Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Perantara dalam Perkara Reklamasi

3 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENELUSURAN Komisi Pemberantasan Korupsi atas peran Sunny Tanuwidjaja dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta menyuguhkan cerita tentang peran ”middle man” alias perantara dalam sengkarut birokrasi kita. Sesuatu yang telah jadi mafhum: seorang perantara bisa menjadi pintu masuk buat begitu banyak kepentingan melebihi tugas yang diakui si pejabat.

Komisi antikorupsi melarang Sunny ke luar negeri sejak April lalu. Tapi, sampai larangan itu hampir berakhir pada awal Oktober ini, KPK belum menetapkannya sebagai tersangka. Komisi mengaku kesulitan menjerat Sunny karena ia bukan penyelenggara negara. Sejauh ini Komisi memang belum menemukan bukti yang bisa memastikan peran formalnya dalam birokrasi pemerintah DKI Jakarta—misalnya surat tugas sebagai anggota staf khusus atau tanda bukti pembayaran gaji.

Sunny masih berstatus saksi dalam kasus suap yang melibatkan Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Mohamad Sanusi. Ariesman menyuap Sanusi dalam pembahasan dua rancangan peraturan daerah tentang reklamasi di DPRD.

Selama ini, Sunny diduga berperan sebagai ”penghubung” antara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dan pengembang rek­lamasi, di antaranya pemilik Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan. Percakapan telepon Sunny yang terpantau KPK mengungkap dugaan peran Sunny sebagai perantara dalam segitiga Ahok-pengembang-anggota DPRD.

Sunny juga kerap menghadiri rapat penting bersama sang Gubernur. Ia, misalnya, sering diajak Ahok bertemu dengan sejumlah tokoh politik. Dua hari setelah KPK mencekal Sunny, Basuki menuturkan pernah mengajak Sunny bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.

Sewaktu kasus suap reklamasi terkuak, Basuki tak secara te­gas­ menjelaskan posisi Sunny dalam struktur birokrasi kantor ­gu­­ber­nur. Ahok pernah menyebut Sunny sebagai anggota staf khu­sus, anak magang, dan mahasiswa yang sedang melakukan pene­litian. Sunny pun mengaku tak pernah menerima gaji dari ­peme­rintah DKI.

Ketika diperiksa penyidik KPK, Sunny mencantumkan identitas sebagai General Manager Rajawali Group milik pengusaha Peter Sondakh. Pengakuan ini selayaknya sudah bisa membuat KPK bergerak: menelusuri kemungkinan Ahok menerima gratifikasi dari pengusaha swasta berupa jasa yang diberikan Sunny. Undang-undang jelas menyebutkan penyelenggara negara tidak boleh menerima imbalan dari pihak lain, baik berupa uang, barang, maupun jasa baik.

Sepak terjang middle man selayaknya tak lagi ada dalam birokrasi kita. Kehadiran perantara membuat kebijakan penyelenggara negara tak bisa secara benderang dipertanggungjawabkan. Jika ulah lancung si perantara tidak ketahuan, pejabat bisa mengambil banyak keuntungan. Sebaliknya, jika permainan kotor itu terbongkar, pejabat tinggal buang badan.

Jika perannya dibutuhkan, perantara bisa dimasukkan secara resmi ke struktur birokrasi. Pejabat seperti gubernur, menteri, atau presiden berwenang mengangkat staf khusus. Pegawai yang dibawa dari luar birokrasi ini umumnya diangkat untuk menjembatani pejabat—terutama yang berasal dari jalur nonkarier—dengan birokrasi, yang sering kali belum dikuasai. Agar tak berbenturan dengan fungsi birokrasi, tugas dan wewenang staf khusus seyogianya dirinci dengan jelas.

Tanpa diformalkan dalam struktur birokrasi, perantara bisa gentayangan ke mana-mana. Inilah yang kerap terjadi: mereka berdagang pengaruh, menjual nama si pejabat, melobi ke kiri dan ke kanan, atau menjual informasi dari dalam. Mereka ada di dalam birokrasi, tapi tidak dalam struktur.

Tanpa aturan formal, middle man bisa menjadi pengganggu birokrasi. Fungsi ”penjaga pintu”—agar tak sembarang tamu bisa bertemu dengan pejabat, misalnya—dijalankan dengan menetapkan ”tarif berkunjung”. Hanya mereka yang membayar si perantara yang bisa mendapat akses bertemu dengan pejabat. Mudah ditebak, pertemuan dengan imbalan uang pelicin biasanya berujung pada kongkalikong. Dalam sejumlah kasus, perantara malah bertindak mewakili pejabat bertemu dengan pihak ketiga.

Menghadapi staf bayangan, KPK tak perlu kehabisan akal. Selain menggunakan pasal gratifikasi, KPK selayaknya bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan—penegak hukum lain yang bisa mengusut perkara korupsi oleh bukan penyelenggara negara. Penggunaan pasal perdagangan pengaruh, seperti tertera dalam Pasal 18 United Nations Convention against Corruption, dapat pula dipertimbangkan. Pada 2006, Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus