Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menjadi satu tonggak penting dalam melindungi generasi muda dari adiksi rokok.
Industri rokok masih memiliki tangan kuat untuk memapar anak muda dengan adiksi rokok melalui iklan.
Kalangan pedagang setuju pemerintah melarang penjualan rokok secara eceran.
INDONESIA sudah merdeka 79 tahun, tapi bukan berarti kita telah terbebas dari penjajahan. Penjajahan modern kini tak hadir dalam bentuk kolonialisme. Ancaman baru sekarang adalah pemanasan global dan adiksi. Salah satunya rokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profesor Emil Salim, dalam Giant Pack Lies Part II (Aliansi Jurnalis Independen, 2024), menyebut rokok sebagai ancaman baru bagi generasi muda karena bisa menghambat bonus demografi yang akan kita dapat saat menuju Indonesia Emas 2045.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pengujung masa jabatannya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan yang memberi harapan Indonesia bisa mendapat bonus demografi secara riil berupa proteksi generasi muda dari bahaya asap rokok.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menjadi satu tonggak penting dalam melindungi generasi muda dari adiksi rokok. PP Kesehatan cukup komprehensif dibanding aturan sebelumnya karena mencakup banyak segi perlindungan kesehatan publik.
Namun, di balik langkah maju ini, industri rokok masih memiliki tangan kuat untuk memapar anak muda dengan adiksi rokok melalui satu celah, yaitu iklan. Iklan rokok dalam PP No. 28/2024 hanya dilarang penayangannya sebatas pada media sosial. Sedangkan pengaturan iklan rokok di media lain, seperti media luar ruang, tempat penjualan, media cetak, dan media penyiaran, masih berupa pengendalian.
Meskipun Pasal 449 ayat 1 poin d mencantumkan larangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari tempat pendidikan, aturan ini masih perlu diperkuat. Radius 500 meter masih memungkinkan siswa terpapar iklan rokok yang akan mendorong mereka menjadi perokok ketika dewasa.
Studi oleh Institute of Medicine di Amerika Serikat menunjukkan pembatasan akses dan paparan terhadap produk tembakau di kalangan remaja secara signifikan menurunkan tingkat inisiatif merokok di masa dewasa.
Berbagai hasil penelitian lain juga menunjukkan 84,2 persen remaja laki-laki memutuskan merokok karena intensitas eksposur yang tinggi dari iklan dan 68 persen mengatakan tak bisa berhenti merokok karena terpapar iklan (Fransiska & Firdaus, 2019; Munir, 2019).
Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PJKS-UI) pada 2023 juga menemukan data bahwa paparan iklan di berbagai media mempengaruhi lebih dari 50 persen remaja sehingga keinginan merokok mereka kambuh setelah berhenti.
Mekanisme smoking relapse ini bisa dijelaskan oleh teori psikologi perkembangan, yang menyatakan remaja berada di tahap eksplorasi identitas sehingga rentan terhadap pengaruh eksternal, termasuk iklan. Keberadaan iklan rokok di sekitar tempat pendidikan bisa menciptakan norma sosial yang menganggap merokok sebagai perilaku normal, dapat diterima, bahkan diinginkan.
Dari perspektif epidemiologi, pencegahan paparan iklan rokok di lingkungan pendidikan juga berkontribusi pada penurunan prevalensi merokok dan beban penyakit yang terkait dengan tembakau di kalangan remaja. Data Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan sekitar 65,2 persen remaja di Indonesia terpapar iklan rokok di tempat penjualan dan 60,9 persen dari media luar ruang, termasuk di sekitar sekolah.
Tingginya tingkat paparan ini memperkuat kebutuhan memperketat aturan mengenai iklan rokok di area yang sering diakses anak-anak dan remaja, seperti sekolah. Sebuah studi di Australia menemukan bahwa penurunan iklan rokok di area publik yang berdekatan dengan sekolah memicu penurunan tingkat inisiatif merokok di kalangan siswa hingga 20 persen. Maka, jika larangan iklan hanya berlaku di media sosial, generasi muda Indonesia masih mungkin terpapar iklan rokok yang membuka jalan adiksi mereka saat dewasa.
Perlunya Pembatasan Akses
Kebijakan pembatasan paparan iklan rokok hanya salah satu cara mengendalikan konsumsi produk tembakau di kalangan remaja dan anak. Kebijakan ini harus ditopang aspek lain yang sama pentingnya, yaitu pembatasan akses terhadap rokok. PP No. 28/2024 melarang penjualan rokok secara ketengan per batang dan penerapan zonasi penjualan rokok minimal 200 meter dari tempat penyelenggaraan pendidikan.
Penjualan rokok eceran sering kali menjadi pintu masuk bagi remaja mulai merokok karena harganya terjangkau. Studi PKJS-UI pada 2021 menunjukkan terdapat 8.371 warung rokok ketengan di Jakarta dengan kepadatan yang mengkhawatirkan. Sebanyak 64 persen warung penjual rokok batangan berada dalam radius kurang dari 100 meter dari sekolah (SD, SMP, dan SMA/SMK). Temuan ini menunjukkan kepadatan warung rokok juga menjadi faktor mudahnya remaja mengakses rokok sehingga berpotensi memicu kebiasaan merokok sejak usia dini.
Studi Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives pada 2023 juga mendapati remaja menghabiskan Rp 30-200 ribu per pekan untuk membeli rokok. Jumlah ini setara dengan setengah dari rata-rata pengeluaran mingguan per kapita penduduk Indonesia. Pelajar tertarik membeli rokok karena tersedia secara eceran, dijual dan dipromosikan secara masif, serta tersuguh di sekitar mereka.
Fakta itu memperkuat urgensi penegakan Pasal 434 poin c PP Kesehatan yang melarang penjualan rokok batangan dan poin e yang menetapkan zonasi penjualan minimal 200 meter dari tempat pendidikan.
Untuk efektivitas implementasinya, pasal tersebut harus disinergikan dengan Pasal 449 poin d mengenai zonasi iklan minimal 500 meter dari tempat pendidikan. Tanpa sinergi antara pelarangan iklan dan pembatasan akses, generasi muda akan terus terpapar iklan dan rokok yang mudah terjangkau oleh mereka.
Studi PKJS-UI pada 2023 mengenai distribusi spasio-temporal warung rokok di tiga kota besar (Medan, Bogor, dan Malang) menemukan bahwa rokok bukan satu-satunya sumber pendapatan pedagang. Responden dari kalangan pedagang setuju pemerintah melarang penjualan rokok secara eceran karena rokok bukan sumber penghasilan terbesar mereka.
Urgensi ini tidak hanya terkait dengan perlindungan fisik, tapi juga upaya membebaskan generasi muda sebagai kelompok rentan dari target segmen pasar industri rokok serta melepaskan pengaruh destruktif yang menghancurkan masa depan mereka.
Kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan fisik, melainkan juga dari segala bentuk belenggu yang mengancam masa depan generasi muda kita. Untuk mewujudkan arti kemerdekaan yang sesungguhnya, PP Kesehatan mesti diimplementasikan secara sungguh-sungguh.
Saatnya Indonesia menikmati kemerdekaan dan menyongsong generasi emas 2045 dengan lebih sehat dan produktif. Salah satunya dimulai dengan merdeka dari adiksi rokok.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.