Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Kehormatan Dewan semakin merisak citranya sendiri setelah meluluskan permintaan pemulihan nama baik bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Alat kelengkapan Dewan ini dulu tak serius menangani kasus "Papa Minta Saham”, dan kini melakukan blunder lagi dengan memenuhi keinginan aneh itu.
Setya, yang kini menjadi Ketua Umum Partai Golkar, mengajukan pemulihan nama dengan bekal putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan pada 7 September lalu. Putusan MK mengenai uji materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini juga berdasarkan permohonan Setya. Ia menggugat pasal yang mengatur soal informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Hakim konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Setya dengan menambahkan ketentuan bahwa rekaman elektronik harus dibuat penegak hukum. Dengan kata lain, rekaman yang dibuat perseorangan tidak bisa menjadi alat bukti di pengadilan. Atas dasar inilah Mahkamah Kehormatan Dewan memulihkan nama baik Setya Novanto. Sebelumnya, Setya dituduh melanggar kode etik karena diduga meminta saham PT Freeport Indonesia dengan bukti rekaman percakapan dengan bos perusahaan tambang emas itu.
Pemulihan nama baik tersebut sungguh aneh karena kasus Setya masuk ranah etik, sedangkan putusan MK masuk ranah hukum, yang hanya berkaitan langsung dengan proses penegakan hukum. Koreksi terhadap Undang-Undang ITE tidak otomatis pula menghapus ketentuan serupa dalam aturan yang menyangkut kode etik.
Hingga kini DPR juga belum mengoreksi Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan. Pasal 27 huruf d peraturan itu jelas memasukkan rekaman elektronik sebagai alat bukti. Aturan ini mendeskripsikan jenis alat bukti, yakni informasi yang dapat dibaca, dilihat, atau didengar. Informasi ini tertuang dalam benda fisik apa pun selain kertas, termasuk yang terekam secara elektronik.
Andai kata peraturan DPR itu diubah, nama Setya Novanto tetap sulit dipulihkan. Aturan etik dan pidana seharusnya tidak bisa berlaku surut demi menegakkan kepastian hukum. Kalau asas ini diabaikan, betapa kacaunya proses penegakan etik dan hukum. Banyak sekali pelanggar hukum dan etik yang harus dibebaskan dari hukuman atau dipulihkan nama baiknya gara-gara perubahan aturan. Saat Setya Novanto diadili dalam sidang etik, aturan mengenai rekaman sebagai alat bukti jelas masih berlaku.
Mahkamah Kehormatan juga semakin memperlihatkan sikap yang tidak konsisten karena lembaga ini sebetulnya tidak pernah mengeluarkan putusan mengenai skandal Setya. Sidang kasus yang diproses berdasarkan laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said itu ditutup pada 26 Desember 2015 tanpa putusan dengan alasan Setya sudah mengundurkan diri sebagai Ketua DPR.
Keputusan menyetop sidang tanpa putusan itu sungguh keliru karena Setya diadili sebagai anggota Dewan dan bukan sebagai Ketua DPR. Mahkamah semestinya tetap mengeluarkan putusan, bahkan jika perlu menjatuhkan sanksi berupa pemecatan Setya dari anggota DPR. Kini Mahkamah menambah blunder dengan memulihkan nama baik Setya. Apa yang dipulihkan bila Mahkamah tak pernah memberikan putusan atas kasus Setya?
Sikap aneh itu semakin memperlihatkan bahwa Mahkamah Kehormatan tak bisa diandalkan untuk mendisiplinkan anggota DPR. Lembaga yang diisi perwakilan partai di Dewan ini tidak bisa bersikap obyektif dan bebas dari kepentingan politik. Dan kasus Setya Novanto merupakan cermin yang bagus untuk melihat buruknya wajah alat kelengkapan DPR ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo