Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berpisah dengan energi fosil yang telah lama memanjakan negeri ini tidak mudah.
Biaya memensiunkan PLTU batu bara memang mahal.
Presiden hasil Pemilu 2024 perlu komitmen dan keteguhan untuk beralih ke energi bersih.
Moh. Samsul Arifin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerhati energi bersih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa tak bahagia menyaksikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat, diresmikan Presiden Joko Widodo pada 9 November lalu. Ini adalah PLTS terbesar di Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia dengan kapasitas mencapai 192 megawatt peak (MWp). Ditransmisikan ke gardu PLN, listrik dari energi terbarukan (matahari) ini dapat menopang 50 ribu rumah tangga di wilayah Jawa, Madura, hingga Bali.
Rampungnya PLTS terapung Cirata ini adalah sebuah pernyataan penting sekaligus menunjukkan keseriusan negeri kita terhadap transisi ke energi terbarukan alias energi bersih dan berkelanjutan. Hal ini masuk akal karena separuh dari total potensi energi terbarukan di negeri kita, yang mencapai 400 ribu megawatt, berasal dari energi surya. Sebagai negeri di khatulistiwa, Indonesia bisa memanen energi surya dalam jumlah berlimpah jika dibarengi pembangunan infrastruktur dan teknologi pemanfaatan yang tepat.
Tapi saya sedikit masygul karena sehari sebelumnya, calon presiden Ganjar Pranowo menunjukkan sikap konservatif mengenai transisi ke energi terbarukan. Dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta pada 8 November lalu, Ganjar berujar, “Maaf, ya. Saya kira kita enggak bisa sok-sokan akan pindah kemudian kita hancur, jangan. Kita siapkan, tapi road map-nya dilakukan dan betul negara sudah ada, tinggal melakukan saja.” Calon presiden dari PDI Perjuangan itu merespons pertanyaan Duta Besar Belanda mengenai kebijakan Indonesia yang masih menggunakan batu bara, tapi pada saat yang sama sedang menjalankan transisi menuju energi terbarukan.
Secara eksplisit, Ganjar menyebutkan negeri kita memiliki sumber daya energi berupa batu bara. Jadi masuk akal jika Indonesia masih menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Soal emisi karbon dioksida yang muncrat dari PLTU batu bara itu, kata Ganjar, ada teknologi ultra-supercritical (USC) yang dapat diandalkan untuk menurunkannya. Betulkah begitu?
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengingatkan ihwal kurang manjurnya teknologi USC pada tahun lalu. Menurut IESR, bahkan dengan teknologi USC terbaik saja, pembangkit menghasilkan emisi langsung lebih dari 700 kilogram setara dengan karbon dioksida per megawatt jam (MWh). Itu lebih tinggi daripada emisi pembangkit dari sumber energi fosil seperti gas. Penggunaan teknologi USC juga tidak signifikan dibanding penurunan faktor emisi jaringan nasional yang ada di kisaran 900 kilogram setara dengan karbon dioksida per MWh.
Kendati hingga 2021 cadangan batu bara Indonesia masih cukup untuk 60-65 tahun mendatang, menurunkan ketergantungan pada energi yang tidak ramah lingkungan itu wajib dilakukan dengan persneling tiga atau empat. Tak bisa lagi dengan “gigi” satu atau dua.
Ganjar menyarankan PLTU menggunakan teknologi USC karena mayoritas PLTU batu bara terkonsentrasi di Jawa Tengah, tempat dia memimpin selama satu dekade. Total kapasitas PLTU batu bara di daerah itu mencapai 10,09 gigawatt alias lebih dari seperlima kapasitas PLTU batu bara di Tanah Air yang sebesar 45,35 gigawatt.
Harga tinggi batu bara, yang membuatnya menjadi primadona ekspor Indonesia, bukan alasan untuk tidak mengurangi ketergantungan pada komoditas ini. Program pensiun dini PLTU yang digalang pemerintah, contohnya, punya alasan kuat karena PLTU batu bara adalah jantung masalah dan penyumbang utama gas rumah kaca dari sektor energi. Secara global, PLTU batu bara menyumbang 38 persen dari emisi karbon dioksida di sektor energi. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan 13-14 PLTU batu bara dengan total kapasitas 4,8 gigawatt untuk pensiun dini.
Biaya pemensiunan itu diharapkan dapat ditanggung Program Transisi Energi Berkeadilan (JETP) senilai US$ 21,5 miliar atau sekitar Rp 335,4 triliun. Cuma, JETP yang digawangi negara-negara maju G20 ini seret, kalau bukan macet. Negara-negara pemilik dana dilaporkan kurang berkenan atau belum berminat mengucurkan hibah atau pinjaman berbunga rendah untuk program penghentian PLTU tadi (Tempo, 6-12 November 2023). Juga perlu dicamkan bahwa porsi hibah JETP itu hanya Rp 4,55 triliun.
Saya paham dan akhirnya masygul jika Ganjar masih berfokus pada PLTU batu bara. Yayasan Madani Berkelanjutan (2023) meneliti visi dan misi pasangan calon presiden 2024 untuk transisi energi yang berkeadilan. Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. ternyata tak mencantumkan komitmen soal pensiun dini PLTU batu bara dalam visi dan misinya. Syukurlah, mereka menyebutkan akan memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT) secara bertahap serta meningkatkan porsi EBT menjadi 25-30 persen pada 2029. Tatkala berbicara dalam forum Sarasehan 100 Ekonom, Ganjar menjelaskan bahwa skenario untuk meningkatkan porsi EBT dari 13,4 persen menjadi 31,6 persen butuh biaya Rp 1.300 triliun.
Berbeda dengan Ganjar-Mahfud, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menyatakan komitmennya untuk melanjutkan program pensiun dini PLTU batu bara berdasarkan asas keadilan dan keberimbangan. Hal ini bisa dimaklumi karena pasangan ini mengusung ide keberlanjutan, yaitu melanjutkan program dan agenda yang telah dikerjakan pemerintahan Jokowi sejak 2014.
Adapun Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menyampaikan hal yang lebih progresif. Mereka mengumbar tiga janji: membatasi pembangunan PLTU batu bara yang baru, memensiunkan PLTU batu bara, dan memberikan disinsentif untuk energi tidak terbarukan (fosil). Karena mengusung ide perubahan, pasangan ini mengumbar janji yang mengikuti tren global. Namun hal itu masih harus dibaca sebagai sebuah janji yang indah di atas meja.
Transisi ke energi terbarukan sebetulnya bukan soal tren semata. Hal ini soal kesadaran bahwa kita semua, Homo sapiens, di negara mana pun tinggal, makin terbatas untuk menghindari skenario bumi yang terpanggang dan iklim yang tak terkendali. Studi terbaru menyebutkan peluang atau kesempatan bangsa-bangsa di planet ini menahan laju pemanasan bumi di bawah 1,5 derajat Celsius sebelum 2030 tinggal 50 persen.
Sejak 2015, Indonesia terikat dengan Kesepakatan Paris. Itu komitmen yang wajib ditunaikan. Salah satunya, ya itu tadi, melakukan transisi ke energi terbarukan secara bertahap, bukan radikal, apalagi sok-sokan.
Berpisah dengan energi fosil yang telah lama memanjakan negeri kita ini bukan hal yang gampang. Ia perlu niat, tekad, komitmen, dan keteguhan, serta diwujudkan dengan langkah-langkah konkret. Belum lagi biayanya yang besar. Itulah yang bikin repot pemerintah.
Ditambah dengan pandemi Covid-19, yang datang tak terduga dan menelan dana lebih dari Rp 1.000 triliun dalam bentuk stimulus jumbo (2000-2022), tak ayal bauran energi baru dan terbarukan terpengaruh. Walhasil, pada 2022, bauran EBT mentok di 14,11 persen. Presiden Jokowi juga tak yakin target bauran EBT sebesar 23 persen dapat dicapai pada 2025.
Target mungkin belum dapat dicapai, tapi komitmen tak boleh surut ke belakang. Ini titik yang tak dapat dibalik, termasuk dalam memensiunkan PLTU batu bara yang telah dijadwalkan secara bertahap. Karena itu, pemerintah hasil Pemilu 2024 wajib menghentikan godaan untuk kembali membangun PLTU batu bara anyar lantaran merasa cadangan kita masih cukup untuk 60-65 tahun mendatang.
Adalah fakta (atau dosa?) bahwa PLTU menguasai 66 persen dari total pembangkit listrik Indonesia pada 2021. Listrik yang dihasilkan memang berguna untuk menerangi Nusantara, tapi emisi gas karbon dioksida yang dikeluarkan juga mengotori atmosfer. Belum lama ini, warga Jakarta dan sekitarnya telah merasakan dampaknya: berhadapan dengan polusi udara hebat, yang salah satunya disumbang oleh PLTU batu bara di sekelilingnya.
Suhu harian di sejumlah kota di Tanah Air, seperti Semarang, Surabaya, dan Makassar, pernah meloncat hingga 40 derajat Celsius pada Oktober lalu. Alarm tanda bahaya sering berbunyi. Indonesia, negara nomor tujuh penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia (mencapai 1,24 gigaton setara dengan karbon dioksida pada 2022), tak boleh terlena.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo