Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ujaran kebencian tampak mudah dikenali tapi sulit dirumuskan dalam hukum.
Maknanya tidak stabil sehingga terbuka untuk diisi berbagai atribusi.
Akan runyam bila tafsir atasnya dipaksakan menjadi tunggal.
MESKIPUN tampaknya mudah dikenali, pada kenyataannya ujaran kebencian sulit dirumuskan dalam hukum karena menyangkut sejarah, budaya, dan kondisi sosial-politik suatu negara. Jepang adalah contohnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam analisisnya tentang ujaran kebencian di Jepang dalam buku Hate Speech in Asia and Europe (2020), Naoto Higuchi memaparkan bahwa istilah itu tidak lazim di Negeri Sakura tapi bukan berarti tidak ada. Sebaliknya, ujaran kebencian terhadap burakumin—sebutan untuk “orang-orang buangan” seperti keturunan Korea dan Cina yang menempati kasta terendah di zaman feodal—kini malah meluas dan bahkan berwujud serangan fisik. Parlemen kemudian menerbitkan Undang-Undang Penghapusan Ujaran Kebencian pada 2016, tapi tidak efektif karena tidak melarang ataupun menghukum pelakunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negara anggota Uni Eropa umumnya punya aturan mengenai ujaran kebencian, tapi dengan cakupan masing-masing. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Islandia melarang ujaran kebencian terhadap kewarganegaraan, warna kulit, ras, agama, orientasi seksual, dan identitas gender. Namun ujaran kebencian di Finlandia hanya mencakup hasutan terhadap kelompok nasional dan pelanggaran terhadap kedamaian agama.
Ujaran kebencian juga lebih menyoroti intensi daripada sekadar bentuk ekspresi. Suatu ujaran mengandung kebencian apabila mengandung hasutan untuk membenci karakteristik yang melekat pada individu yang merepresentasikan kelompoknya. Carlson (2021) menganggap ekspresi yang menyasar karakteristik yang tidak dapat diubah-ubah—yang mencakup ras, etnis, agama, jenis kelamin, identitas gender, orientasi seksual, usia, dan disabilitas—sebagai ujaran kebencian.
Ujaran kebencian merupakan—meminjam istilah Laclau dan Mouffe (1985)—“penanda mengambang”, konsep yang maknanya tidak stabil sehingga terbuka untuk diisi berbagai atribusi makna yang bersaing dari berbagai kelompok sosial. Keadaan akan runyam bila tafsirnya dipaksakan menjadi tunggal oleh kelompok yang memiliki kekuasaan.
Indonesia memiliki peraturan tentang ujaran kebencian, khususnya dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diubah pada Januari 2024, yang mencakup suku, agama, dan ras. Aturan ini dikritik karena terlalu lentur dan lebih sering digunakan untuk mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia, jurnalis, korban kekerasan seksual, dan pengkritik.
Andaikata sekelompok mahasiswa di Negeri Wakanda membentangkan spanduk bertulisan “Polisi di Negeri Wakanda pembunuh!” dalam demonstrasi, apakah ungkapan tersebut dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian? Jawabannya bergantung pada kelapangan akal dan hati warga Wakanda.
Meskipun bermakna negatif, tidak serta-merta kata pembunuh mengandung kebencian apabila kebenarannya dapat dibuktikan. Ujaran kebencian juga mesti mengandung intensi menghasut. Intensi tersebut akan tampak bila ungkapannya menjadi “Bunuh polisi di Negeri Wakanda!”. Inteligensi rakyat Wakanda tidak buruk-buruk amat dalam memahami bahwa ungkapan itu bukanlah provokasi untuk memusnahkan alat negara.
Apabila suatu institusi memanfaatkan hukum ujaran kebencian dengan dalih mempertahankan muruahnya, kita patut curiga bahwa institusi itu tengah mengerdilkan dirinya sendiri. Semua orang tahu bahwa Wakanda kacau-balau entah sejak kapan bila keamanan dan ketertiban umumnya tidak dipelihara oleh kepolisian. Namun bahwa ada satu-dua polisi yang jadi pembunuh—sebagaimana siapa pun bisa jadi pembunuh—itu fakta yang sudah jelas. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo