Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETAPA mahalnya ”harga” satu jembatan bobrok di Jakarta: empat nyawa ditambah tujuh korban luka. Inilah yang terjadi tatkala jembatan penyeberangan orang di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, runtuh diterpa angin kencang pada Sabtu dua pekan lalu.
Rapuh oleh korosi di bagian bawah—ditambah keberatan beban papan reklame tiga meter dari ukuran seharusnya satu meter—jembatan itu terban di tengah angin kencang. Musibah itu harus dipastikan tak meluas karena jembatan penyeberangan di Pasar Minggu hanya satu dari 171 jembatan penyeberangan, belum terhitung 165 jembatan penyeberangan bus Transjakarta, yang lebih muda usia. Adapun jembatan reguler sebagian sudah tua dan luput pula dari pengawasan otoritas Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta. Nahas, jembatan Pasar Minggu merupakan contoh betapa masyarakat ”dipaksa” menggunakan fasilitas umum tanpa standar kelayakan, keamanan, apalagi kenyamanan.
Tahun lalu, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama telah meminta dinas terkait menyediakan penerangan memadai di semua jembatan penyeberangan serta kamera pengawas di wilayah-wilayah rawan. Implementasinya entah bagaimana. Yang jelas, sampai sekarang masih ada jembatan gelap karena kabel lampu yang putus dan masih terjadi tindak kekerasan di atas jembatan penyeberangan. Walhasil, dalam kondisi tegak atau runtuh, jembatan Jakarta menyimpan potensi bahaya, setidak-tidaknya riskan bagi pengguna.
Membereskan jembatan penyeberangan tak akan efektif dengan cara sporadis: di situ runtuh, di situ dibenahi. Perlu solusi strategis dan komprehensif. Misalnya, bisa dimulai dengan audit 282 unit jembatan penyeberangan reguler serta jembatan penyeberangan bus Transjakarta. Dari sini akan terlihat unit yang layak digunakan, mana yang perlu dibongkar, serta jembatan mana yang perlu direnovasi total.
DKI Jakarta menyiapkan Rp 10,6 miliar biaya pemeliharaan jembatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2016. Pertanyaan kita, kok bisa—dengan anggaran miliaran rupiah—fungsi pengawasan luput dan kacau sampai makan korban empat nyawa dari satu jembatan saja.
Satu problem umum yang menggondeli jembatan penyeberangan Jakarta adalah papan reklame yang menutupi sisi-sisi railing jembatan. Ini membikin beban meningkat. Tanpa pengawasan, membikin ukuran reklame pun suka-suka tanpa izin pula. Sekadar contoh, papan reklame di jembatan penyeberangan Pasar Minggu yang runtuh itu izinnya kedaluwarsa sejak 2010.
Mengalihkan pangkal soal ke papan reklame juga sama halnya dengan menepuk air di dulang. Dari izin beriklan, ukuran papan, pengawasan kondisi jembatan, hingga pembongkaran elemen yang membahayakan konstruksi, semua berada di tangan pemerintah DKI. Karena itu, Gubernur Ahok dan para pembantunya perlu bergegas: cek semuanya, dan pastikan tak ada lagi kondisi yang mengancam keselamatan pengguna.
Dengan kata lain, mengembalikan fungsi utama jembatan penyeberangan merupakan kewajiban pemerintah Jakarta, yakni sebagai fasilitas pejalan kaki menyeberangi jalan ramai, jalan lebar, atau jalan tol. Buruknya penanganan fasilitas yang memicu tragedi Pasar Minggu jangan sampai terulang. Jangan pula muncul ungkapan klise: ”Tragedi Pasar Minggu akan kita ambil hikmahnya.” Hikmah harus diambil sebelum celaka datang. Kembalikan hak masyarakat untuk mendapatkan jembatan aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo