Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Agar Leluhur Tak Terkubur Lumpur

Semburan lumpur baru muncul di Jatirejo. Relokasi warga tak terelakkan.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NISAN itu menjulang setinggi­ ti­ga meter, dibuat seadanya dari ka­yu. Di bagian atas tertulis: Syekh Anas Al-Ayubi. Warga Jatirejo menancapkan plang itu di nisan lama Syekh Anas pada Selasa siang pekan lalu, ”Karena kami ­takut kehilang­an mayat leluhur dan ­to­koh yang kami hormati,” ujar Muhammad Jirjis.

Beberapa puluh warga Jatirejo ha­rusnya sudah mengungsi bersama 1.500 warga lainnya di desa itu. Tapi, demi menjaga nisan Syekh Anas—ikon Jati­rejo, desa tertua di Kecamatan Porong—mereka tak sudi beranjak. ”Kami tak akan pindah walau dibayar berapa pun,” ujar Jirjis, yang didukung warga. Padahal ancaman dari lumpur yang ­mulai muncrat pada 29 Mei itu makin menjadi-jadi.

Pada Kamis pekan lalu, di pondok pesantren desa itu, Nurul Hikmah, ­muncul semburan lumpur baru. Jarak­nya dari pusat semburan lumpur lama di kawasan pengeboran gas Lapindo sekitar 1 kilometer. Debit sumur baru itu belum terukur. Namun, dipastikan, kehadiran sumur ini akan mempercepat laju volume lumpur yang kini sudah mencapai sekitar 4,5 juta meter kubik.

Untuk mencegah korban jiwa, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) meminta pemerintah daerah mengambil skenario terburuk bahwa semburan tidak dapat dihentikan. Bagi warga Jati­rejo, ini berarti relokasi total.

Tontowi Ismail, anggota tim ahli pe­na­nganan lumpur dari ITS, me­ngatakan bahwa bahaya kini bisa datang ke desa kapan pun. Seperti pada Selasa pagi itu, lumpur berhasil merobohkan sebagian tanggul di Jatirejo, yang men­julang se­tinggi lima meter. Waktu itu lumpur hampir tak terbendung. Sehingga, setelah aliran lumpur dapat dihentikan, tidak ada lagi tanah yang bebas dari genangan lumpur, termasuk makam desa tempat Syekh Anas dimakamkan. Jika bahaya tak datang dalam waktu dekat, ”Tanggul bisa jebol pada akhir Oktober,” ujar Tontowi. Penghujung Oktober adalah saat musim hujan datang ke Porong.

Tontowi membeberkan beberapa alasan lainnya, yang membuat ITS menuntut relokasi. Pertama, upaya penghentian semburan lumpur dengan sumur bantu sepertinya bakal molor dari jadwal semula pada akhir November. Jurus pamungkas ini lambat dimainkan karena banyak sebab, termasuk keengganan perusahaan asuransi menjamin besarnya biaya rig sebesar US$ 15-25 juta. Hambatan lainnya bersumber dari ­La­pindo, yang menurut Rudi Rubiandini, ketua tim supervisi penanganan lumpur bentukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, ”lambat bertindak dan lebih percaya pada orang asing.”

Alasan kedua berasal dari hasil penelitian lumpur oleh ITS. Ternyata lumpur Lapindo sukar diperah untuk mendapatkan airnya. Dari sekitar 70 persen air dalam lumpur itu, hanya 20 persen yang bisa dipisahkan dan diproses hingga aman dibuang ke laut. Alhasil, tiga perempat lumpur tak bisa dibuang ke mana pun dan, kata Tontowi, ”Sejumlah desa harus dijadikan kolam penampungan.”

ITS mengusulkan tiga desa perlu direlokasi untuk dijadikan tempat pe­nampungan lumpur baru, yakni Besuki, Pejarakan, dan Mindi. Rencana itu pula yang ada di kepala Bupati Sidoarjo, ­Win Hendarso. Sementara itu peme­rintah ­pusat lebih pragmatis: Lapindo di­izinkan membuang lumpur ke Kali Mati, sekitar tiga kilometer dari pusat semburan. Johanes Sudarsono, Manajer Lingkungan dan Kesehatan Lapindo, mengatakan bahwa lumpur padat di Kali Mati nantinya bakal dijadikan ­bahan baku bata dan batako.

Menurut Win, relokasi warga tinggal menunggu sinyal sepakat dari pe­merintah pusat. Bahkan, jika semburan lum­pur bisa dihentikan, ia berharap pemerintah pusat tetap setuju untuk­ ­memindahkan warga dari sekitar su­mur. ”Kami khawatir tanah di daerah Porong ambles,” ujar Win, merujuk informasi yang di­sampaikan Manajer Eksplorasi Lapindo, Bambang P. Istadi.

Istadi sebelumnya melansir kabar bahwa area dalam radius 2 kilometer dari pusat semburan lumpur sudah ­ambles 5 sentimeter. Beberapa pakar ­ma­­sih meragukan keterkaitan data itu de­ngan keruntuhan struktur tanah Porong dan menduga penurunan itu sekadar­ efek dari pemadatan tanah yang terbebani lumpur. Toh, jika pun Porong tak am­bles, Win mengaku wilayah bencana perlu dikosongkan dari permu­kiman karena lingkungannya sudah rusak parah.

Namun bakal tak mudah meminta warga pindah. Berdasarkan motifnya, pada saat ini ada tiga kelompok warga yang masih bertahan di lokasi bencana: yang tidak mau direlokasi karena ikatan sosial kultural, yang mau dipindahkan tapi dengan bedol desa, dan yang ­mengharapkan uang pengganti untuk mencari rumah baru. Win optimistis bisa mengatasi kelompok kedua dan ketiga. Untuk yang pertama, ”Kami kesulitan karena motifnya ber­akar pada budaya dan merupakan upaya untuk mempertahankan tanah leluhur,” kata­nya.

Kelompok Muhammad Jirjis, yang berkukuh tinggal di desa, tidak ingin ­sejarah kampungnya lenyap. Pada Sela­­sa­ siang pekan lalu itu, mereka melaku­­kan apa yang bisa dikerjakan: membuat­kan­ nisan baru setinggi tiga meter untuk­ semua makam di pekuburan desa. Jika lumpur akhirnya benar-benar me­ren­dam kuburan, mereka akan datang pada patok-patok kayu itu untuk zia­rah.

Untung Widyanto, Sunudyantoro, Rohman Taufiq

Dua Kabar Buruk

Bedol dukuh akhirnya tak terelakkan karena dua alasan. Pertama, lumpur Lapindo ternyata sukar di­olah. Hanya 20 persen dari 70 persen air di lumpur yang bisa dipisahkan untuk dibuang ke laut. Kedua, tanah dalam radius 2 kilometer dari sumber lumpur ambles 5 sentimeter.

Sunudyantoro, Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus