Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Industri asuransi mengalami tekanan yang berat selama masa pandemi.
BUMN asuransi terseret persoalan laten buruknya tata kelola perusahaan.
Serupa dengan perbankan, sektor perasuransian bisa memberi dampak sistemik bagi sistem keuangan.
ADA bahaya besar yang mengintai bisnis asuransi. Belum pulih sepenuhnya dari hantaman pandemi, sektor usaha ini kudu menghadapi meningkatnya risiko pada produk-produk asuransi yang mereka obral demi kelangsungan usaha dalam dua tahun terakhir. Jika tak segera meningkatkan kehati-hatian dan membenahi tata kelola perusahaan yang baik, industri asuransi bisa terjungkal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh ironis, perusahaan asuransi milik negara—yang semestinya jadi cermin penataan industri ini—malah terus melanggar prinsip-prinsip tersebut. Kasus produk Kontra Bank Garansi di PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) menjadi contoh terbaru dari perilaku manajemen badan usaha milik negara asuransi yang hobi menerabas prosedur operasi dan ketentuan mitigasi risiko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia Financial Group, induk dari holding BUMN asuransi yang memayungi Askrindo, harus memeriksa secara menyeluruh kasus baru tersebut, termasuk terhadap dugaan terjadinya pelanggaran dengan modus serupa di anak perusahaan lain. Indikasi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme begitu kuat lantaran transaksi yang janggal ini ditengarai melibatkan broker asuransi milik kerabat mantan petinggi Askrindo.
Otoritas Jasa Keuangan juga tak boleh menyepelekan kasus-kasus semacam ini. Selama ini, tumpulnya taring pengawas berkontribusi menyuburkan praktik lancung yang menahun di tubuh Asuransi Jiwasraya dan Asabri. Berkaca pada megaskandal Jiwasraya, penyelewengan dana investasi tak hanya merugikan ribuan nasabah. Anggaran negara sebesar Rp 22 triliun dikucurkan guna menyelamatkan Jiwasraya dan mencegah kerusakan lebih besar pada sistem keuangan jika perusahaan asuransi jiwa tertua itu bangkrut.
Sebagaimana perbankan, perasuransian juga berisiko sistemik. Maksudnya, setiap guncangan di industri ini berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Bahkan bukan tak mungkin dampak sistemik industri asuransi lebih besar ketimbang bank. Banyak penyelenggara jasa asuransi telah mengembangkan bisnisnya di luar skema-skema tradisional. Misalnya dengan menjual produk-produk penjaminan kredit dan investasi yang berisiko tinggi.
Pandemi telah memperbesar risiko tersebut. Lesunya ekonomi menggerus pendapatan premi dan imbal hasil investasi industri asuransi. Di sisi lain, turunnya permintaan layanan pertanggungan juga memantik perang tarif premi antar-penyelenggara asuransi. Akibatnya, rasio kecukupan premi terhadap pembayaran klaim terus menyusut dalam dua tahun terakhir.
Risiko lebih besar juga dihadapi industri asuransi umum yang selama ini mengandalkan asuransi kredit sebagai penyumbang pendapatan premi terbesar ketiga setelah premi asuransi properti dan kendaraan bermotor. Setahun terakhir, mereka menikmati turunnya nilai klaim asuransi kredit. Masalahnya, penurunan klaim itu bersifat semu, semata karena dipicu oleh program restrukturisasi kredit yang digulirkan pemerintah.
Kini industri asuransi umum harus bersiap-siap menghadapi potensi lonjakan nilai klaim. Bersama perbankan, mereka akan menjadi penanggung beban terberat jika berakhirnya pelonggaran restrukturisasi diikuti ledakan kredit macet. Sungguh tak terbayangkan bencana yang terjadi pada perekonomian Indonesia jika dua sektor industri ini tumbang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo