumlah penduduknya terbesar keempat dunia dan kerap mengalami krisis pangan, konversi lahan menjadi persoalan krusial. Konversi lahan yang tak terkendali adalah ancaman serius masa depan bangsa.
Konversi lahan membuat produksi pangan domestik merosot dan ketahanan pangan rapuh. Lalu kita bergantung pada impor. Padahal sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya amat tipis, dan harganya tak stabil. Di sisi lain, proteksionisme negara eksportir kian menguat. Karena itu, bergantung pada pangan impor hanya membuat bangsa rentan. Taruhannya hidup-mati.
Berpijak dari kondisi itu, lahan pertanian subur dan produktif yang dilengkapi infrastruktur irigasi seperti sawah harus diletakkan sebagai aset penting bangsa atas dua alasan. Pertama, besarnya biaya investasi dalam bentuk sarana dan prasarana irigasi serta pencetakan sawah baru. Kedua, lamanya waktu yang dibutuhkan dari awal pencetakan sampai terbentuk sawah dengan tingkat produktivitas tinggi (Sudaryanto, 2001).
Aset sawah produktif seharusnya dijaga dan dilindungi. Bukan dibiarkan, bahkan diumpankan menjadi obyek alih fungsi. Cara pandang ini sekaligus bertujuan mengakhiri sikap ambigu kita: di satu sisi membiarkan sawah produktif dikonversi, tapi di sisi lain sibuk mencetak sawah.
Sikap ambigu itu sepertinya berurat akar dari cara pandang kita selama ini dalam memperlakukan tanah hanya sebagai bentang lahan. Bukan sebagai soil dalam konteks pertanian, yang mesti dikaitkan dengan kesesuaian lahan, tingkat kesuburan, kondisi iklim-cuaca, dan dukungan hidrologi jika hendak diusahakan sesuatu.
Cara pandang simplistis itu akhirnya berujung pada sikap bahwa sawah yang subur dan lahan produktif bisa dengan mudah diubah menjadi "hutan beton". Pertanyaannya, apakah sawah yang sudah menjadi "hutan beton" bisa diubah lagi menjadi sawah? Jikapun bisa, apakah memungkinkan hal itu dilakukan? ●
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.