Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pratikno menjadi operator politik Presiden Joko Widodo.
Ia melobi hakim konstitusi agar mengubah syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Namanya juga disebut dalam skandal korupsi BTS.
MENTERI Sekretaris Negara Pratikno adalah perwujudan paling brutal dari peringatan Kanselir Jerman 1871-1890 Otto von Bismarck: politics ruins the character. Menjadi menteri dua periode, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini “menari” bersama kekuasaan Presiden Joko Widodo. Pratikno naik panggung kekuasaan setelah Jokowi terpilih dalam Pemilihan Umum 2014. Selama hampir satu dekade ia menjadi pembantu presiden untuk urusan lancang dan lancung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pratikno sebenarnya punya prestasi akademik mengesankan. Ia guru besar dengan penghargaan dari pelbagai universitas mancanegara. Menempuh pendidikan di kampus-kampus ternama, Pratikno meminati bidang politik lokal dan desentralisasi, politik keuangan negara, serta kebijakan publik dan birokrasi. Pada bidang-bidang itu ia mempelajari etika, transparansi, keadilan sosial, dan norma hukum.
Namun menjadi menteri membuatnya menanggalkan nilai-nilai itu, bahwa politik adalah urusan publik yang terkait dengan etika dan norma. Ia menjerumuskan diri dalam urusan politik dengan “p” kecil: bagaimana menjaga kekuasaan sang majikan.
Liputan majalah ini menemukan Pratikno menjadi perantara mulusnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam mengubah syarat calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Pratikno diduga turut melobi hakim konstitusi sehingga anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang belum cukup umur bisa menjadi kandidat wakil presiden.
Manuver politik Pratikno juga menyasar partai-partai agar bersedia menerima Gibran sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi pada 16 Oktober 2023, partai pendukung Prabowo punya jagoan masing-masing. Dukungan itu buyar begitu Gibran cukup syarat menjadi wakil presiden.
Apa yang dilakukan Pratikno jelas melampaui kewenangannya sebagai Menteri Sekretaris Negara. Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2020 tentang Kementerian Sekretariat Negara membatasi tugas dan fungsi Menteri Sekretaris Negara sebagai pembantu teknis presiden dan wakil presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ada memang tugas “melaksanakan fungsi lain yang diberikan presiden dan wakil presiden”, tapi itu pun dibatasi peraturan dan undang-undang.
Melobi hakim konstitusi agar membuka jalan politik bagi anak presiden tentu bukan “tugas lain” dalam aturan itu. Membujuk partai politik agar menerima anak Jokowi dalam koalisi pemilihan presiden juga bukan tugas seorang Menteri Sekretaris Negara. Lobi dan manuver politik adalah tugas para politikus dalam mengkomunikasikan kepentingan untuk orang banyak.
Apa yang dilakukan Pratikno bukan hanya tak patut, juga mengkhianati intelektualitasnya sebagai akademikus. Alih-alih mengingatkan Jokowi agar tak terjerembap dalam hasrat melanggengkan kekuasaan, ia justru menjadi operator yang mewujudkannya.
Jokowi dan Pratikno menjadi duet maut yang saling membutuhkan. Jokowi mengandalkan Pratikno sebagai pelaksana tugas yang patuh tanpa reserve. Pratikno menikmati privilese sebagai tangan kanan Presiden. Seperti banyak pembantu Jokowi yang lain, Pratikno kemudian terjerat dalam jalinan kepatuhan menjalankan tugas Presiden, pragmatisme personal dan kesempatan mempraktikkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang kian lama kian tak terkontrol.
Tak mengherankan jika nama Pratikno disebut dalam perkara korupsi pengadaan menara pemancar Internet, proyek di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dito Ariotedjo, pada 2020 menjabat Ketua Umum Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia, sayap Partai Golkar, bertemu dengan kontraktor pemancar Internet di ruang kerja Pratikno. Dari keterangan di pengadilan, para terdakwa kasus ini mengaku memberikan Rp 27 miliar untuk Dito, kini Menteri Pemuda dan Olahraga, agar menyetop pengusutan perkara itu di Kejaksaan Agung.
Dito acap disebut “Pratikno’s boy” karena menjadi menteri berkat campur tangannya, meski Golkar mengajukan calon lain. Jika kemunculan nama Pratikno dalam kasus korupsi base transceiver station (BTS) itu membuatnya tersangkut karena menjadi perantara para aktor proyek, ia menurunkan derajat dirinya dari seorang rektor menjadi sekadar operator.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Rektor Menjadi Operator"