Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiki Verico
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan Wakil Kepala LPEM FEB UI
Selain ilustrasi Games of Thrones yang dipakai Presiden Joko Widodo untuk menggambarkan keadaan ekonomi dunia saat ini, film Justice League bisa menjadi alternatif. Dalam Justice League, Batman berusaha meyakinkan para metahuman bahwa mereka harus bersatu dalam menghadapi ancaman. Upaya Batman paling sulit ketika ia harus meyakinkan Superman, yang ia kalahkan dalam Dawn of Justice. Lewat negosiasi yang alot, Superman akhirnya bergabung dengan Justice League sehingga Steppenwolf bisa dikalahkan. Steppenwolf, tokoh jahat itu, adalah sistem ekonomi yang menutup globalisasi sebagai imbas meluasnya perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat yang akan merugikan kita semua.
Dunia membutuhkan stabilitas pertumbuhan ekonomi dan ini tercapai hanya bila pertumbuhan dinikmati bersama-sama oleh negara maju dan berkembang. Pertemuan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Bali, dua pekan lalu, menjadi momen penting untuk mengingatkan semua negara bahwa ekonomi dunia harus tumbuh dari benih kerja sama antarnegara. Tidak ada negara yang mampu membuat semua produknya sehingga kerja sama ekonomi menjadi keniscayaan, seperti halnya para superhero yang bekerja sama bermodal kekuatan berbeda-beda.
Data 148 tahun terakhir menunjukkan keterbukaan ekonomi dunia mencapai puncak siklus pada 2008, lalu konsisten turun setelah itu. Siklus ini mencapai puncak ketika harga minyak dan gas, hasil tambang, serta bahan baku primer meningkat tajam akibat naiknya permintaan sektor manufaktur negara-negara berkembang, seperti Tiongkok, India, dan Vietnam, pada 2001-2008. Namun kenaikan suplai manufaktur negara berkembang ini harus menghadapi kenyataan menurunnya permintaan negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, setelah krisis keuangan global 2008.
Sejak itu, keterbukaan ekonomi dunia berfluktuasi mencari keseimbangan baru. Dalam proses ini, Uni Eropa mengalami tekanan hingga terjadi Brexit (British exit—keluarnya Inggris dari Uni Eropa) pada 2016, sementara Amerika Serikat merespons dengan mengusung kebangkitan ekonomi domestik pada 2017. Tekanan menjadi makin kuat pada 2018 ketika Amerika Serikat dan Cina, dua negara ekonomi terbesar di dunia yang masing-masing menguasai 24 persen dan 15 persen produk domestik bruto dunia, mulai terlibat perang dagang.
Siklus keterbukaan ekonomi dunia sangat mempengaruhi ekonomi Indonesia. Sejak akhir 2011, seiring dengan penurunan harga minyak dunia, surplus ekspor Indonesia yang mengandalkan migas dan komoditas primer ikut menurun. Sejak 2012, neraca transaksi berjalan Indonesia pun mengalami defisit hingga memberikan tekanan undervalue atau pelemahan pada nilai tukar rupiah.
Tekanan ekonomi global makin terasa pada 2018 karena dua faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi Amerika memicu laju inflasi domestik sehingga mendorong otoritas moneter menaikkan suku bunga beberapa kali. Kenaikan ini menarik arus modal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga pasar saham, obligasi, dan valuta asing makin tertekan. Kedua, perang dagang terlihat mulai memberikan dampak pada ekspor nonmigas negara berkembang, termasuk Indonesia. Bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia, Indonesia memang memiliki hubungan dampak langsung terkecil dengan ekspor Tiongkok. Tapi ketika ekspor Tiongkok tertekan, permintaan impor dari Asia Tenggara ikut menurun sehingga makin mempengaruhi ekspor Indonesia. Tiongkok, Asia Tenggara, Amerika Serikat, dan Uni Eropa termasuk negara tujuan utama ekspor Indonesia.
Simulasi sederhana model ekonomi menunjukkan, saat kebijakan ekonomi global mulai tertutup, dibutuhkan waktu setidaknya dua tahun hingga ekspor dunia menurun. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi memang membutuhkan keterbukaan sisi perdagangan dan investasi. Saat ini globalisasi memang mulai tertutup, tapi mungkin tidak akan berlangsung lama, seperti halnya Superman yang pada akhirnya bergabung dengan Justice League setelah sadar bahwa superhero tetap harus bekerja sama.
Negara maju membutuhkan negara berkembang untuk memproduksi produk berteknologi menengah-rendah, sementara negara berkembang membutuhkan investasi manufaktur negara maju dan inovasi teknologi terbarunya. Kerja sama ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan. Atas dasar ini, sesungguhnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang menguntungkan negara maju. Surplus neraca perdagangan negara berkembang tidak tecermin pada defisit neraca perdagangan negara maju, tapi pada surplus pendapatan primer dan neraca keuangan negara maju.
Akibat tekanan ekonomi global, pada 2018 defisit keseimbangan eksternal Indonesia kian lebar. Pada Januari-Agustus 2018, dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017, terlihat peningkatan defisit ekspor migas Indonesia dari US$ 5,4 miliar menjadi US$ 8,3 miliar dan penurunan surplus ekspor nonmigas dari US$ 14,5 miliar menjadi US$ 4,3 miliar.
Upaya meningkatkan ekspor barang di Indonesia tidak mudah karena tingginya ketergantungan ekspor nasional pada impor bahan baku dan mesin. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas impor pada ekspor nasional yang besarnya kurang dari satu. Artinya, setiap kali Indonesia ingin meningkatkan ekspor, kenaikan nilai impor lebih besar daripada kenaikan nilai ekspor. Data periode Januari-Agustus 2018 membuktikan bahwa ekspor total Indonesia naik 10,4 persen tapi impor totalnya naik lebih besar, yaitu 24,5 persen.
Di tengah fluktuasi situasi global dan tingginya ketergantungan impor pada mesin dan bahan baku, Indonesia harus melakukan sesuatu. Apa itu? Minimal ada delapan hal.
Pertama, memperbanyak jumlah negara tujuan ekspor dan mengurangi proporsi ekspor yang terlalu tinggi pada negara-negara tertentu. Hal ini penting karena, bila terjadi sesuatu pada negara tersebut, ekspor Indonesia tidak akan terlalu terganggu. Kedua, mulai mengurangi ketergantungan impor pada bahan baku dan mesin dengan cara meningkatkan produktivitas sisi suplai, bukan dengan proteksi sisi permintaan. Indonesia harus segera berfokus bergeser dari memproduksi bahan mentah ke bahan baku. Pergeseran ini membutuhkan peningkatan kualitas sumber daya manusia karena memerlukan peningkatan teknologi, penelitian, dan inovasi.
Ketiga, menjadikan sektor manufaktur sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi domestik nasional. Sementara ini sumber pertumbuhan ekonomi domestik Indonesia berasal dari sektor jasa yang selalu mengalami defisit perdagangan. Keempat, terlibat dalam jaringan perdagangan elektronik (e-commerce) dunia karena peran perdagangan konvensional akan makin menurun. Kelima, berfokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga Indonesia makin menarik bagi investasi manufaktur dunia berteknologi menengah dan tinggi. Keenam, industri manufaktur harus masuk ke jaringan produksi global yang berinovasi serta merancang dan membuat bahan baku dan mesin. Hal ini sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor produk tersebut. Ketujuh, terus membangun infrastruktur dan suplai utilitas seperti listrik, gas, air bersih, data, dan jaringan komunikasi. Kedelapan, melakukan reformasi dan harmonisasi kebijakan sehingga perizinan menjadi efisien serta murah.
Seluruh upaya memperbaiki keseimbangan eksternal ini akan optimal hanya bila globalisasi ekonomi kembali ke karakter alamiahnya, yaitu bekerja sama antarnegara. Seperti para superhero dalam Justice League saat menghadapi Steppenwolf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo