Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kelanjutan Regresi Reformasi Militer di Era Prabowo

Masa depan reformasi TNI bakal suram pada pemerintahan Prabowo. Terlihat pada penunjukan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet.

30 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kelanjutan Regresi Reformasi Militer di Era Prabowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengangkatan Mayor Teddy menjadi bentuk keberlanjutan perluasan posisi militer pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI.

  • Jabatan di Seskab ataupun di Kemensesneg tidak termasuk dalam jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit aktif.

  • Upaya reformasi TNI masih terhambat persoalan-persoalan yang sama dengan 20 tahun lalu.

HARAPAN adanya evaluasi dan penguatan reformasi TNI seiring dengan transisi kepemimpinan nasional mendadak redup. Pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet dalam Kabinet Merah Putih di bawah Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menjadi sebabnya.

Hal itu lantaran pengangkatan Mayor Teddy tidak disertai dengan kepatuhan terhadap ketentuan Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI. Dalam aturan itu jelas dinyatakan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengangkatan Mayor Teddy ini menjadi bentuk keberlanjutan perluasan posisi militer pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI, setelah sebelumnya juga terjadi para era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pada 2019, misalnya, Jokowi menempatkan prajurit TNI di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lalu, pada 2020, ia menempatkan prajurit TNI menjadi komisaris sejumlah perusahaan BUMN serta sebagai penjabat kepala daerah pada 2022. Laporan Ombudsman RI pada 2020 juga mencatat setidaknya 27 prajurit TNI terindikasi rangkap jabatan di BUMN pada 2019. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengangkatan Mayor Teddy makin menebalkan pelembagaan rutinitas penempatan prajurit TNI pada jabatan-jabatan yang tidak berkaitan dengan pertahanan negara, terutama sejak era Jokowi. Padahal urusan-urusan pada jabatan tersebut dapat dikelola oleh aparatur sipil negara yang memiliki kapasitas sesuai dengan bidangnya. Dalam konteks itu, terlihat bahwa pemerintah tidak punya komitmen politik untuk memperkuat reformasi TNI sesuai dengan amanat reformasi 1998 (Setara Institute, 2024).

Penjelasan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi ataupun Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, yang menyebut Mayor Teddy tidak perlu pensiun dari TNI karena ada perubahan kedudukan Seskab yang tak lagi setingkat menteri dan menjadi di bawah Menteri Sekretaris Negara, serta statusnya sebagai eselon II, sama sekali tidak berkaitan dengan pangkal persoalannya. Sebab, jabatan di Seskab ataupun di Kemensesneg tidak termasuk dalam jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit aktif, sebagaimana ketentuan Pasal 47 ayat 2 UU TNI.

Perubahan status dan kedudukan Seskab sama sekali tidak menjawab problematika dan pengangkangan terhadap UU TNI dalam pengangkatan Mayor Teddy. Sebab, ketentuan Pasal 47 ayat 2 UU TNI mengatur dengan spesifik perihal jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI tanpa pensiun dini, yaitu jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue nasional, narkotik nasional, dan Mahkamah Agung. Dengan ketentuan rinci tersebut, semestinya mudah bagi Presiden Prabowo untuk meninjau ulang keputusannya mengangkat Mayor Teddy sebagai Seskab.

Menjadikan perubahan struktur Seskab sebagai justifikasi penempatan Mayor Teddy justru hanya memperlihatkan kebijakan yang tidak berbasis pada ketentuan serta mengingkari semangat reformasi TNI. Transisi kepemimpinan nasional, yang semestinya membawa asa untuk mewujudkan TNI yang kuat dan profesional pada bidang pertahanan negara, ternoda oleh kebijakan ini. 

Jika kemudian revisi UU TNI dilakukan hanya untuk mengakomodasi pilihan Presiden, seperti soal penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, makin sempurnalah praktik autocratic legalism yang terus memundurkan demokrasi Indonesia. 

Upaya reformasi TNI masih berkutat pada persoalan-persoalan yang sama 20 tahun lalu, terutama dalam konteks penempatan di jabatan sipil. Spesifiknya pengaturan dalam UU TNI nyatanya tidak serta-merta membuat politikus mematuhinya. Mereka justru mengakali, bahkan menabrak ketentuan tersebut. Persoalan ini bukan hanya berdampak pada stagnasi reformasi TNI karena membuka ruang-ruang sosial-politik lebih luas terhadap militer, tapi juga menyebabkan terjadinya regresi demokrasi. 

Pemerintah semestinya perlu membaca ulang Ketetapan MPR Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Sebab, konsiderans huruf (d) ketentuan itu telah mengingatkan bahwa peran sosial-politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran serta fungsi TNI dan Polri. Akibatnya, sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tidak berkembang. Pemerintah seharusnya dapat mengambil pelajaran dari preseden ini di masa lalu.

Sangat disayangkan, kebijakan yang melanggar ketentuan ini justru terjadi pada fase awal era kepemimpinan baru. Lalu, bagaimana masa depan agenda reformasi TNI? Sulit membayangkan adanya progres jika dalam hal ini saja Presiden Prabowo tidak mematuhinya. 

Presiden, para menteri, dan pimpinan lembaga semestinya turut memastikan profesionalitas TNI dengan tidak memberikan jabatan-jabatan tertentu dan/atau membuka kerja sama di luar tugas pertahanan serta tugas perbantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Reformasi TNI harus berjalan dua arah atau timbal balik: TNI berfokus melakukan reformasi dan presiden/DPR/politikus menjaga proses reformasi itu agar berjalan sesuai dengan mandat konstitusi serta peraturan perundang-undangan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Ikhsan Yosarie

Ikhsan Yosarie

Peneliti Hak Asasi Manusia dan Sektor Keamanan Setara Institute.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus