Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Relawan

Karena berfungsi sebagai lambang sosial, bentuk dan fungsi bahasa terus berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat penutur.

26 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rahmat Petuguran*

Karena berfungsi sebagai lambang sosial, bentuk dan fungsi bahasa terus berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat penutur. Perubahan itu bisa berkaitan dengan bentuk formal tanda, juga bisa berupa pergeseran relasi antara tanda dan maknanya. Perubahan jenis kedua lebih sering terjadi karena relasi tanda dan makna merupakan obyek “sengketa”.

Kata “relawan” dulu digunakan untuk merujuk pada figur atau kelompok yang bekerja untuk kepentingan orang lain secara ikhlas. Figur seperti ini biasanya ditemukan di lokasi bencana. Tanpa harapan memperoleh upah apa pun, mereka bahu-membahu membantu sesama. Jangankan menerima bayaran, diberitakan kebaikannya pun mereka tak selalu mau.

Makna kata itu cenderung bergeser pada era politik elektoral seperti sekarang. Dalam pemberitaan, kata “relawan” lebih sering digunakan untuk menyebut kelompok sipil nonpartai yang berafiliasi mendukung kandidat tertentu. Kata “relawan” digunakan untuk membedakan diri mereka dengan pengurus struktural partai (yang bekerja dengan motif politik) dan konsultan (yang bekerja karena motif ekonomi).

Kita bisa menggunakan mesin pencari untuk melihat bagaimana kata “relawan” digunakan sebagai terminologi politik. Dalam pemberitaan, kata “relawan” biasanya diikuti nama tokoh politik yang didukung. Selain itu, kata “relawan” lazimnya diikuti tindakan atau pernyataan untuk mendukung kandidat tertentu. Frasa yang terbentuk adalah “relawan dukung”, “relawan luncurkan”, “relawan nyatakan”, dan sebagainya.

Penggunaan kata “relawan” dalam politik praktis menyimpan persoalan semantik yang menarik. Sebab, kerelaan atau keikhlasan bukan sifat yang lazim ditemukan dalam dunia politik, dunia perebutan kekuasaan. Siapa pun yang terlibat politik selalu patut diduga punya motif memperoleh sumber daya tertentu. Kondisi demikian dengan sendirinya membuat sikap kerelawanan kelompok yang menyebut diri relawan itu patut diragukan.

Dari sinilah tampak bahwa relasi kata “relawan” dengan maknanya sedang disengketakan. Kata “relawan” dipilih bukan karena tepat menggambarkan realitas yang diwakilinya, melainkan lantaran memiliki efek performatif positif. Efek performatif itu cenderung menguntungkan pengguna karena dapat menyembunyikan motif yang dimilikinya sehingga mereka tampak sebagai orang yang bekerja ikhlas.

Strategi itu tentu bukan hal baru. Sebab, pada setiap tindakan berbahasa, penutur memang selalu punya ambivalensi untuk membunyikan sekaligus menyembunyikan sesuatu. Membunyikan berarti menyatakan sesuatu agar dipahami orang lain. Menyembunyikan berarti mencegah agar hal-hal yang tidak hendak tersampaikan tetap tidak tersampaikan.

Lebih luas, penggeseran makna kata tidak hanya terjadi pada kata “relawan”. Setiap kata pada dasarnya mengalami penggeseran makna ketika digunakan pada konteks tertentu. Itulah yang membuat makna leksikal kata tidak selalu selaras dengan makna gramatikal dan kontekstualnya. Ketika digunakan untuk tujuan spesifik, makna kata cenderung berubah sesuai dengan kehendak penutur.

Meski begitu, penggeseran makna kata “relawan” tetaplah gejala yang unik dan menarik. Itu terjadi karena dua alasan. Pertama, ada paradoks, karena kata “relawan” justru digunakan oleh kelompok yang menyadari dirinya bukan relawan. Kata itu sengaja digunakan untuk memanipulasi kesadaran pembaca atau pendengar demi citra tertentu yang hendak diraih. Kedua, meski mengandung paradoks, keberterimaannya relatif tinggi. Itu ditandai dengan makin banyaknya komunitas politik yang menyatakan diri sebagai relawan.

Dalam kajian pragmatik, dikenal istilah “paradoks pragmatik”. Istilah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan pertentangan antara pesan verbal dan maksud yang hendak dituju. Di sekitar kita, misalnya, masih ditemukan klaim “saya tidak sombong”. Pesan tersurat dan pesan tersirat pada ungkapan tersebut justru bertentangan karena menyatakan ketidaksombongan bisa diidentifikasi sebagai bentuk kesombongan.

Dengan formula yang lebih-kurang sama, istilah “relawan” di dunia politik mengandung paradoks pragmatik. Ketika sekelompok orang menyatakan diri sebagai relawan, dengan sendirinya mereka justru mewartakan bahwa mereka bukan relawan. Sebab, relawan sesungguhnya biasanya risi memuliakan diri dengan sebutan yang terkesan altruistik tersebut.

*) DOSEN BAHASA INDONESIA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus