Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Politik Luar Negeri Bebas Aktif ala Prabowo

Politik bebas aktif Indonesia kini bergeser menjadi lebih pragmatis. Apa saja potensi dan risikonya?

27 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia mencoba memperluas pemaknaan “bebas aktif”, lebih berfokus pada pragmatisme ekonomi-politik dan keamanan regional.

  • Pada era Bung Hatta, istilah “Mendayung Antara Dua Karang” kini tampaknya sudah berubah menjadi “Berpijak di Atas Dua Karang”.

  • Indonesia juga harus siap dengan benturan konflik kepentingan dengan kedua blok di level regional ataupun internasional, misalnya konflik di wilayah Laut Cina Selatan.

INDONESIA dikenal dengan prinsip politik luar negeri “bebas aktif” yang menjadi fondasi diplomasi dan interaksi globalnya. Prinsip ini pertama kali diperkenalkan oleh Mohammad Hatta pada 1948 dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung Antara Dua Karang” sebagai respons terhadap blok-blok besar dalam Perang Dingin: Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah Uni Soviet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan semangat menjaga kedaulatan dan tidak berpihak, Indonesia memposisikan diri untuk tak bergantung pada satu pihak, tapi tetap aktif berkontribusi dalam perdamaian dunia sesuai dengan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kesempatan lain, Hatta secara lebih jelas menjabarkan konsep bebas aktif dalam majalah Foreign Affairs (1953): “Indonesia tidak berpihak di antara kedua blok yang bertentangan dan menempuh jalannya sendiri dalam berbagai isu internasional. Kebijakan ini disebut dengan istilah ‘bebas’, dan kemudian untuk melengkapinya digambarkan sebagai bebas dan ‘aktif’. Istilah aktif dimaksudkan sebagai upaya bekerja keras menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan yang ditimbulkan kedua blok melalui upaya-upaya yang jika memungkinkan didukung oleh mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.”

Namun konsep politik bebas aktif kini menghadapi konteks situasi global yang berbeda. Perubahan geopolitik global, terutama dengan bangkitnya Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia, ketegangan di Laut Cina Selatan, hingga pengaruh ekonomi-politik Amerika Serikat yang tetap kuat, menciptakan situasi perang dagang antara Amerika dan Cina serta menantang prinsip bebas aktif ini untuk berkembang lebih fleksibel dan adaptif. 

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia mencoba memperluas pemaknaan “bebas aktif” dengan lebih berfokus pada pragmatisme ekonomi-politik dan keamanan regional. Tujuannya tentu demi mendukung target ambisius Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

Politik Bebas Aktif dari Masa ke Masa

Pada awalnya, politik bebas aktif diterapkan dengan menekankan netralitas Indonesia dari pengaruh ideologi serta militer dua blok besar dunia, terutama pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Sebagai contoh, Indonesia aktif dalam Gerakan Non-Blok (GNB) bersama negara-negara dunia selatan yang enggan terjebak dalam pertarungan adidaya. Posisi ini diambil agar Indonesia tidak terseret konflik yang sebenarnya tak relevan dengan kepentingan nasional (Sindunegoro, 1991). 

Walau demikian, dalam implementasinya, ada kecenderungan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru mendekat ke ideologi atau blok tertentu. Seperti halnya Orde Lama yang sedikit condong kepada Blok Timur, Orde Baru yang condong kepada Blok Barat dan berlanjut kepada era pasca-reformasi (King, 1990).

Dalam konsep bebas aktif era awal, ada tekanan kuat untuk menolak dominasi dari luar dan menjaga kebebasan politik luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi Indonesia dari ketergantungan berlebihan. Pada masa ini, diplomasi Indonesia sangat selektif memilih kerja sama luar negeri dan cenderung menghindari keterlibatan dalam perselisihan ekonomi-politik global (Anwar, 1994).

Memasuki era modern, prinsip ini mengalami penyesuaian. Pada era Bung Hatta, istilah “Mendayung Antara Dua Karang” kini tampaknya sudah berubah menjadi “Berpijak di Atas Dua Karang”. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, Indonesia diarahkan untuk tidak hanya bersikap netral dan aktif di lini perdamaian, tapi juga aktif dalam kontestasi global, dialog internasional, latihan militer bersama, serta kerja sama ekonomi yang erat dengan berbagai pihak dan blok. 

Perubahan ini muncul sebagai respons terhadap meningkatnya pengaruh kekuatan-kekuatan ekonomi-politik baru, seperti Cina, yang secara perlahan mengubah lanskap ekonomi dunia. Presiden Prabowo memahami bahwa dalam dunia yang makin terhubung dan saling ketergantungan, dibutuhkan netralitas proaktif atau jemput bola untuk melindungi kepentingan nasional.

Di sektor ekonomi, misalnya, Indonesia sejak periode pemerintahan lalu berupaya memanfaatkan megaproyek Belt and Road Initiative (BRI) Cina untuk mendukung pembangunan infrastruktur sambil tetap memperkuat hubungan dengan negara-negara Barat melalui kerangka kerja, seperti Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF).

Pada kepemimpinan Prabowo, keaktifan Indonesia dalam percaturan ekonomi global makin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan Indonesia dalam kelompok ekonomi, seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) serta The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dipelopori Amerika Serikat. Langkah ini menjadi strategi untuk menarik investasi dan memperluas pasar ekspor, yang penting demi mencapai target ekonomi Prabowo.

Langkah mendekat ke dua organisasi ini memperlihatkan bagaimana Indonesia memilih untuk tidak membatasi diri pada satu blok ekonomi. Indonesia justru berusaha menjalin hubungan dan memperoleh manfaat dari kedua pihak, yakni kekuatan ekonomi berkembang dan ekonomi maju.

Bergabung dengan BRICS menawarkan peluang bagi Indonesia untuk mengakses dana investasi infrastruktur yang besar, terutama melalui New Development Bank (NDB) yang dibentuk kelompok ini. Dalam konteks ekonomi global yang makin multipolar, BRICS memberikan platform bagi negara-negara berkembang dan dunia selatan untuk bersuara dalam kebijakan ekonomi global sehingga Indonesia bisa memanfaatkan forum ini demi memperjuangkan agenda pembangunan yang lebih inklusif.

Di sisi lain, keinginan Indonesia bergabung dengan OECD mencerminkan niatnya untuk memperkuat standar tata kelola ekonomi dan bisnisnya agar sejalan dengan standar negara maju. Keanggotaan OECD dapat membantu Indonesia mendapatkan dukungan teknis untuk reformasi ekonomi, meningkatkan transparansi, dan menarik lebih banyak investasi asing.

Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sangat dipengaruhi oleh iklim investasi yang sehat. Jadi bergabung dengan OECD bisa menjadi landasan penting untuk mendukung target ekonomi Prabowo sebagaimana hasil pertemuan kunjungan Prabowo dengan Presiden Joe Biden di AS baru-baru ini yang menekankan kerja sama dalam penguatan ekonomi, politik, serta keamanan di wilayah Indo-Pasifik dan sekitarnya.

Indonesia merupakan salah satu negara potensial yang akan memasuki negara 5 besar pertumbuhan ekonomi di dunia dengan visi Indonesia Emas 2045. Hal ini didukung oleh pertumbuhan pesat Cina, India, dan beberapa negara Asia lain. Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, memiliki peluang besar memanfaatkan potensi ini demi pertumbuhan ekonominya. 

Namun, selain menjalin kerja sama ekonomi konvensional, Indonesia harus siap terlibat dalam berbagai forum dan inisiatif yang menawarkan keuntungan strategis. Indonesia juga harus siap dengan benturan konflik kepentingan dengan kedua blok di level regional ataupun internasional, misalnya konflik di Laut Cina Selatan.

Posisi strategis Indonesia mendorong negara untuk aktif dalam menjaga keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut. Dalam konteks ini, Prabowo menghadapi tantangan yang cukup besar agar bisa terus berpijak di atas kedua karang. Posisi ini sebetulnya memiliki potensi dan risiko sendiri. Karena itu, Indonesia harus berfokus pada penguatan kekuatan militer serta pengaruhnya yang kemudian menentukan kebijakan luar negeri yang menguntungkan. Keterlibatan ini juga memungkinkan Indonesia memainkan peran yang lebih signifikan dalam mediasi dan memastikan kawasan Asia Tenggara tetap stabil.

Sektor teknologi juga menjadi hal penting untuk menjadi fokus Indonesia sebagai alat pendorong kemajuan negara. Dengan perubahan teknologi yang cepat, kemandirian teknologi dan ekonomi menjadi makin penting untuk ketahanan negara. Indonesia di bawah kebijakan Prabowo harus mampu memaksimalkan strategi berpijak di atas kedua karang dengan memperkuat kerja sama teknologi dan alih teknologi dari negara maju. Fleksibilitas dalam kerja sama lintas blok memungkinkan Indonesia mengakses teknologi dari berbagai sumber tanpa terikat kepada satu pihak saja.

Pragmatisme Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi

Konsep bebas aktif Indonesia pada akhirnya bergeser menjadi lebih pragmatis. Meski begitu, netralitas Indonesia dipandang bukan sebagai posisi pasif, melainkan sebagai kebijakan aktif untuk memastikan kepentingan nasional dapat diperjuangkan. Hal ini berarti bahwa Indonesia bisa mendukung inisiatif dari negara-negara yang berbeda selama manfaatnya jelas bagi Indonesia.

Di bidang energi, Indonesia membuka kerja sama dengan Rusia untuk memastikan suplai energi nasional stabil seraya tetap mengembangkan investasi dengan perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat dan Eropa. Dengan demikian, fleksibilitas dalam berpolitik menjadi instrumen penting untuk memanfaatkan peluang dari kedua pihak yang berpotensi berseberangan. 

Di bidang investasi, Indonesia juga memperkuat kerja sama dengan Cina. Kendati demikian, pemerintah juga perlu memperhatikan beberapa hal dalam kesepakatan ini mengenai Laut Cina Selatan. Dalam hal ini, Presiden Prabowo juga harus tetap menjaga klausul perlindungan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia sebagai prioritas utama. 

Indonesia kini tidak hanya menjaga jarak dengan dua kutub kekuatan global, tapi juga berusaha memanfaatkan setiap peluang yang ada, baik dari Blok Barat maupun Blok Timur, tanpa mengorbankan kedaulatan. Dengan pendekatan yang pragmatis ini, Indonesia dapat menunjukkan bahwa kebijakan bebas aktif masih relevan dan adaptif dalam menghadapi tantangan global modern sekaligus menjadi pijakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus