Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada 2025, perusahaan media tidak akan mendapatkan pendapatan yang signifikan dari perjanjian dengan perusahaan berbasis teknologi atas konten yang dihasilkannya.
Perusahaan berbasis AI tidak lagi bertindak sebagai agregator berita, tapi harus menjadi produsen berita itu sendiri.
Perusahaan media berfokus saja kepada audiensnya, makin mengenali apa kebutuhannya.
SUDAH beberapa tahun terakhir ini, Nieman Lab dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, mengeluarkan prediksi mereka ihwal tren jurnalisme yang akan terjadi pada tahun berikutnya. Prediksi ini didasarkan pada pendapat banyak ahli yang diwawancarai oleh redaksi Nieman Lab terkait dengan perkembangan apa saja yang perlu diantisipasi dalam 12 bulan ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan ini sekadar meringkaskan beberapa prediksi yang dilakukan oleh sejumlah ahli yang melakukan penelitian-penelitian terkait dengan jurnalisme. Bidang yang diteliti pun sangat beragam, dari teknologi baru dalam jurnalisme, respons audiens terhadap perkembangan baru tersebut, hingga masalah model bisnis. Laporan selengkapnya silakan dibaca pada tautan berikut: Laporan Nieman Lab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak kurang dari 157 ahli dikontak oleh Nieman Lab dan dimintakan pendapatnya perihal perkembangan jurnalisme ke depan. Tentunya, dalam ruang yang terbatas ini, hanya beberapa pendapat yang diambil dan dikaitkan dengan kebutuhan yang relevan untuk konteks di Indonesia. Kita harus berhati-hati ketika mengambil pendapat dari konteks yang berbeda tersebut karena kita harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada di Tanah Air. Apa saja inspirasi yang bisa kita ambil dari pendapat para ahli tersebut?
Rasmus Kleis Nielsen, guru besar komunikasi di Universitas Copenhagen, dan berkali-kali memimpin proyek Digital News Report yang diproduksi Reuters Institute, memprediksi, pada 2025, perusahaan media massa tidak menerima pendapatan yang signifikan dari perjanjian dengan perusahaan berbasis teknologi atas konten yang dihasilkannya. Ketimbang menunggu hasil pendapatan yang tidak signifikan itu, ia menyarankan para penerbit berfokus bukan pada produksi konten untuk melatih teknologi yang ada, melainkan pada publik yang akan mengkonsumsi konten media tersebut.
Salah satu ilustrasi yang digunakan Nielsen di sini adalah kasus konglomerat penerbit, Dotdash Meredith, yang menerima uang US$ 16 juta per tahun dari platform kecerdasan buatan OpenAI untuk konten yang dihasilkan medianya. Sementara itu, Meredith, pada 2024, mencatatkan penghasilan total US$ 1,5 miliar. Dari jumlah itu, hanya sepertiga atau hanya 1 persen yang diperoleh perusahaan penerbitannya.
Prediksi lain datang dari Maggie Harrison Dupre, yang merupakan penulis senior di Futurism. Dupre menyampaikan perusahaan berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence ke depan harus dilihat tak semata-mata sebagai penyampai berita, pencarian berita, dan pengkonsumsi berita. Di sini, perusahaan berbasis AI tidak lagi bertindak sebagai agregator berita, tapi harus menjadi produsen berita itu sendiri.
Menurut Dupre, perusahaan berbasis AI hanya menelan informasi yang ada di media, sedangkan pekerjaan jurnalistik yang dikerjakan oleh media tidak mudah dan sangat menuntut kecermatan dalam penyampaiannya. Kesalahan dalam penulisan berita akan berdampak pada reputasi media tersebut. Perusahaan berbasis AI tak memiliki kompetensi jurnalistik. Karena itu, ke depan, mereka justru harus memiliki kemampuan tersebut dengan melihat pada sejumlah kasus yang menunjukkan adanya ketegangan antara perusahaan media dan perusahaan platform AI belakangan ini.
David Cohn, direktur senior untuk penelitian dan pengembangan konten pada Advance Local, punya prediksi lain. Ia berpendapat perkembangan AI tidak akan membawa kita ke tempat asing dan membuat kita tersesat. Sebaliknya, menurut dia, AI akan membantu kita menemukan kembali hal-hal yang kita lupakan atau abaikan serta membuka peluang baru untuk perkembangan jurnalisme di masa kini. Bagaimana caranya?
Menurut Cohn, caranya adalah perusahaan media mengelola data-data yang mereka miliki untuk melayani permintaan pencarian data yang lebih spesifik (niche). Layanan informasi yang lebih spesifik ini akan membuat banyak orang meninggalkan adagium “Google saja” dalam hal pencarian informasi, dan akan mencari layanan informasi yang lebih spesifik sesuai dengan keinginan serta kebutuhannya.
Kondisinya berkebalikan dengan kekhawatiran bahwa kemunculan AI akan membuat pekerjaan jurnalis menjadi terpinggirkan. Cohn justru berpendapat pekerjaan reporter lapangan akan kembali dibutuhkan karena mereka dituntut mencari hal-hal baru yang tidak tersedia sebelumnya.
Cohn pun meramalkan, pada 2025, jurnalisme warga akan kembali dibutuhkan dan akan berkembang. Mengapa jurnalisme warga mengalami kebangkitan pada tahun ini? Jawabannya tak bisa dilepaskan dari fenomena banjir atau tsunami informasi dari berbagai arah yang dialami masyarakat. Karena itu, masyarakat memerlukan informasi yang memang relevan dan bermanfaat bagi mereka. Kebutuhan ini akan dapat diisi oleh para jurnalis warga yang mengenal selera dan kebutuhan sesamanya.
Prediksi lain disampaikan oleh Victor Pickard, profesor kebijakan media dan ekonomi politik di University Pennsylvania, Annenberg School for Communication. Ia merisaukan masalah infrastruktur media-media lokal (di Amerika Serikat), yang ia anggap sebagai usaha untuk melakukan reformasi terhadap sistem media yang ada pada era Trump 2.0. Pickard menganggap, meskipun Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS, bibit-bibit kesadaran demokrasi tetap perlu disemaikan di banyak tempat. Selain itu, Pickard yakin hal itu bisa dilakukan dalam konteks media-media lokal di AS.
Sara Morrison, koresponden dari The Capitol Forum, memiliki pandangan yang menarik. Ia mengatakan konten gratis yang dikeluarkan oleh sejumlah media (di Amerika) nantinya kalah oleh informasi yang diberikan oleh AI generatif. Kualitasnya juga akan sama dengan konten-konten lain yang berkualitas rendah. Morrison hendak menyampaikan bahwa konten bermutu yang dihasilkan media harus disokong oleh para konsumennya, dan tak bisa mengandalkan hanya dari perusahaan media itu sendiri.
Pendapatan media dari iklan sudah banyak turun dan tidak lagi bisa diandalkan untuk mendukung produksi konten media tersebut. Konten gratis akan mudah "dimakan" oleh AI generatif dan kemudian teknologi ini akan menghasilkan berita-berita atau informasi yang tidak berkualitas.
Dari sejumlah prediksi di atas sebenarnya butuh upaya khusus untuk menaruhnya dalam konteks Indonesia. Namun rasanya pesan kuat yang disampaikan oleh sejumlah pakar tersebut menyiratkan bahwa masih ada peluang bagi perusahaan media untuk terus mengembangkan liputan-liputan eksklusif yang dibutuhkan publik. Pengelola media massa tidak perlu terlalu pusing dengan segala akrobat yang dilakukan oleh perusahaan berbasis teknologi.
Perusahaan media berfokus saja pada audiensnya, makin mengenali apa kebutuhannya, dan konten-konten lama bisa saja didaur ulang untuk kebutuhan spesifik atau niche. Tentunya konten-konten lama itu sudah dirapikan sedemikian rupa (baca: didigitalisasi) sehingga bisa diakses publik.
Media pun perlu makin banyak berdialog dengan publik untuk menangkap apa yang sungguh dibutuhkan publik. Mungkin saja apa yang dibayangkan publik itu sangat jauh berbeda dari yang dibayangkan oleh para pengelola media.
Pengelola media punya banyak alat untuk memeriksa keterbacaan artikel mereka dalam bentuk analitics, chart beat, dan sebagainya. Namun apa yang belum tersedia dan dibutuhkan publik? Jawaban atas pertanyaan itulah yang harus ditemukan. Kunci utamanya adalah berdialog dengan publik sebagai pemangku kepentingan utama media. ●