Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENAR kata Bill Gates: toilet menunjukkan kualitas sebuah bangsa. Orang terkaya di dunia ini menghabiskan banyak waktu untuk bepergian ke negara-negara miskin di Afrika dan Asia hanya untuk nongkrong berlama-lama di toilet. Bagi Gates, problem sebuah negara bisa dilihat dari keadaan toiletnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengantongi angka-angka gigantis: 2,5 miliar—hampir sepertiga—manusia di bumi tak punya akses ke toilet layak. Karena kakus yang buruk, 500 ribu anak balita meninggal tiap tahun akibat air yang mereka konsumsi tercemar kuman dan bakteri. Maka menyelesaikan problem dunia hari ini, menurut Gates, adalah dengan memperbaiki kakus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gates percaya kelayakan toilet menjadi indikator kesehatan. Sebab, jika sehat, orang bisa lebih berdaya menaikkan taraf hidup—mungkin dengan Microsoft. Gates pun menghabiskan ratusan triliun berinvestasi dalam inovasi toilet. Dengan mesin yang diciptakan perusahaannya, Gates bahkan meminum air yang disuling dari tinja manusia.
Toilet memang kebutuhan manusia paling privat. Kita bisa saling bantu untuk urusan makanan dan soal-soal lain, tapi urusan buang kotoran adalah urusan sendiri-sendiri. Karena itu, akses ke toilet yang tersendat dampaknya bisa bererot ke mana-mana.
Di Hamburg, aroma lift di banyak stasiun kereta bawah tanah meruapkan gabungan bau urine, aroma muntah, dan bau tubuh yang berhari-hari tak kena air. Di Berlin juga begitu.
Pemerintah menetapkan tarif toilet umum € 1, tak jauh beda dengan harga sekaleng bir. Maka, bagi gelandangan, daripada membuang uang untuk kencing, mending uang itu mereka pakai untuk membeli bir. Ketika kebelet pipis setelah menenggak bir, mereka pun membuangnya di mana saja.
Jerman menghadapi problem gelandangan akibat pintu imigrasi dibuka lebih longgar. Ada 1 juta orang yang masuk Jerman sejak 2022, tahun kebijakan “ramah imigran”. Sebuah survei pada Mei lalu menunjukkan 44 persen responden menginginkan pemerintah memprioritaskan pengurangan imigran karena menimbulkan problem sosial.
Para imigran, terutama mereka yang menjadi korban perang Timur Tengah, lebih senang masuk ke Berlin ketimbang kota-kota lain karena ibu kota ini lebih kosmopolitan dan aturan-aturannya longgar. Di Berlin, orang bisa menyeberang jalan di luar zebra cross tanpa takut disemprot polisi.
Sementara itu, di Jepang, yang masyarakatnya selalu serius dalam segala urusan, toilet diatur dengan saksama. Kakus di sana punya banyak tombol dengan pelbagai fasilitas yang diatur oleh teknologi canggih: penyemprot air dingin, air hangat, setengah hangat, pencabut tampon. Suhu pembungkus dudukan toilet bisa diatur agar hangat pada musim salju.
Baik di Jerman maupun Jepang, semua toilet punya tatakan sehingga air seni tak menciprat ke mana-mana. Padahal mereka tak punya aturan-aturan soal najis. Di Indonesia, yang punya seperangkat aturan agama tentang najis dan hadas, toilet dibuat ala kadarnya. WC umum di Indonesia biasanya bau dan jorok, kerannya rusak, lantainya becek, orang memakai toilet duduk dengan berjongkok. Kita pun ikut-ikutan jongkok di kakus duduk karena khawatir kuman menempel di bokong.
Di Indonesia, toilet dijaga petugas. Mereka mengangguk kepada siapa saja yang akan membuang hajat. Mereka seperti wujud peringatan “jagalah kebersihan”. Agaknya kita menjaga kebersihan kalau dijaga saja—seperti kita tak akan melawan jalan searah karena ada polisi berjaga di sana. Kita tak turut pada hukum, kita hanya pura-pura patuh pada hukum yang tak terlihat. Ada yang menghitung, biaya membuat portal di lajur bus Transjakarta agar tak ada pengendara yang masuk ke jalur khusus ini besarnya Rp 4,2 miliar. Sesungguhnya itu ongkos ketidakpatuhan penduduk Jakarta.
Di Narita atau McCarran, tempat paling ramai di waktu ketibaan pesawat, toilet-toilet tak dijaga manusia. Di Indonesia, pemandangan di toilet begitu ganjil: ada manusia dengan seragam formal dari ujung rambut hingga sepatu berdiri di depan pintu, sambil memegang tongkat pel, lalu mengangguk kepada siapa saja yang hendak buang air. Para penjaga toilet adalah mereka yang dengan sungguh-sungguh menjaga agar kotoran tak menodai tempat kerja mereka, agar siapa pun yang memakainya merasa nyaman.
Barangkali karena kita masih berada dalam budaya “manusia-produksi”. Kita memberdayakan manusia sampai ke hal-hal remeh yang tak perlu. Seandainya para pemakai toilet itu sadar akan kebersihan tubuh dan tempat membuang kotorannya sendiri, kita mungkin tak membutuhkan penjaga toilet. Para petugas kebersihan hanya perlu mengepel lantai secara berkala tanpa perlu stand by sepanjang waktu.
Bill Gates benar: toilet menunjukkan perilaku sebuah bangsa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Di Toilet"