Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA Muhammad bin Musa al-Khwarizmi. Dia orang Persia. Pada abad ke-9, ia memimpin sebuah institusi ilmu pengetahuan terbesar di dunia saat itu: Bait Al-Hikmah. Berpusat di Bagdad, Irak, Bait Al-Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan menerjemahkan dan menerbitkan lebih dari 60 ribu buku. Al-Khwarizmi sendiri mengarang banyak buku, termasuk referensi tentang persamaan matematika, Al-Kitāb al-Mukhtaṣar fī Ḥisāb al-Jabar wal-Muqābalah atau disingkat Al-Jabar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga abad setelah kematiannya, Robert of Chester dari Inggris menerjemahkan karya itu ke bahasa Latin. Al-Khwarizmi ditranslasi menjadi Algorithmus dan judul bukunya menjadi Algebra. Namanya dan nama bukunya diabadikan sebagai salah satu cabang matematika, karena ia dianggap sebagai bapak persamaan matematika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Al-Khwarizmi mungkin tidak pernah membayangkan bahwa metodenya (yang tentu kini telah berkembang jauh) dipakai untuk menentukan selera manusia. Tak hanya menentukan, juga memaksa selera umat manusia dalam kantong-kantong sempit, setelah disederhanakan secara luar biasa. Berkat algoritma, manusia bahkan telah kehilangan kemampuan untuk memilih dan memiliki selera dengan merdeka.
Algoritma telah dipakai oleh para penyedia layanan digital untuk menentukan busana apa yang harus kita lihat di Instagram, musik apa yang mesti kita dengar di Spotify, film apa yang akan kita tonton di Netflix, desain bangunan seperti apa yang dianggap cantik di Pinterest. Pilihan-pilihan itu tak sekadar disodorkan, tapi dipaksakan dalam bom informasi.
Algoritma bekerja lewat mesin komputer yang mengumpulkan data dari apa yang kita cari, lalu menyodorkan pilihan berdasarkan kesamaan dan popularitasnya. Sekali Anda memilih lagu Queen di Spotify, pengelolanya akan menyodorkan lagu dari genre yang sama, misalnya musik pop.
Pilihan itu akan muncul terus-menerus. Demikian juga saat kita memilih film di Netflix atau buku di Amazon. Kita akan kesulitan keluar dari genre yang itu-itu saja. Pilihan-pilihan yang dipangkas dan disederhanakan itu kemudian menumpulkan selera manusia dan pada akhirnya memunculkan “budaya yang didatarkan”, flattened culture. Frasa itu dipakai oleh Kyle Chayka dalam bukunya, Filterworld: How Algorithms Flattened Culture, yang terbit bulan ini.
Tentang algoritma yang menciptakan gelembung dan dunia yang teralienasi tentu sudah jauh-jauh hari dibahas oleh Eli Pariser dalam The Filter Bubble (2011). Buku Chayka menjadi berbeda karena dia berfokus pada pengaruh pilihan algoritma dalam budaya: film, musik, busana, arsitektur, bahkan buku dan bahasa.
Tentu, kurasi ada sejak zaman dulu. Para editor memilihkan berita dan tulisan kepada pembaca, pemilik toko buku menyodorkan buku-buku yang ia anggap penting dan menarik di rak depan. Para stylist memakaikan maneken di etalase busana yang dia anggap paling menarik dan music director di stasiun radio punya lagu pilihannya dalam daftar putar.
Pilihan para editor, music director, stylist, dan pemilik toko buku itu tentu saja subyektif: didorong oleh preferensi selera, latar belakang budaya, suasana hati, dan pengetahuan yang mereka miliki. Itulah kenapa pilihan lagu di sebuah stasiun radio bisa berbeda dengan pilihan di stasiun lain, busana yang dikenakan pada maneken di sebuah toko bisa jauh berbeda dengan tampilan di etalase toko seberang.
Pilihan manusia menghadirkan keunikan, rentang selera yang lebar, dan bahkan kejutan. Tapi algoritma tidak melakukan itu. Mesin hanya dilatih untuk menyodorkan pilihan yang paling disukai oleh kita dan orang lain. Pilihan film yang disodorkan oleh Netflix di halaman depan, lagu yang dimunculkan oleh Spotify saat kita ingin membuat daftar, dan buku yang disodorkan oleh Amazon murni berdasarkan sejarah pilihan kita, plus hasil pemilihan suara pengguna Internet lain.
Akibatnya, kita akan terjebak pada genre yang pernah kita putar atau cari, ditambah apa yang sedang populer. Rentang pilihan menjadi pendek karena hanya pilihan itu yang muncul di halaman depan. Segala pilihan yang tidak populer akan tersembunyi di halaman terakhir. Dunia kita benar-benar terfilter. Filterworld, kata Chayka.
Chayka menyadari terpangkasnya selera manusia itu saat ia berada di sebuah kafe di Tokyo. Interior kafe itu persis dengan kafe di kota-kota lain yang ia singgahi di seluruh dunia: dinding dengan keramik subway putih, meja besar bergaya industrial, kursi modern, lampu-lampu Edison yang bergelantungan. Ia kemudian memperhatikan hal lain dalam budaya, termasuk bahasa, dan menemukan fenomena yang sama: keseragaman selera.
Selera seragam yang dibombardirkan ke depan mata kita itu akhirnya membuat kepekaan manusia pada selera menjadi tumpul. Kita tak punya lagi kuasa untuk memiliki selera yang sesuai dengan karakter kita, sesuatu yang unik dan membuat kita berbeda. Dalam algoritma digital, berbeda itu dosa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Algoritma"