Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Info Event - Pada 2013, sebuah basis data (database) berisi informasi mengenai perusahaan cangkang yang digunakan untuk menghindari pajak oleh individu, selebritis, pelaku kejahatan dan perusahaan multinasional dibuka ke publik. Database yang dinamakan Offshore Leaks tersebut dibuat oleh sebuah organisasi non profit internasional, International Consortium of Investigative Journalists, Inc. (ICIJ).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Offshore Leaks terlahir dari 2,5 juta catatan rahasia yang memuat 750.000 nama dan perusahaan - termasuk petinggi negara hingga selevel presiden - yang terlibat dalam kejahatan penghindaran pajak. Offshore Leaks menginisiasi kolaborasi investigasi lintas benua yang melahirkan produk investigasi berbasis data seperti Panama Papers (2016), Bahama Leaks (2016), Paradise Papers (2017&2018) dan Pandora Papers (2021).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemunculan produk investigatif di atas menunjukkan kemampuan analisis data dan penggunaan aplikasi komputer berdampak signifikan dalam menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas. Database tidak akan bermakna tanpa didukung dengan kemampuan jurnalis untuk memahami dan menganalisis data. Para jurnalis, sebagaimana dilansir dari situs ICIJ, melakukan proses jurnalisme data yang meliputi pembersihan data, pencarian relasi antara satu tabel dengan tabel lain, analisis data, dan membangun dashboard visualisasi data interaktif menggunakan program komputer sesederhana Microsoft Excel hingga peralatan web atau piranti daring interaktif seperti Talend Open Studio for Data Integration, MockFlow dan Sigma.js. Jurnalisme data dan komputasi dengan demikian muncul untuk mendukung kuat prinsip dasar jurnalisme atas kebenaran.
Kebenaran jurnalistik menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism adalah ‘sebuah proses yang dimulai dengan kedisiplinan profesional untuk mencari dan memverifikasi fakta’. Prinsip tersebut selaras dengan proses pembuatan berita dengan pendekatan jurnalisme data. Berita tidak hanya dibuat dengan mengumpulkan poin-poin ucapan yang disampaikan oleh narasumber (talking news), melainkan dari data yang dibersihkan, dianalisis dan divisualisasikan. Sudut pandang atau angle berita juga dipilih melalui pendekatan berbasis data, seperti di antaranya skala, urutan atau peringkat, perubahan atau eksploratif.
Prinsip dasar jurnalisme yang lekat dengan kebenaran ini mendapatkan tantangan, terutama ketika jurnalisme memasuki periode digitalisasi dan konvergensi media yang ditandai dengan lahirnya internet. Menggunakan internet, siapapun - tidak hanya media yang berakar pada etika dan standar jurnalistik - bisa memberikan informasi kapan pun dan diakses di belahan dunia mana pun. Kualitas informasi kini menjadi dipertanyakan, terutama ketika disampaikan oleh individu tanpa proses verifikasi dan untuk tujuan menciptakan berita atau informasi bohong (hoaks).
Kehadiran informasi bohong terutama selama pandemi COVID-19 tercatat hingga ribuan. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) mengungkapkan jumlah hoaks pada 2021 mencapai 1.888 kasus dengan peningkatan angka yang signifikan khususnya terkait hoaks vaksinasi. Sifat internet yang dapat mengantarkan informasi dalam hitungan detik menyebabkan hoaks ini begitu mudah dikonsumsi dan disebarkan ke publik yang lebih luas. Banjirnya informasi tanpa terverifikasi kebenarannya memunculkan situasi krisis yang disebut dengan infodemi. Dalam situasi seperti ini, jurnalisme data dan komputasi sangat dibutuhkan sebagai antitesis informasi yang tidak terverifikasi akurasinya.
Untuk menghasilkan produk jurnalistik berbasis data dan komputasi, media harus meningkatkan kapasitas jurnalisnya dalam hal pemahaman data dan penggunaan piranti komputer atau aplikasi web. Peningkatan kemampuan jurnalis menjadi niscaya karena data sudah menjadi hal yang lazim digunakan baik pemerintah atau organisasi lainnya. Selama pandemi, bisa kita lihat bagaimana jurnalis berkutat dengan angka dari laporan-laporan pemerintah sehari-harinya. Terkadang data tersebut ditampilkan secara detil, namun tak jarang dipublikasikan dalam bentuk data olahan di mana data sudah melalui penyaringan terlebih dulu. Hanya sebagian informasi yang ditampilkan. Oleh karena itu, jurnalis pun harus mampu membaca data agar tidak mudah disesatkan oleh data atau visualisasi yang tidak akurat. Jurnalisme data menjadi solusinya.
Munculnya jurnalisme data di Indonesia lantas ditandai dengan acara Indonesia Data Driven Journalism 2016 yang dimotori oleh organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), One Data Indonesia dan Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING) untuk mendorong keterbukaan data dari pemerintah. Selain AJI, ada juga Indonesian Data Journalism Network atau IDJN (2018), Journocoders Indonesia (2018) dan Tempo Institute (2020). Organisasi dan lembaga tersebut berkontribusi terhadap berkembangnya jurnalisme data dan juga komputasi di Indonesia melalui pelatihan-pelatihan atau proyek kolaborasi berbasis data.
Selain pelatihan, adanya konferensi terkait jurnalisme data dan komputasi juga berperan terhadap peningkatan kapasitas jurnalis. Survei bertajuk State of Data Journalism Survey 2021: 11 surprising findings menunjukkan 70 persen dari 1.258 responden mengaku belajar jurnalisme data secara otodidak. Hal ini membuktikan adanya keinginan kuat untuk belajar jurnalisme data, yang bisa didapatkan dari pelatihan, seminar atau konferensi baik daring atau luring. Tidak heran jika konferensi jurnalisme data dan komputasi sekelas NICAR Conference yang digawangi oleh National Institute for Computer-Assisted Reporting (NICAR) dan Investigative Reporters and Editors (IRE) di Amerika Serikat misalnya mendapatkan perhatian dan antusiasme dari awak media.
Data and Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ CI) 2022 kemudian hadir dalam upaya menjawab persoalan dan kebutuhan di atas, terutama melihat perkembangan situasi yang ada di Indonesia. Melalui seminar, workshop dan sesi berjejaring, peserta bisa belajar untuk memanfaatkan teknologi demi mengolah data dari para pakar atau mendengarkan bagaimana redaksi media baik di luar negeri atau pun di Indonesia mengaplikasikan metode jurnalisme data. Ke depannya, hal ini diharapkan bisa mendorong jurnalisme ke arah yang lebih baik, bertanggungjawab dan akurat sesuai prinsip dasar yang dikemukakan oleh Kovach dan Rosenstiel. (*)