Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Firliana Purwanti
Penulis The 'O' Project
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ibu Soekanto, anggota Komite Wanita Utom; Ibu Suwardi, istri Ki Hajar Dewantara; dan Soejatin, guru perguruan Taman Siswa, mencetuskan Kongres Perempuan Indonesia Pertama yang terlaksana pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres yang dihadiri hampir 30 perkumpulan perempuan ini membahas masalah pendidikan dan perkawinan. Rekomendasi penting yang lahir adalah (1) jumlah sekolah untuk anak perempuan harus ditingkatkan, (2) membuat penjelasan resmi mengenai arti taklik yang diberikan kepada calon mempelai perempuan pada saat akad nikah dan (3) membuat peraturan yang menolong para janda dan anak yatim-piatu dari pegawai negeri sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perjuangan perempuan di bidang pendidikan sejak era Kartini membuahkan hasil. Dulu anak perempuan dilarang bersekolah, kini lebih banyak perempuan bersekolah daripada laki-laki. Berdasarkan Survei Sosial-Ekonomi Nasional 2015, angka rata-rata partisipasi pendidikan perempuan usia 7-18 tahun adalah 88,40, sedangkan laki-laki 87,03.
Advokasi terhadap perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam perkawinan semakin keras dilakukan sejak Kongres Perempuan Indonesia Kedua di Batavia, 20 Juli 1935. Maria Ulfa, perempuan Indonesia pertama yang lulus sebagai sarjana hukum di Leiden Universiteit, Belanda, mengatakan, "Di zaman kolonial Belanda, penghulu-penghulu harus hidup dari uang nikah, talak, dan rujuk. Surat nikah pun waktu itu sangat sederhana, tidak dicantumkan taklik talak dan tidak pakai potret suami-istri sehingga mudah sekali disalahgunakan."
Maria Ulfa, yang kemudian menjadi Menteri Sosial di Kabinet Sjahrir (1946-1947), mempelopori gerakan untuk membuat Undang-undang Perkawinan agar laki-laki tidak semena-mena menceraikan istri. Kini taklik talak, janji tertulis untuk melindungi istri dan menjadi dasar untuk perempuan menggugat cerai, wajib ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah selesai proses akad nikah di depan penghulu. Kebijakan sistem pensiun untuk janda pegawai negeri pun sudah terlaksana sejak 1977, yang dikelola PT Taspen (Persero).
Mengacu pada pengalaman gerakan perempuan zaman old, terutama kiprah Maria Ulfa, pembuat kebijakan harus paham kebutuhan perempuan agar kebijakannya tidak merugikan perempuan. Dalam hal ini, kepentingan perempuan untuk masuk parlemen tetap relevan agar pengalaman-pengalaman khusus yang hanya dialami perempuan, seperti kekerasan seksual, kesehatan reproduksi, dan perlindungan pekerja rumah tangga, diperhitungkan dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagai acuan.
Hal inilah yang membuat gerakan perempuan zaman now terus memperjuangkan kuota 30 persen perempuan dalam pemilihan umum legislatif (pemilu). Pemilu 1955 mengantarkan 16 perempuan untuk duduk di parlemen atau 5,88 persen dari total 272 kursi. Kini ada 17,32 persen perempuan di DPR RI untuk periode 2014-2019. Walaupun jumlah perempuan di parlemen meningkat 12 persen dalam kurun waktu 60 tahun, belum mencapai kuota 30 persen.
Enam belas bulan menjelang Pemilu 2019, aktivis perempuan yang tergabung dalam organisasi politik, seperti Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia, Kaukus Perempuan Politik Indonesia, dan Maju Perempuan Indonesia, mendorong partai politik agar menempatkan perempuan potensial di nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan kantong suara partai. Namun semangat gerakan perempuan politik untuk sukses memenuhi kuota 30 persen perempuan terpilih di parlemen dalam Pemilu 2019 saja belum cukup.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat bertemu dengan aktivis gerakan perempuan politik pada 5 Desember 2017, mengatakan, "Pemimpin-pemimpin perempuan harus ikut mengambil tanggung jawab dan tampil untuk memimpin dalam menjawab tantangan global, seperti tekanan demografi, yang akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan."
Kondisi perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, dan hukum memang belum ideal. Namun menjadi pemimpin perempuan zaman now tidak bisa hanya berpikir sampai 2019 dan terbatas pada persoalan pendidikan serta kesehatan. Kemiskinan global karena krisis politik, seperti isu Rohingya di Myanmar; isu perubahan iklim; krisis pangan; dan kejahatan transnasional, seperti perdagangan manusia, narkotik, dan terorisme, masih akan menjadi karakter dunia.
Jika ingin menjadi kepala daerah pada 2018 atau anggota legislatif pada 2019, perempuan pemimpin harus mampu berimajinasi tentang solusi apa yang ditawarkan untuk menjawab persoalan-persoalan ini, terutama perempuan, pada 2019 sampai 2024. Menggunakan pertanyaan "Apa yang akan dilakukan setelah 2019 untuk bangsa dan perempuan?" sebagai pedoman dalam menyusun visi-misi dan berkampanye dapat memberikan nilai lebih kepada perempuan calon kepala daerah dan calon anggota legislatif sehingga sukses dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.