Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perceraian dan seks kini bukan lagi barang tabu di Asia dan menjadi obyek penulis sastra modern.
Di negara maju dengan ekonomi dan perubahan sosial lebih ajek, perempuan makin mandiri.
Para penulis Jepang membuat alegori tentang bangsa patriarki yang impoten sehingga jadi masalah dalam kemandekan populasi.
HAN Kang, Hiromi Kawakami, Bora Chung, Mieko Kawakami, Shikawa Saou....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya hanya punya pertanyaan-pertanyaan samar. Sebagiannya bocor dalam suatu makan malam bersama penulis Hiromi Kawakami. Seperti kebanyakan orang Jepang, ia santun menurut ukuran Jawa. Tapi ia juga sangat santai, mengenakan T-shirt pucat yang longgar, dan suaranya yang lembut telah saya dengar malam sebelumnya, saat memberi pidato pembukaan untuk Jakarta International Literary Festival. Ia datang bersama pasangannya, seorang penyair haiku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka tidak menikah. Itu sekaligus cermin yang tajam bagi saya. (Saya teringat 20 tahun yang lalu, saat saya menulis Si Parasit Lajang, menyatakan diri tidak mau menikah—dan memang di KTP saya tercantum “tidak menikah” sampai sekarang.) Waktu itu, dan mungkin sementara ini di Indonesia, tidak menikah adalah sejenis perjuangan eksistensial bagi perempuan, barangkali tidak bagi lelaki.
Dua puluh tahun lalu, ketika saya pertama kali ke Jepang, lalu Korea, orang masih kerap berbicara tentang nilai-nilai Asia yang mengagungkan perkawinan dan keluarga tradisional. Nilai-nilai yang eksesnya menjadi perlawanan saya waktu itu. Tapi waktu itu pun saya telah mulai mendengar istilah “twilight divorce”, terutama di Korea Selatan. Perceraian setelah anak-anak beranjak dewasa. Biasanya diminta oleh istri, yang menyadari betapa ia telah kehilangan dirinya sendiri selama pernikahan.
Gejala itu sebenarnya menggambarkan dua hal yang bertentangan: relasi kuasa patriarkal dalam perkawinan tradisional sekaligus kemandirian perempuan usia lanjut. Setelah bercerai, para perempuan paruh baya itu bisa mengatur hidup, jadwal liburan, keliling dunia, tanpa memperhitungkan suami. Kemandirian ini tampaknya hanya dimungkinkan oleh ekonomi yang maju, sistem sosial yang modern, dan politik yang melindungi hak individu.
Dua puluhan tahun yang lalu juga, seingat saya, kami mulai melihat perceraian—juga seks, dalam banyak manifestasinya—sebagai sesuatu kemungkinan yang bisa dibicarakan dengan terbuka, dan bukan aib. Sebelumnya, perceraian—juga seks—adalah hal yang tabu, dan ketakutan itu dibebankan kepada perempuan. Kini saya duduk di hadapan Hiromi Kawakami. Sekitar dua pekan sebelumnya, saya juga bertemu dengan pengarang Korea Selatan, Bora Chung, di Ubud Writers and Readers Festival. Ia santai dan ramah, punya humor yang ironis, tidak menikah. Saya kira dunia memang sudah berubah.
Menakjubkan juga membaca perubahan itu melalui karya mereka. Pada umumnya kita tidak menemukan lagi tema-tema “agung” ala para pujangga abad ke-19 atau ke-20: perang dan damai (Tolstoy), kejahatan dan hukuman (Dostoyevsky), nasib manusia (André Malraux), bahkan bumi manusia (Pramoedya Ananta Toer). Ambisi menjawab pertanyaan-pertanyaan “agung” itu telah lumer. Ini tak hanya terjadi dalam sastra, tapi juga dalam filsafat—seolah-olah berbarengan dengan lunturnya keagungan metafisika.
Sementara filsafat kontemporer makin bermain di permukaan batas, di ketiadaan dasar; sastra kontemporer makin intens di peristiwa dan rasa-rasa yang ambigu dari makna. Kata Hiromi dalam pidatonya: Saya sadar ada peristiwa-peristiwa besar yang menyedihkan—seperti perang di Ukraina, di Gaza—dan di hadapannya sastra mungkin tak berdaya. Tapi sastra berdaya dalam menggambarkan perasaan-perasaan yang tak bernama.
Saya bilang kepada Hiromi, saya suka sekali cerita pendeknya, “Hokusai”. Saya lupa apa itu Hokusai ketika mulai membaca. Tapi perlahan citra-citra seni cetak erotis Jepang muncul dalam ingatan. Perempuan yang bercinta dengan gurita. Seekor gurita besar. Atau beberapa ekor. Tentakel yang membelit tubuh. Imaji demikian, karena tak pernah saya dapati di tempat lain, datang bersama gaya seni lukis Jepang. Tidak dalam visual yang lain. Hokusai adalah seniman yang membuat karya itu.
Tapi, dalam cerpen Hiromi Kawakami, citra itu muncul dalam narasi yang ironis. Kita tidak tahu haruskah kita bersimpati kepada tokoh cerita—seorang lelaki yang tak jelas mau apa dan seorang lagi yang mengaku gurita—dan percakapan mereka tentang perempuan. Kita melihat bagaimana si lelaki gurita mengobyektifikasi perempuan dalam fantasinya, sekaligus kita melihat ketidakberdayaannya. Saya ingin bertanya kepada Hiromi, tapi terkadang suasana simpang siur. Apakah ini alegori atas patriarki Jepang yang menjadi impoten?
Beberapa karya penulis perempuan Jepang dan Korea telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Ada Vegetarian dari Han Kang, pemenang Nobel Sastra 2024; Istana Naga (Hiromi Kawakami); Heaven (Mieko Kawakami); dan Si Bengkok (Ichikawa Saou). Kita akan melihat ironi sekaligus intensitas. Seksualitas jauh dari erotisasi atau glorifikasi, juga jauh dari penghalusan. Relasi antargender jauh dari idealisasi. Karya-karya mereka menelanjangi kita dari ide-ide yang selama ini membuat gagah. Kegagahan menjadi impoten. Alegorikah?
Akhirnya saya bertanya kepada Hiromi. Jumlah penduduk Jepang sedang menyusut, sudah lebih dari 10 tahun. Apakah Jepang tidak khawatir bangsa ini akan punah? Apakah pemerintah Jepang tidak melakukan apa pun untuk memungkinkan pasangan lebih terdorong punya anak? Misalnya kebijakan yang lebih ramah ibu. Tidak, katanya. Saya terdiam. Saya teringat gurita dalam ceritanya, yang mengobyektifikasi perempuan dalam pikirannya tapi tak berdaya dalam kenyataannya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo