Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETORAN makin seret, semua penumpangnya berbicara tentang politik, membuat kepala Kirun mumet. Di tepi Tugu Proklamasi yang teduh, sopir taksi itu menepi, menutupi wajahnya dengan koran yang dibelinya pagi ini. Ia bermimpi.
Ia berada di Parkir Timur. Ia ingat Iwan Fals pernah dilarang manggung di sana karena alasan keamanan. Dilihatnya manusia menyemut. Semua bergamis putih, bersorban putih. Rancak, tertib, seirama. Dan muka mereka pun seragam: letih, putus asa, gelisah, marah. Persis. Satu orang putus asa dan marah sudah dikloning menjadi 400 ribu atau 500 ribu orang.
Kirun merasa tergencet di tengah jamaah itu. Ia seolah di planet lain. Ia tak bergamis, tak melafalkan suara yang sama. Berbeda dirasakannya jadi berbahaya. Kejadian ini pernah ia alami suatu hari di bulan Mei 1998, ketika rumah orang kaya dijarah, mal dan mobil dirampok habis dan dibakar.
Nyaris ditelan lautan putih itu, Kirun menggamit lengan gamis seseorang.
"Pak Kiai, kenapa mesti rame-rame ke sini?" tanyanya gugup. Jawabannya cekak, "Kami berdoa. Apa salahnya? Gus Dur aja ndak ribut, kok."
Kirun bertanya terus, "Ya, memang nggak ada aturan yang melarang orang berdoa. Tapi siapa yang ngajar ngaji di pesantren, siapa yang ngurusi santri kayak anak saya di Jombang sana, siapa yang ngimam (jadi imam) di masjid. Bayangkan, Kiai, kalau seorang ongkosnya seratus ribu, itu artinya sampean sebanyak ini sudah keluar ongkos empat sampai lima miliar. Kalau dipakai buat mbangun puskesmas, bisa jadi seratus. Buat bikin masjid, bisa jadi sepuluh masjid bagus. Bikin pesantren dua juga masih cukup. Lo, kok sampean malah milih panas-panas di sini." Yang ditanya diam, walau kelihatan mulai tak sabar.
Kirun makin nyerocos. "Pak Kiai tahu, kalau ada rame-rame begini, hidup sopir taksi kayak saya ini makin susah. Begitu sampean memblokir Bunderan HI sampai DPR, Kuningan ikut macet. Padahal itu jalur gemuk saya. Ketimbang mobil remuk seperti Mei dulu itu, saya mendingan nggak narik, utang beras saja ke warung sebelah rumah. Kalau sampean masih mendingan, dapat jatah nasi kotak, kayak anak-anak mahasiswa kalau demo. Penumpang taksi saya bilang, rupiah ambruk, saham rontok kayak daun jatuh gara-gara rombongan sampean. Repot kan kalau ada yang nyelusup lalu bikin kaco, kumpulan sampean juga yang kena getah. Belum lagi bentrok sama yang antipimpinan sampean itu. Pimpinan sampean bisa dibilang lebih percaya otot ketimbang rundingan. Pokoknya, mudaratnya lebih banyak." Yang ditanya gregetan menahan marah.
Kirun terus pidato, mengutipi apa yang sering dibacanya di koran. "Sudahlah, Pak Kiai, semua urusan itu, kata Rasul, harus diserahkan pada ahlinya. Politik juga begitu. Pemimpin sampean itu akan aman kok, kalau mau sedikit ngalah. Saya baca di koran, sebaiknya pemimpin sampean ambil cuti panjang, biar Ibu Mega yang sibuk sehari-hari. Yang penting, pemimpin sampean ndak diusir dari Istana, kan? Nah, usul saya sebagai sesama wong cilik, sampean bawalah rombongan besar ini pulang. Di pesantren kan sampean bisa memperbanyak salawat, tahajud, wirid, untuk keselamatan negoro ini. Mosok sih, Gusti Allah cuma mendengar doa dari Parkir Timur ini."
Pak Kiai yang diajak ngomong kesal. Ia berhenti memilin tasbih, dan menghardik keras, dan itu suara 400-500 ribu orang marah: "Suruh yang di DPR itu diam dulu! Mengerti!"
Kirun tersentak bangun. Koran yang menutup mukanya melorot jatuh, tapi keburu ia baca headline besar-besar: Istighotsah Kubro Digelar 29 April.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo