Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful Mujani
SUDAH lama muncul suara bahwa jumlah partai politik terlalu banyak, akibatnya pelaksanaan pemerintahan rumit. Terlalu banyak kepentingan yang harus dinegosiasikan antara DPR dan pemerintah. Karena itu muncul gagasan untuk menyederhanakan sistem kepartaian menjadi sistem multipartai yang lebih sederhana. Dibayangkan, misalnya, jumlah partai yang mendapat kursi efektif di DPR tidak lebih dari tiga.
Electoral Threshold
Dalam demokrasi di mana pun biasa terjadi ketegangan antara keinginan untuk maksimalisasi representasi aspirasi warga yang beragam dan keinginan menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif. Ketegangan ini tidak mudah diatasi. Sulit membangun sistem kepartaian yang sederhana sekaligus representatif secara maksimal dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Pasti ada yang harus dikurangi: efektivitas dan efisiensi pemerintahan atau representasi kepentingan warga di DPR.
Tarik-menarik antara representasi dan efektivitas ini terlihat dalam Rancangan Undang-Undang Politik yang baru. Secara eksplisit dinyatakan perubahan sistem kepartaian dilakukan untuk mendukung perwujudan multipartai sederhana (penyederhanaan). Tapi bersamaan dengan itu dinyatakan pula perubahan itu dilakukan dengan tetap menghormati keberagaman bangsa Indonesia (representasi).
Namun semangat penyederhanaan sistem kepartaian terlihat lebih nyata. Diusulkan agar electoral threshold atau ambang batas minimal perolehan suara partai dalam Pemilu 2009 dinaikkan dari tiga menjadi lima persen. Bila usul ini disetujui, partai-partai yang mendapat suara di bawah lima persen dalam Pemilu 2009 tidak bisa ikut dalam Pemilu 2014. Apakah peningkatan electoral threshold ini akan mengurangi jumlah partai yang punya suara efektif di DPR?
Berdasarkan perolehan suara Pemilu 2004, ada tujuh partai yang mendapat suara lima persen atau lebih. Bila tidak banyak perubahan, electoral threshold tersebut tetap membuka ruang untuk terbentuknya sistem kepartaian terfragmentasi secara ekstrem, yakni jumlah partai efektif di DPR lebih dari lima partai. Harus diupayakan agar sistem kepartaian kita tidak terfragmentasi secara ekstrem, melainkan secara moderat saja. Jumlah partai yang punya kursi efektif di DPR antara tiga sampai lima partai saja. Electoral threshold dinaikkan menjadi sepuluh persen? Ini salah satu kemungkinan, tapi pasti akan mendapat perlawanan hebat dari partai-partai dengan suara di bawah sepuluh persen.
Sistem Pluralitas Sederhana
Alternatif lain untuk penyederhanaan sistem kepartaian adalah mengubah sistem proportional representation (PR) seperti yang dianut Indonesia sekarang menjadi sistem pluralitas—secara kurang tepat sering disebut dengan sistem distrik. Di negara-negara demokrasi, sistem pluralitas dari varian first past the post (FPTP) atau pluralitas sederhana dan varian block vote cukup membantu menyederhanakan sistem kepartaian dibandingkan sistem PR dengan segala variannya.
Dalam varian sederhana (FPTP dalam single member district) dari sistem pluralitas, jatah kursi yang diperebutkan di satu daerah pemilihan hanya satu, karena itu hanya ada satu calon yang menang di daerah tersebut. Calon-calon lain, dari partai yang sama maupun yang berbeda, tidak akan punya kursi di DPR dari daerah pemilihan tersebut. Hasil akhirnya, menurut studi empiris, secara umum sistem ini cenderung menghasilkan dua hingga tiga partai saja yang punya kursi efektif di DPR.
Demikian juga kalau varian block vote partai dari sistem pluralitas yang diterapkan. Partai yang mendapat suara paling banyak mengambil semua kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan itu. Akibatnya, hanya sedikit partai yang punya wakil dalam jumlah efektif di DPR. Dengan demikian penyederhanaan sistem kepartaian bisa terjadi.
Sama seperti usul untuk menaikkan electoral threshold menjadi sepuluh persen, perubahan sistem PR menjadi sistem pluralitas kemungkinan besar akan mendapat perlawanan dari partai-partai yang mendapat suara sedikit di banyak daerah pemilihan. Kalau sistem pluralitas diterapkan, dengan memekarkan jumlah daerah pemilihan ataupun tidak, dan kalau menggunakan data Pemilu 2004, maka kemungkinan ada partai politik yang mendapat jumlah kursi mayoritas di DPR. Ini akan melahirkan sistem kepartaian sederhana, bahkan amat sederhana.
Dengan sistem pluralitas dengan dua varian itu, bila data Pemilu 2004 dipakai, kemungkinan partai yang punya wakil di DPR dengan jumlah efektif adalah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. PKB mungkin masih punya kursi meskipun tidak banyak, karena dalam Pemilu 2004 cukup banyak calon PKB yang mendapat suara terbanyak di sejumlah daerah pemilihan di Jawa Timur. PKS punya wakil di DPR dari daerah pemilihan di Jakarta dan Jawa Barat. Partai lain seperti Demokrat, PPP, dan PAN, apalagi partai lain yang lebih kecil, kemungkinan akan hilang karena tidak mendapat suara paling banyak di satu pun daerah dalam Pemilu 2004.
Seandainya daerah pemilihan dimekarkan untuk mengakomodasi prinsip single member district dari sistem pluralitas sehingga jumlah daerah sebanyak jumlah anggota DPR, cerita Pemilu 2004 sedikit berbeda. Kalau dianggap tidak banyak perubahan perilaku pemilih, PPP dan PAN serta Demokrat kemungkinan masih akan mendapat kursi meskipun sedikit, dan karenanya tidak efektif.
Ketika sistem pluralitas varian FPTP atau block vote partai ini dikombinasikan dengan undang-undang pemilihan presiden yang mengharuskan seorang calon presiden dicalonkan oleh partai politik, maka peluang untuk lahirnya presiden dengan kekuatan partai politik dominan, atau oposisi dominan, di DPR akan lebih terbuka. Dengan begitu, akan terbentuk pemerintahan yang lebih efektif dan efisien karena eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai yang sama.
Tetap Demokratis
Siapa diuntungkan dan dirugikan bila sistem pluralitas tersebut diterapkan menjadi lebih jelas. Keberatan idealis pertama yang akan muncul: sistem pluralitas mengebiri demokrasi karena mengabaikan suara rakyat yang memilih partai-partai lain yang tidak mendapat kursi di DPR, walaupun bila ditotal bisa cukup besar. Sebagian suara rakyat, yang katanya suara Tuhan itu, dibuang sia-sia. Keberatan ini valid apabila kita menekankan representasi kepentingan di atas keinginan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan keinginan untuk membangun pemerintahan yang lebih efisien dan efektif. Di situlah masalahnya.
Suara terbuang itu bisa dikurangi kalau jumlah partai yang bersaing sedikit, dan bila terjadi perilaku ban-wagon effect di antara pemilih—kecenderungan memilih partai yang diperkirakan menang. Ini terjadi di negara-negara yang menganut sistem pluralitas. Tapi reaksi negatif lain akan muncul, kemungkinan tingkat partisipasi lebih rendah dalam pemilihan umum sebab jumlah partai yang sedikit akan mempersempit keragaman aspirasi pemilih. Ini akan mendorong warga tidak ikut serta dalam pemilihan umum.
Pertanyaannya kemudian apakah representasi atas dasar partai, bukan representasi individu, melanggar komponen dasar demokrasi? Tidak. Demokrasi menjamin hak-hak politik individu dan hak ini dapat diterjemahkan ke dalam pembentukan partai politik. Partai-partai ini dijamin ikut serta untuk memperebutkan jabatan-jabatan publik strategis, terlepas dari masalah electoral threshold. Sistem pluralitas terbuka pada setiap individu atau gabungan antara individu dalam partai, atau kelompok bukan partai, untuk memperebutkan jabatan-jabatan tersebut dalam pemilu, tetap demokratis. Mereka mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi kekuatan mayoritas di DPR. Tapi, kalau gagal dalam pemilu, dan suara mereka tidak terwakili di DPR, tidak ada mekanisme demokrasi yang dilanggar. Karena itu, kita tidak bisa menilai Amerika atau Inggris kurang demokratis karena menganut sistem pluralitas itu. Kita juga tidak bisa mengatakan Jerman, Afrika Selatan, atau Indonesia lebih demokratis karena menganut satu varian dari sistem PR.
Yang penting dalam demokrasi adalah bagaimana keputusan dibuat tentang sistem pemilihan umum dalam sebuah negara. Apabila sistem pluralitas diberlakukan lewat perdebatan di DPR, dan bila tidak dicapai konsensus dilakukan voting, tidak ada asas demokrasi yang dilanggar.
Bila PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKB, dan PKS mendukung sistem pluralitas dan ketika voting mereka menang, kemenangan itu dicapai lewat cara demokratis. Tidak ada masalah dilihat dari perspektif demokrasi.
Yang mungkin dilanggar adalah asas rasa kebersamaan kelompok-kelompok anak bangsa yang secara sosiologis beragam. Kalau kita memprioritaskan keragaman, sistem yang kita anut sekarang mungkin perlu dipertahankan, mungkin dengan sedikit modifikasi, misalnya dari daftar calon tertutup menjadi daftar calon terbuka. Tapi jangan mengeluh kalau pemerintahan yang dilahirkan nanti tetap kurang efektif dan kurang efisien.
Secara teoretis tidak ada sistem pemilu yang ideal yang menghasilkan pemerintah yang representatif secara maksimal dan yang efektif dan efisien secara maksimal pula. Sistem mana yang dipilih tergantung pada prioritas kita. Dan yang menentukan pilihan lebih banyak faktor kepentingan politik nyata, bukan pertimbangan-pertimbangan idealis.
Kalau Partai Golkar atau PDI Perjuangan tidak memilih sistem pluralitas sekarang, itu tidak sepenuhnya karena mereka ingin menekankan masalah representasi tapi mungkin karena mereka sekarang belum cukup menjadi kekuatan mayoritas untuk menentukan pilihan itu. Sementara partai-partai lain yang menolak sistem pluralitas atau peningkatan electoral threshold alasannya sangat jelas: agar bisa survive di DPR.
Dalam bulan-bulan ke depan kita akan menyaksikan pertarungan hidup-mati partai politik di DPR. Anggaplah itu pemanasan sebelum bertarung dalam Pemilu 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo