Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian besar pelaku kekerasan jalanan di Yogyakarta adalah pelajar.
Perlu penanganan serius untuk memutus rantai kekerasan yang kian meneror warga kota pelajar itu.
Selain pendekatan keamanan dan hukum, perlu pendekatan sosial yang melibatkan orang tua, guru, dan masyarakat.
PEMBERANTASAN kekerasan jalanan yang kembali meneror ketenteraman warga Yogyakarta harus menjadi prioritas kerja pemerintah daerah. Pendekatan keamanan dan hukum saja terbukti tidak cukup untuk menghentikan kekerasan oleh gerombolan anak muda yang oleh banyak orang dianggap sebagai klitih itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenomena klitih menjadi perbincangan ramai di media sosial menyusul tewasnya pelajar bernama Daffa Adzin Albasith di Gedong Kuning, Kota Yogyakarta, 3 April lalu, setelah kelompoknya bentrok dengan kumpulan anak muda lain. Hasil penyelidikan polisi menunjukkan tewasnya remaja pria 17 tahun itu sesungguhnya bukan menjadi korban klitih, melainkan korban kriminalitas di jalanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Klitih awalnya tidak identik dengan kekerasan. Ini merupakan istilah yang digunakan warga Yogyakarta dan sekitarnya untuk menyebut kegiatan ke luar rumah mengisi waktu luang tanpa tujuan yang jelas. Seiring dengan waktu, orang-orang yang berkeliling tanpa tujuan tersebut kerap terlibat konflik dengan kelompok lain yang berujung tawuran. Kelompok pelajar tertentu kerap menyasar pelajar sekolah lain yang menjadi musuh mereka.
Modus kekerasan jalanan itu terus berkembang. Tak jarang aksi kekerasan tersebut menjadi ajang inisiasi untuk menjadi anggota kelompok preman. Mereka tidak lagi menyasar anggota kelompok tertentu. Siapa pun yang sedang lewat di jalanan bisa menjadi korban mereka. Para pelaku kerap menyakiti korban secara fisik, sering kali dengan senjata tajam, hingga terluka bahkan meninggal.
Kejahatan jalanan itu terus berulang. Data Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan peningkatan laporan dari 52 kasus pada 2020 menjadi 58 kasus pada tahun lalu. Pada 2019, kasus yang dilaporkan hanya 35 kejadian. Dari 58 kasus pada tahun lalu, 40 di antaranya bisa diungkap. Yang membuat prihatin, 80 dari 102 tersangka adalah pelajar.
Pemerintah daerah perlu segera bertindak memutus rantai kekerasan jalanan yang telah merenggut rasa aman warga kota pelajar ini. Penegakan hukum yang adil dan transparan diperlukan untuk menimbulkan efek jera. Namun pendekatan hukum itu mesti dibarengi dengan pendekatan sosial yang melibatkan semua elemen masyarakat, terutama keluarga dan sekolah.
Peran keluarga dalam membina anak-anak pelaku kekerasan sangat penting. Berdasarkan pemetaan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY, hampir semua pelaku klitih berasal dari keluarga bermasalah. Anak-anak tak betah di rumah karena terjadi konflik dalam keluarga. Mereka kemudian mencari kelompok yang membuat nyaman, seperti geng-geng yang menyeret mereka ke kejahatan jalanan.
Rencana pemerintah Yogyakarta membuat sekolah khusus berasrama untuk anak bekas pelaku klitih perlu direalisasi secara saksama. Sekolah khusus itu mungkin akan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk menemukan potensi diri serta menyalurkan energi secara positif. Tapi, jika salah urus, sekolah khusus itu malah membuat anak-anak berkumpul dengan sesama pelaku kekerasan—yang bisa mendorong mereka kembali melakukan kejahatan jalanan.
Selain harus menyentuh akar masalah, upaya menghentikan klitih atau kekerasan jalanan yang melibatkan anak-anak menuntut dukungan penuh orang tua, guru, ahli psikologi anak, serta warga sekitar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo