Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Preman, Wajah Buruk Kita

Menghapus preman tanpa memberikan lapangan kerja adalah pekerjaan sia-sia.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Lagi, preman-preman Jakarta diuber, ditangkap, ditahan. Itu teorinya, dan sudah dipraktekkan dalam beberapa hari ini. Tak tanggung-tanggung, proyek yang kabarnya menelan Rp 24 miliar ini ditargetkan akan menangkap 1.312 preman—angka yang rapi sekali, entah bagaimana cara mendatanya. Itu berarti menangkap seorang preman menghabiskan anggaran lebih dari Rp 18 juta. Luar biasa.

Apa yang diharapkan Gubernur Sutiyoso dengan proyek besar ini? Membuat Jakarta bebas preman? Berapa lama bebas preman itu? Sehari, dua hari, atau seminggu? Sejarah—kalau pemberantasan preman bisa digolongkan sebuah sejarah—sudah mengajarkan kepada kita, bagaimana memberantas pelaku tindak kejahatan jenis ini dengan cara-cara kekerasan sama sekali tak membuahkan hasil. Mereka pernah dibantai dengan cara-cara misterius, dan karena itu pembantainya disebut petrus—penembak misterius. Beberapa preman tergeletak bagai tikus got, beberapa saat komplotan preman tak berani tampil di muka umum. Tapi kemudian, ketika "anggaran petrus" habis, preman muncul lagi di depan kita. Mereka memalak pedagang di pasar, mengutip uang pada sopir angkutan kota di terminal, memaksa pengemudi merogoh kocek di tikungan jalan.

Akar permasalahan preman adalah lapangan pekerjaan yang sulit. Situasi masa kini, pada saat ekonomi semakin terpuruk karena pemerintah tak punya prioritas menciptakan lapangan kerja baru, sejumlah orang mengandalkan otot untuk memeras yang tidak berotot. Adalah sia-sia pemerintah meniadakan mereka jika mereka tak diberi arah ke mana harus menggunakan ototnya itu. Seandainya mereka dididik untuk menjadi pembantu petugas keamanan, katakanlah sebagai hansip atau satpam, mungkin ada sejumlah orang yang membutuhkannya, entah itu pengusaha atau orang-orang kaya yang ingin melindungi hartanya. Atau, mereka diberi modal kerja untuk berusaha di sektor nonformal. Anggaran miliaran itu bisa dialokasikan untuk pendidikan atau modal kerja.

Memang, tak ada jaminan langkah seperti itu juga berhasil meniadakan preman di Ibu Kota. Solusi utama sebenarnya sederhana saja, meski prakteknya amat terlalu sulit. Yakni, pemerintah memulihkan ekonomi nasional. Dengan pulihnya ekonomi, pabrik mulai mengepulkan asap, lapangan kerja semakin terbuka, preman-preman yang memang hidupnya kepepet ini bisa tersedot ke sana.

Yang juga perlu dilakukan pemerintah adalah memberantas preman-preman kelas atas, yang menilep dana reboisasi, yang makan dana BLBI, yang menggarong uang rakyat. Adalah tidak adil bahwa preman yang memalak cepek harus dimasukkan sel, sementara pengusaha yang menghabiskan uang negara triliunan rupiah masih ongkang-ongkang di rumahnya yang mewah. Premanisme memang harus dibasmi karena ia sisi buruk wajah kita. Tetapi, bagaimana membabat akar permasalahannya, itu yang lebih penting. Jika tidak, miliaran rupiah dihamburkan untuk proyek-proyek yang hasilnya sekejap saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus