Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NISAN itu menjulang setinggi tiga meter, dibuat seadanya dari kayu. Di bagian atas tertulis: Syekh Anas Al-Ayubi. Warga Jatirejo menancapkan plang itu di nisan lama Syekh Anas pada Selasa siang pekan lalu, ”Karena kami takut kehilangan mayat leluhur dan tokoh yang kami hormati,” ujar Muhammad Jirjis.
Beberapa puluh warga Jatirejo harusnya sudah mengungsi bersama 1.500 warga lainnya di desa itu. Tapi, demi menjaga nisan Syekh Anas—ikon Jatirejo, desa tertua di Kecamatan Porong—mereka tak sudi beranjak. ”Kami tak akan pindah walau dibayar berapa pun,” ujar Jirjis, yang didukung warga. Padahal ancaman dari lumpur yang mulai muncrat pada 29 Mei itu makin menjadi-jadi.
Pada Kamis pekan lalu, di pondok pesantren desa itu, Nurul Hikmah, muncul semburan lumpur baru. Jaraknya dari pusat semburan lumpur lama di kawasan pengeboran gas Lapindo sekitar 1 kilometer. Debit sumur baru itu belum terukur. Namun, dipastikan, kehadiran sumur ini akan mempercepat laju volume lumpur yang kini sudah mencapai sekitar 4,5 juta meter kubik.
Untuk mencegah korban jiwa, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) meminta pemerintah daerah mengambil skenario terburuk bahwa semburan tidak dapat dihentikan. Bagi warga Jatirejo, ini berarti relokasi total.
Tontowi Ismail, anggota tim ahli penanganan lumpur dari ITS, mengatakan bahwa bahaya kini bisa datang ke desa kapan pun. Seperti pada Selasa pagi itu, lumpur berhasil merobohkan sebagian tanggul di Jatirejo, yang menjulang setinggi lima meter. Waktu itu lumpur hampir tak terbendung. Sehingga, setelah aliran lumpur dapat dihentikan, tidak ada lagi tanah yang bebas dari genangan lumpur, termasuk makam desa tempat Syekh Anas dimakamkan. Jika bahaya tak datang dalam waktu dekat, ”Tanggul bisa jebol pada akhir Oktober,” ujar Tontowi. Penghujung Oktober adalah saat musim hujan datang ke Porong.
Tontowi membeberkan beberapa alasan lainnya, yang membuat ITS menuntut relokasi. Pertama, upaya penghentian semburan lumpur dengan sumur bantu sepertinya bakal molor dari jadwal semula pada akhir November. Jurus pamungkas ini lambat dimainkan karena banyak sebab, termasuk keengganan perusahaan asuransi menjamin besarnya biaya rig sebesar US$ 15-25 juta. Hambatan lainnya bersumber dari Lapindo, yang menurut Rudi Rubiandini, ketua tim supervisi penanganan lumpur bentukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, ”lambat bertindak dan lebih percaya pada orang asing.”
Alasan kedua berasal dari hasil penelitian lumpur oleh ITS. Ternyata lumpur Lapindo sukar diperah untuk mendapatkan airnya. Dari sekitar 70 persen air dalam lumpur itu, hanya 20 persen yang bisa dipisahkan dan diproses hingga aman dibuang ke laut. Alhasil, tiga perempat lumpur tak bisa dibuang ke mana pun dan, kata Tontowi, ”Sejumlah desa harus dijadikan kolam penampungan.”
ITS mengusulkan tiga desa perlu direlokasi untuk dijadikan tempat penampungan lumpur baru, yakni Besuki, Pejarakan, dan Mindi. Rencana itu pula yang ada di kepala Bupati Sidoarjo, Win Hendarso. Sementara itu pemerintah pusat lebih pragmatis: Lapindo diizinkan membuang lumpur ke Kali Mati, sekitar tiga kilometer dari pusat semburan. Johanes Sudarsono, Manajer Lingkungan dan Kesehatan Lapindo, mengatakan bahwa lumpur padat di Kali Mati nantinya bakal dijadikan bahan baku bata dan batako.
Menurut Win, relokasi warga tinggal menunggu sinyal sepakat dari pemerintah pusat. Bahkan, jika semburan lumpur bisa dihentikan, ia berharap pemerintah pusat tetap setuju untuk memindahkan warga dari sekitar sumur. ”Kami khawatir tanah di daerah Porong ambles,” ujar Win, merujuk informasi yang disampaikan Manajer Eksplorasi Lapindo, Bambang P. Istadi.
Istadi sebelumnya melansir kabar bahwa area dalam radius 2 kilometer dari pusat semburan lumpur sudah ambles 5 sentimeter. Beberapa pakar masih meragukan keterkaitan data itu dengan keruntuhan struktur tanah Porong dan menduga penurunan itu sekadar efek dari pemadatan tanah yang terbebani lumpur. Toh, jika pun Porong tak ambles, Win mengaku wilayah bencana perlu dikosongkan dari permukiman karena lingkungannya sudah rusak parah.
Namun bakal tak mudah meminta warga pindah. Berdasarkan motifnya, pada saat ini ada tiga kelompok warga yang masih bertahan di lokasi bencana: yang tidak mau direlokasi karena ikatan sosial kultural, yang mau dipindahkan tapi dengan bedol desa, dan yang mengharapkan uang pengganti untuk mencari rumah baru. Win optimistis bisa mengatasi kelompok kedua dan ketiga. Untuk yang pertama, ”Kami kesulitan karena motifnya berakar pada budaya dan merupakan upaya untuk mempertahankan tanah leluhur,” katanya.
Kelompok Muhammad Jirjis, yang berkukuh tinggal di desa, tidak ingin sejarah kampungnya lenyap. Pada Selasa siang pekan lalu itu, mereka melakukan apa yang bisa dikerjakan: membuatkan nisan baru setinggi tiga meter untuk semua makam di pekuburan desa. Jika lumpur akhirnya benar-benar merendam kuburan, mereka akan datang pada patok-patok kayu itu untuk ziarah.
Untung Widyanto, Sunudyantoro, Rohman Taufiq
Dua Kabar Buruk
Bedol dukuh akhirnya tak terelakkan karena dua alasan. Pertama, lumpur Lapindo ternyata sukar diolah. Hanya 20 persen dari 70 persen air di lumpur yang bisa dipisahkan untuk dibuang ke laut. Kedua, tanah dalam radius 2 kilometer dari sumber lumpur ambles 5 sentimeter.
Sunudyantoro, Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo