Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Realisme Kejahatan Politik

Dalam buku 668 halaman, Political Order and Political Decay, yang menjadi best seller, dua kali penulisnya, Francis Fukuyama, mengutip Niccolo Machiavelli (1469-1527). Keduanya tentang satu hal: kejahatan politik.

2 Agustus 2018 | 07.25 WIB

Realisme Kejahatan Politik
Perbesar
Realisme Kejahatan Politik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dalam buku 668 halaman, Political Order and Political Decay, yang menjadi best seller, dua kali penulisnya, Francis Fukuyama, mengutip Niccolo Machiavelli (1469-1527). Keduanya tentang satu hal: kejahatan politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan pertama merujuk pada Discourses on the First Ten Books of Livy (1517), tentang bagaimana kota besar seperti Roma dibangun berdasarkan pembunuhan Remus oleh Romulus. Disebutkan, Machiavelli melakukan observasi lebih luas untuk sampai kepada simpulan: semua usaha membangun keadilan berasal dari suatu kejahatan.

Kutipan kedua menyebutkan bahwa kekerasan politik hanya akan menimbulkan kekerasan politik lebih jauh daripada perubahan sosial yang progresif, sebelum akhirnya menyimpulkan fakta: keadilan hari ini sering merupakan hasil kejahatan yang dilakukan pada masa lalu (Fukuyama, 2015: 196-7, 269).

Mengapa kejahatan politik selalu terhubung dengan Machiavelli? Dalam sejarah filsafat, Machiavelli, yang dikelompokkan sebagai filsuf politik zaman Renaisans, disebut mengabaikan problem teoretis atas kedaulatan dan sifat negara demi "realisme", seperti dalam Il Principe (1513), petunjuk bagi para pangeran yang ingin mengetahui cara melanggengkan dan memperbesar kekuasaan.

Risalah dengan sinisisme moral itu mencerminkan kebutuhan atas persatuan karena ditulis di tengah situasi sosial-politik Italia yang terpecah parah sehingga absolutisme monarki menjadi pertimbangan, jika bukan pilihan. Dalam pilihan ini, setiap ilusi hak suci ilahiah para raja dikesampingkan. Ini mempertegas keyakinan bahwa kesatuan politik yang kuat dan stabil dapat diamankan dengan cara itu.

Mengingat idealisme Machiavelli adalah negara republik Roma Akhir (147-30 SM) semasa Julius Caesar, pilihan "realistis" kepada doktrin monarki absolut tampak menjadi satu-satunya pilihan bagi khalayak korup dan dekaden. Menurut Machiavelli, hanya penguasa absolut yang mampu menggalang kekuatan-kekuatan sentrifugal dan membentuk khalayak yang bersatu dan kuat (Coplestone, 1993: 21, 311, 317). Kejahatan politik, kekerasan politik, hanya bisa diatasi oleh kekuasaan absolut, seperti kediktatoran. Bukankah ini tak terlalu asing di Nusantara?

Dalam Pararaton, terdapat sejumlah "pelajaran" kejahatan dan kekerasan politik, seperti berikut ini. Untuk merebut kekuasaan Tunggul Ametung, Ken Angrok memesan keris dari Mpu Gandring dan meminjamkannya kepada Kebo Ijo, yang lantas mencurinya untuk menusuk Tunggul Ametung. Kebo Ijo pun ditangkap dan dibunuh dengan keris itu. Ken Angrok menikahi Ken Dedes dan menguasai Tumapel.

Lembu Ampal diperintahkan Panji Tohjaya membunuh Mahisa Campaka dan Pranaraja. Jika gagal, ia akan dibunuh. Alih-alih menjalankan tugas, Lembu Ampal berpihak kepada keduanya. Lembu Ampal menusuk orang Rajasa, lantas lari ke Sinelir. Di Sinelir, ditusuknya pula seseorang dan lari ke Rajasa. Kedua kelompok pun tawur hingga semua dibunuh oleh Tohjaya. Maka, kedua desa bersatu untuk menyerang keraton di bawah perlindungan Mahisa Campaka dan Pranaraja sampai Tohjaya terbunuh.

Gajah Mada mengetahui bahwa Raja Jayanegara mengganggu istri Tanca, maka ia memberi tahu Tanca. Ketika bertugas memecah bisul raja, Tanca meminta raja melepas jimat agar bisul bisa pecah. Raja ditusuk Tanca dan tewas di tempat tidur. Namun Tanca pun tewas ditusuk Gajah Mada (Kriswanto, 2009: 49-53, 61-7, 99).

Kekerasan? Sudah tentu. Kejahatan? Meski hanya Ken Angrok yang merupakan antagonis dalam drama tanpa protagonis, Lembu Ampal dan Gajah Mada adalah protagonis yang melakukan kejahatan politik. Disebutkan dalam Il Principe (Sang Pangeran) bahwa Machiavelli sekadar memberikan seluk-beluk mekanis pemerintahan, melepaskan diri dari pertimbangan moral, dan hanya berharap untuk menyatakan cara, tempat kekuasaan politik dapat ditetapkan dan dipertahankan.

Faktanya toh tetap. Pria kelahiran Florence itu mempertimbangkan bahwa penguasa (maupun yang ingin berkuasa-SGA) berhak menggunakan cara-cara tak bermoral dalam konsolidasi dan penjagaan kekuasaan (Coplestone, op.cit., h. 315-6). Jika di Tanah Jawa ada Pararaton yang menjadi refleksi politis kekuasaan Singasari dan Majapahit, bukankah yang dipikirkan Machiavelli terbukti mungkin dilakukan di suatu waktu dan ruang lain, termasuk hari ini?

Seno Gumira Ajidarma

Penulis cerita pendek dan kritik seni

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus