TANK dan peralatan perang bisa mencerdaskan ribuan orang dari berbagai negara. Ini yang dibuktikan oleh Jay William Fulbright, 87 tahun, Senator dari Arkansas, Amerika Serikat (AS). Dari hasil penjualan mesin-mesin perang afkiran Perang Dunia II pada 1946, anggota Partai Demokrat ini memperoleh modal untuk membuka beasiswa Fulbright bagi mahasiswa darimana saja. Dengan modal itu, Fulbright memulainya dengan pertukaran cendekiawan Amerika dan negara-negara lain. Tujuan program ini yakni membuat para pesertanya saling mengenal budaya masing-masing. Perdamaian dunia tecapai, menurut Fulbrightyang anti perang, bila ada saling pengertian antar bangsa atau budaya. Program Fulbright cepat populer. Kini, hampir genap 200.000 warga dunia pernah mengecap program Fulbright Fellowship itu. Seper tiga di antaranya berasal dari Amerika dan sisanya adalah warga 130 negara lainnya. Umumnya, alumni Fulbright menjadi elite di negerinya. Misalnya di Jepang, sekitar 30-an alumninya menjadi duta besar, lebih dari 100 menjabat eksekutif top di konglomerat Jepang, dan masih banyak lagi di pemerintahan. Di Indonesia, tahun ini beasiswa Fulbright genap 40 tahun. Ratusan cerdik pandai telah menikmatinya. Beberapa alumninya sempat menduduki posisi penting di lingkungan pemerintahan atau akademi. Sebut saja Menteri Luar Negeri Ali Alatas, dan pendahulunya, Mochtar Kusumaatmadja, lalu cendekiawan Amin Rais dari UGM, bekas Direktur Televisi Ishadi, dan sebagainya. Beasiswa ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang ingin meraih gelar master (S2) atau doktor (S3) di bidang humaniora atau ilmu-ilmu sosial di Universitas Harvard, Winsconsin, Cornell, Berkeley, Ohio, Washington, atau lainnya. Fulbright memang sengaja mengambil ilmu sosial karena bidang ini "ditelantarkan" oleh lembaga lain yang mengutamakan bidang teknologi dan ekonomi. Ada kalanya Fulbright juga memberikan beasiswa bagi peneliti atau bahkan fellow ship bagi seorang tokoh untuk menulis karya terbarunya. Contohnya penyair Taufik Ismail, yang sampai saat ini sedang sibuk menerjemahkan puisi-puisi Amerika kebahasa Indonesia. Namun, karena dana yang terbatas, penerima beasiswa ini mesti hidup irit selama belajar. Aktivis lingkungan yang mengambil gelar master di Universitas Tufts, Boston, 1989 1991 itu mesti mengulur uang sakunya yang cuma US$ 830 sebulan. Uang itu untuk kos, makan, dan uang saku. Urusan sekolah diberesi Fulbright. "Saya harus kos bersama empat atau lima mahasiswa. Tak mungkin tinggal di apartemen sendirian," katanya. Purnomo juga mengeluhkan soal urusan sekolah dan markas Fulbright di New York yang sering tak mulus. Tiap semester, katanya, sekolahnya mengirim bon tagihan uang kuliah ke alamatnya. Padahal, seharusnya tagihan itu dikirim langsung ke kantor Fulbright. Akibatnya, tiap semester ia terpaksa tarik urat leher dengan pihak universitas dan Fulbright. Karena, Fulbright tetap tak mau bayar karena bon itu tak dialamatkan ke kantornya. "Saya pernah dilarang ikut ujian gara- gara pembayaran terlambat," cerita Purnomo. Memang cukup berat menyalurkan dana bagi mahasiswa Fulbrighters, yang tahun ini sebanyak 5.000 orang. Untuk 1992, pemerintah AS mengeluarkan dana US$ 115 juta dan 30 negara menyumbang sekitar US$ 18 juta. Sebenarnya, dari 130 negara non-AS itu hanya 46 yang punya badan independen pengelola program ini. Indonesia, misalnya, sejak 1987 penyaluran beasiswa ini ditangani Yayasan Aminef (American-Indonesian Exchange Foundation), yayasan yang juga mengelola berbagai program beasiswa. Sebanyak 10% dana Aminef dari pihak Indonesia dan 90% dari Amerika. Aminef setiap tahunnya menyalurkan dana Fulbright untuk 40 mahasiswa, termasuk beasiswa tahun kedua. Mereka, pilihan dari 300 lebih pelamar, selain harus lolos tes bahasa Inggris TOEFL dan wawancara, juga harus mendapat rekomendasi dari profesornya atau tokoh terkemuka di bidangnya. "Penerima Fulbright adalah wakil Indonesia di AS, sehingga dia harus bisa memperkenalkan atau mengajarkan tentang Indonesia kepada Amerika Serikat," kata Pamela Smith, direktur pelaksana Aminef, yang mulai bulan depan digantikan A. Dahana, wartawan TEMPO dan ahli Cina dari UI. Menurut Amin Rais, Fulbrighter angkatan 1972, pemberian beasiswa ini tak lepas dari tujuan nonakademis. Amerika, ujar pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini, punya kepentingan menjaring intelektual dari dunia ketiga. "Diharapkan, ketika kembali ke negaranya, mereka punya empati bahkan simpati kepada AS," katanya. Pimpinan yayasan ini, Fulbright, membantahnya. "Tujuan utama program ini bukan untuk berdakwah atau mengindoktrinasi atau mengamerikakan dunia. Tapi, terutama adalah membuat warga Amerika lebih mengerti keadaan di luar negerinya hingga dapat membawa kebijakan dari luar ke Amerika," kata Fulbright. Siapa tahu setelah tak ada perang lagi, dana Fulbright bisa kian tebal karena banyak peralatan perang yang bisa dilego. Ardian Taufik Gesuri, Leila S. Chudori (Jakarta), R. Fadjri (Yogya) dan Bambang Harymurti (New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini