HIRUK pikuk KTT Nonblok sudah selesai. Sekarang tinggal melakukan refleksi dan restrospeksi atas hasil yang dicapai, terutama dalam tuntutan terhadap demokratisasi di tubuh PBB. Ini suatu hal yang tepat mengingat perubahan peta bumi dunia dewasa ini. Tapi, dalam hal yang lain seperti lingkungan danhak asasi manusia kita kurang menemukan rumusan yang tajam. Malah ada kesan bahwa rumusan hak asasi manusia dalam The Jakarta Message itu mendua, ragu-ragu dan agak jauh dari harapan. Beberapa kalangan malah melihat rumusan hak asasi manusia itu agak mundur, suatu antiklimaks dari harapan yang besar terhadap KTT Nonblok untuk melahirkan, atau setidaknya memberi arah kepada lahirnya paradigma baru dalam hak asasi manusia. Hal ini amat beralasan jika KTT Nonblok ini kita kaitkan dengan rencana Kongres Hak Asasi Manusia se- Dunia, yang akan digelar tahun depan. Kelihatannya harapan itu terlalu muluk. Keanggotaan KTT Nonblok ini terlalu majemuk dengan perbedaan kepentingan yang terkadang sulit didamaikan. Lihat saja betapa alotnya perdebatan tentang Bosnia, yang seharusnya dikutuk secara keras. Tapi, beberapa negara memilih sikap rada lunak. Padahal, di sana telah terjadi operasi pembersihan etnik (ethnic cleansing). Syukurlah KTT Nonblok masih berhasil mengeluarkan pernyataan mengutuk pembersihan etnik tersebut. Selain soal perbedaan kepentingan yang sulit didamaikan ini, kita pun mengamati perbedaan akan hak asasi manusia walau semua negara mengakui terikat pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB. Debat klasik sifat hak asasi manusia yang universal dipertentangkan dengan sifat hak asasi manusia yang lokal. Tidak ada titik temu. Jadi, memang tidak mungkin bisa lahir suatu pernyataan yang bermakna dan mengikat. Dengan kata lain KTT Non-blok ini tidak bisa melahirkan suatu deklarasi yang sifat hukum publiknya lebih kuat. Sementara itu, The Jakarta Message adalah message yang sifat hukum publiknya terasa kurang kuat. Tidak salah jika ada orang yang menyimpulkan bahwa The Jakarta Message ini adalah cerminan dari keberhasilan kita menularkan "budaya mengimbau". Yang kita kurang sadari mungkin arti mengimbau disini agak lain dengan di negara lain, karena mengimbau disini adalah bahasa halus dari memerintahkan, sementara di negara lain mengimbau adalah tetap mengimbau. Dengan cara pandang seperti ini kita bisa memahami mengapa The Jakarta Message agak mendua dalam rumusan hak asasi manusianya. Masih ada pandangan yang melihat konsep hakasasi manusia itu sebagai konsep Barat yang mengutamakan hak-hak individual, sementara masyarakat KTT Nonblok yang datang dari Barat, Timur, Utara, dan Selatan -- lebih mengutamakan hak-hak komunitas. Sebetulnya hak individual danhak komunitas tidak usah dipertentangkan karena keduanya saling bergandengan. Yang paling banyak diangkat oleh The Jakarta Message adalah soal pentingnya hak-hak sosial dan ekonomi diutamakan ketimbang hak-hak sipil dan politik. Gagasan ini adalah gagasan lama yang sudah sejak dulu dikumandangkan oleh para ahli ekonomi yang percaya dengan teori lelehan ke bawah (trickledown theory), yang artinya hal-hal nonekonomi akan dengan sendirinya dinikmati jika pembangunan ekonomi berhasil. Bagaimana pembangunan ekonomi itu dikelola, tampaknya tidak jadi soal, meski semua itu dilaksanakan secara non demokratis dan nonpartisipatif. Dalam literatur hak asasi manusia, cara pandang seperti ini telah lama dianggap salah karena berasumsi pada pandangan yang melihat pembangunan ekonomi sebagai satu-satunya jalan menuju sukses. Pembangunan ekonomi dan hak-hak ekonomi itu hanya bisa diperoleh dan ditegakkan jika dia disertai oleh hak-hak sipil dan politik. Tidak bisa dipisahkan. Banyak contoh negara di dunia yang dapat kita lihat di mana kegagalan negara yang membangun ekonomi secara parsial terjadi karena absennya jaminan hak-hak sipil dan politik. Lihatlah apa yang pernah terjadi di Pakistan dan terakhir tuntutan demokratisasi dan hak asasi di Korea Selatan. Karenanya, literatur hak asasi manusia selalu bicara tentang konsep "indivisibility" artinya hak-hak sipil dan politik tidak dapat dipisahkan dari hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya. Sayangnya, The Jakarta Message meski mengakui konsep indivisibility ini, tapi berangkat dari konsep divisibility. Saya kira ini suatu cara pandang yang bisa merepotkan kita nantinya. The Jakarta Message ini sepertinya tidak mengindahkan perdebatan hak asasi yang sudah berlangsung lebih dari 40 tahun, di mana konsep indivisibility ini sudah disepakati secara luas. Pada sisi lain, ada soal psikologi sejarah yang mungkin perlu kita pelajari bahwa banyak pemimpin negara-negara Nonblok berasal dari pengalaman perang melawan kolonialisme Barat. Maka, sikap anti-Baratnya masih cukup kuat. Ini berbeda dengan para anak muda yang sudah bisa melihat dunia baru yang tidak terlalu sarat dengan luka-luka sejarah. Karena itulah kita seharusnya bisa memahami jika seorang pemuka Nonblok, mantan Presiden Tanzania, Julius Nyerere, pernah berucap, "Apa haknya Barat memberi kuliah tentang hak asasi manusia karena mereka pernah memenjarakan saya dan rakyat saya." Artinya, masa kita belajar hak asasi manusia dari para penjajah yang telah menginjak hak-hak asasi kita. Nyerere betul, tapi implikasi ucapan itu bisa menjadi suatu pengingkaran terhadap hak asasi manusia dalam artian negatif. Hal ini menjadi semacam negative defense, sama seperti ucapan orang, "Jangan campuri soal dalam negeri kami karena di negara tuan ada diskriminasi yang parah seperti di Los Angeles beberapa bulan silam." Kesemua ucapan di atas ada benarnya, tapi janganlah ucapan itu dipakai untuk merasa tidak bersalah terhadap pelanggaran hak asasi manusia di negeri sendiri. Marilah kita tumbuhkan suatu dialog intelektual yang sehat dan positif tentang hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini