Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angga Hermanda
Ketua Departemen Data dan Informasi Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan pertanian pada era Jokowi-Jusuf Kalla yang tertuang dalam Nawa Cita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menjadi landasan program Kementerian Pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Presiden Jokowi menegaskan tiga hal yang harus digarisbawahi dalam mencapai target itu: pangan yang cukup untuk rakyat, menurunkan angka kemiskinan, dan menyejahterakan petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Oktober 2014, Kementerian Pertanian telah menetapkan program prioritas dengan target swasembada padi, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging, dan gula. Implementasi dari program tersebut, Kementerian mencanangkan upaya khusus untuk meningkatkan produksi tiga komoditas pangan utama, yaitu padi, jagung, dan kedelai, diikuti bawang merah dan cabai, serta program sapi indukan wajib bunting (SIWAB). Adapun dalam upaya swasembada gula, Kementerian mendorong investasi swasta untuk membangun pabrik baru, selain merevitalisasi pabrik gula.
Program ini menjadi peta jalan Indonesia menuju lumbung pangan dunia pada 2045. Target tersebut dicapai dengan melakukan berbagai terobosan, seperti revisi Peraturan Presiden Nomor 172/2014 tentang pengadaan benih dan pupuk dari lelang menjadi penunjukan langsung. Ada pula pengawalan program upaya khusus dan evaluasi harian dengan melibatkan aparat dan akademikus; deregulasi perizinan dan investasi serta asuransi usaha pertanian; juga pengendalian harga, distribusi, impor, dan mendorong ekspor pertanian.
Hasilnya, konon Indonesia telah mewujudkan kedaulatan pangan, walaupun klaim tersebut tidak selalu sesuai dengan ketersediaan pangan dan kesejahteraan petani sebagaimana arahan presiden. Sesungguhnya, masalah utama yang dihadapi langsung oleh petani adalah ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Pada 2018, hasil survei pertanian antar-sensus Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan 16 juta lebih petani (58 persen) hanya menguasai tanah pertanian di bawah 0,5 hektare.
Ketimpangan juga dikuatkan oleh data Kementerian Agraria yang menyatakan rasio Gini tanah di Indonesia sudah mendekati 0,58. Artinya, 1 persen dari total jumlah penduduk Indonesia menguasai 58 persen total luas tanah. Kenyataan ini diperparah oleh penyusutan luas lahan baku sawah yang merosot tajam, dari 7,75 juta hektare pada 2013 menjadi 7,1 juta hektare pada 2018. Walau data tersebut masih dalam proses perbaikan antara Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria, dan BPS, ia menggambarkan penurunan luas areal pertanaman padi yang menyebabkan potensi produksi beras berkurang sekitar 2 juta ton per tahun.
Masalah ini disadari oleh Jokowi. Berlatar lemahnya penerapan peraturan perundang-undangan mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah. Peraturan ini diharapkan dapat berjalan konsisten, mengingat pemerintah juga masih berfokus menyelesaikan pembangunan infrastruktur yang tentu akan menggilas lahan pertanian produktif.
Di sisi lain, pangan pada lima tahun terakhir juga belum membahagiakan. Global Hunger Index 2019 merilis indeks kelaparan Indonesia masih berada pada skor 20,1 (makin tinggi angkanya, makin terancam kelaparan). Kendati angka tersebut menunjukkan perbaikan, situasi ini masih menempatkan Indonesia pada posisi "serius" terhadap ancaman krisis pangan. Indonesia masih berada di peringkat ke-70 dari 117 negara dalam indeks itu. Kenyataan ini menjadi tantangan dunia, termasuk Indonesia, yang pada 2015 telah berkomitmen mencapai nol kelaparan pada 2030.
Evaluasi yang juga patut menjadi fokus ke depan adalah pandangan Kementerian Pertanian yang menempatkan petani sebagai obyek di bawah pengawasan aparat dan akademikus. Kebijakan itu sangat disayangkan karena seolah-olah masalah utama pangan adalah ketidakdisiplinan petani.
Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah menempatkan pertanian sebagai fokus dalam melengkapi visi Indonesia Maju. Pada periode kedua Jokowi ini, pertanian masih memerlukan banyak perbaikan, seperti petani yang masih menjadi mata rantai terlemah. Petani juga dihadapkan pada permasalahan ketersediaan input produksi dengan harga terjangkau. Sementara itu, risiko produksi dan harga masih sangat tinggi. Dengan kondisi ini, petani sulit meningkatkan taraf hidupnya. Sampai saat ini, nilai tukar petani (NTP) tidak pernah naik secara signifikan. Menurut laporan BPS, NTP pada Oktober 2019 berada di angka 104,04. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan NTP Oktober 2014, ketika Jokowi dilantik, yakni sebesar 102,87.
Pertanian Nawa Cita jilid dua diharapkan memberikan output yang lebih baik dari jilid pertama. Harapan itu sudah mulai ditunjukkan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang bersungguh-sungguh memperbaiki data pangan dan menerapkan program jangka pendek Komando Strategis Tani (Konstra Tani). Upaya ini tentu saja belumlah cukup. Ini harus dilengkapi dengan dorongan Kementerian untuk menunaikan reforma agraria, menegakkan kedaulatan pangan, dan mengimplementasikan secara menyeluruh mandat undang-undang, bukan justru menyerah pada pasar.