Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Prometheus

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada umur 26 tahun, anak baik itu, Aaron Swartz, menggantung diri. Diduga ia ketakutan. Kejaksaan mengancamnya dengan hukuman berat. Jumat 11 Januari yang lalu tubuhnya ditemukan tak bernyawa di apartemennya di Brooklyn, New York.

Yang tak disangka-sangka—mungkin juga oleh Aaron sendiri—ialah bahwa suara kehilangan bergema di mana-mana, juga di Indonesia, terutama di dunia pengguna Internet. Upacara pemakamannya di Central Avenue Synagogue di Highland Park, Chicago, diiringi tangis dan ucapan penghormatan yang tak mudah dilupakan.

”Aaron meninggal,” kata Tim Berners-Lee, penemu World Wide Web. ”Para pengelana dunia, kita telah kehilangan seorang sesepuh yang bijaksana…. Para orang tua, kita telah kehilangan seorang anak. Kita pantas menangis.”

Seorang anak dan sekaligus sesepuh, pada usia 26—agaknya itu kombinasi yang tak mudah dipahami, terutama bila dikaitkan dengan tuduhan kriminal terhadapnya. Terutama bila orang tak tahu bahwa jenius ini, pelopor ini, pejuang kemerdekaan arus informasi ini, adalah seorang pengubah dunia. Terutama dunia tempat kapitalisme dielu-elukan, dan hidup, ”being”, ditenggelamkan ”milik”, ”having”—khususnya yang disebut Erich Fromm sebagai ”hasrat bergelora untuk menyimpan dan mempertahankan”.

”Aaron sangat, sangat ingin mengubah dunia,” Taren Stinebrickner-Kauffman, kekasihnya, berkata sambil menahan tangis di dekat jenazah. ”Ia inginkan itu lebih dari uang. Ia inginkan itu lebih dari kema­syhuran.”

Gadis itu tak berlebihan. Empat tahun yang lalu Aaron menyusun sebuah manifesto yang menegaskan pandangannya: informasi, terutama informasi ilmu pengetahuan, tak boleh dikungkungi buat segelintir orang, khususnya di perpustakaan kalangan akademia di negeri-negeri kaya. ”Menyediakan karya ilmiah bagi universitas-universitas elite di Dunia Pertama, tapi tidak untuk anak-anak di Dunia Selatan? Itu sama sekali tak pantas dan tak dapat diterima.”

Ia pun berseru: mereka yang punya akses ke sumber-sumber informasi—mahasiswa, pustakawan, ilmuwan—harus menyadari: itu sebuah privilese. ”Kalian dapat melahap jamuan pengetahuan itu, sementara dunia di luar tak bisa masuk.” Sebagai keharusan moral, kata Aaron, ”Kalian tak dapat mengeloni privilese itu untuk diri sendiri. Kalian berkewajiban membaginya kepada dunia.”

Aaron tak cuma berseru. Pada umur 15, ketika masih seperti bocah agak gendut dengan kepala kegedean, ia sudah membantu mengembangkan Creative Commons, organisasi nirlaba yang membentuk sistem yang melonggarkan ketentuan hak cipta antarseniman. Ia juga pernah memimpin pembangunan Open Library, yang hendak memberikan akses informasi tentang tiap buku yang diterbitkan.

Pada umur 25, ia berhasil menggerakkan puluhan juta pengguna Internet untuk menggagalkan undang-undang SOPA di Senat Amerika Serikat. Undang-undang ini dimaksudkan menjaga ”hak cipta” industri kreatif Amerika dari ”pembajakan”, tapi pada akhirnya bisa menghilangkan kemerdekaan mendapatkan informasi—karena informasi itu (yang disebut Aaron Swartz sebagai ”kebudayaan publik”) akan tak bisa dibagi ke orang banyak.

Gerakan anti-SOPA itu berhasil.

Tapi ia tahu, ada yang tak akan berhenti: mereka yang ”buta oleh keserakahan”—perusahaan-perusahaan besar dunia hiburan, film dan musik, seperti yang bertakhta di Hollywood….

Dan tak hanya itu. Keserakahan juga bisa tampil dalam bentuk yang lebih halus: kesadaran yang berlebih tentang "milik".

Di minggu pertama Januari 2011, Aaron ditangkap karena ketahuan mengunduh 4 juta dokumen dari khazanah karya ilmiah yang disimpan JSTOR, perpustakaan digital terkenal itu. Ia menggunakan jaringan Massachusetts Institute of Technology melalui sebuah laptop yang disembunyikannya di lantai dasar Gedung 16. Ia bermaksud membagikan karya-karya ilmiah itu ke siapa saja yang butuh tapi tak punya akses. Ia menentang kebijakan JSTOR yang membayar penerbit dan bukan penulis karya yang disimpannya bila karya itu diunduh.

Kantor kejaksaan di Boston—alat negara penjaga hak milik pribadi—menuduh tindakannya sebagai kejahatan (felony). Ada 13 jenis, katanya. Ancaman hukumannya bisa sampai 50 tahun penjara dan denda US$ 4 juta.

Pihak JSTOR sendiri tak jadi menuntut; mereka tahu Aaron tak menggunakan barang yang diambilnya buat keuntungan sendiri; lagi pula ia mengembalikannya. Tapi kejaksaan tak berhenti mengejar.

Ancaman hukuman itu—dan proses pengadilannya—yang agaknya memperburuk depresi yang ditanggungkan Aaron. "Everything gets colored by the sadness," ia pernah menulis itu dalam blognya.

Mungkin sebab itu akhirnya ia tak ingin terus.

Seorang teman di Twitter, Pradewi Tri Chatami, mengiaskan dengan tepat Aaron Swartz sebagai Prometheus—tokoh dalam mithologi Yunani yang mencuri api dari kungkungan para dewa dan membagikannya kepada manusia. Prometheus pun dihukum: dipancang di gunung karang agar burung ganas merenggutkan jantungnya—yang tiap kali akan tumbuh lagi dan direnggutkan lagi, selama-lamanya.

Aaron memilih mati. Mungkin ia salah jalan. Tapi kepergiannya, seperti nasib Prometheus di gunung karang, akan selalu mengingatkan bahwa apa yang dianggap "pencurian" bermula dari premis yang bermasalah.

Marx mengatakan, "pencurian", yang merupakan kekerasan terhadap "milik" (Eigentum), bermula dari pra-anggapan akan adanya "milik". Yang perlu ditanya, dari manakah datangnya "milik" itu. Yang perlu dilihat, sejauh mana pengetahuan adalah "milik" yang tak boleh dibagi. Sebab, tanpa berbagi, pengetahuan akan mati di luar kebudayaan.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus