Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Lahirnya Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia tidak lahir pada 1928, tapi pada 2 Mei 1926. Mohamad Tabrani adalah yang pertama kali menyebut Bahasa Indonesia.

26 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bulan Oktober selalu diperingati sebagai Bulan Bahasa, bersamaan dengan peringatan Sumpah Pemuda. Tapi benarkah bahasa Indonesia juga lahir bersamaan dengan Sumpah Pemuda, deklarasi sejumlah organisasi pemuda dalam Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928?

Pandangan umum selama ini menyatakan bahwa bahasa Indonesia lahir dalam kongres tersebut. Situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, misalnya, menyebutkan bahwa bahasa Indonesia lahir pada tanggal tersebut. Tapi Harimurti Kridalaksana, linguis yang kini menjadi Rektor Universitas Buddhi Dharma, Tangerang, Banten, menjawab dengan yakin: tidak.

Menurut Harimurti, dalam buku terbarunya, Masa-masa Awal Bahasa Indonesia, bahasa Indonesia lahir dua tahun sebelumnya. ”Yang ingin ditegaskan dalam buku ini ialah fakta bahwa 2 Mei tahun 1926 adalah hari kelahiran Bahasa Indonesia, yakni ketika M. Tabrani menyatakan bahwa bahasa bangsa Indonesia haruslah Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Melayu,” tulis Harimurti.

Momen itu terjadi ketika Kerapatan -Besar Pemuda digelar di Jakarta pada 30 April-2 Mei 1926. Pertemuan yang diketuai Mohamad Tabrani ini kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda Pertama. Dalam acara itu, Mohammad Yamin menyampaikan makalah berbahasa Belanda yang menyatakan hanya bahasa Jawa dan Melayu yang berpeluang menjadi bahasa persatuan. Dan Yamin yakin bahasa Melayulah yang akan lebih berkembang.

Masa-masa Awal Bahasa Indonesia

Pengarang:

Harimurti Kridalaksana

Penerbit:

Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, Jakarta

Terbitan:

Cetakan Pertama, April 2018

Tebal:

112 halaman

Rapat ini tidak menghasilkan keputusan seperti halnya Kongres Pemuda Kedua. Namun, pada hari terakhir pertemuan, Yamin ditugasi menyusun usul resolusi. Yamin mengajukan konsep yang berbunyi: ”Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah satoe, tanah air Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe.”

Sanusi Pane datang terlambat sehingga naskah itu hanya dibahas oleh Yamin, Tabrani, dan Djamaloedin Adinegoro. Djamaloedin menyetujui konsep Yamin, tapi Tabrani menolak poin soal bahasa persatuan. ”Nama bahasa persatuan hendaknya bukan Bahasa Melayu, tetapi Bahasa Indonesia. Kalau belum ada, harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Pertama ini,” kata Tabrani dalam biografinya, Anak Nakal Banyak Akal, yang dikutip Harimurti.

Yamin dan Tabrani pun berdebat keras. Sanusi, yang kemudian datang, mendukung Tabrani sehingga rapat menemui jalan buntu. Akhirnya mereka memutuskan bahwa keputusan terakhir ditunda sampai Kongres Pemuda Kedua pada 1928 dengan catatan ”Bahasa Melayu” diubah menjadi ”Bahasa Indonesia”. Dalam Kongres 1928, Soegondo Djojopoespito selaku Ketua Kong-res Pemuda Kedua tak lagi menyebut usul Yamin dalam rapat panitia, tapi langsung membawa resolusi yang telah diubah itu ke sidang umum dan diterima dengan suara bulat oleh Kongres. Resolusi itulah Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang.

Jadi, menurut Harimurti, Tabranilah yang pertama kali menyebut Bahasa Indonesia (dengan ”B”), bahasa nasional kita; bukan bahasa Indonesia (dengan ”b”), salah satu rumpun bahasa dalam keluarga bahasa Austronesia. Sebelum Tabrani, tak ada orang yang menyebut soal Bahasa Indonesia.

Penamaan ”Bahasa Indonesia” itu penting, kata Harimurti, karena bahasa berwujud bukan semata lantaran sistem ujaran yang membentuk sistem makna, melainkan lebih karena sikap, persepsi, dan kesepakatan penuturnya. Dia mencontohkan bahasa Urdu, bahasa resmi Pakistan, dan bahasa Hindi, bahasa resmi India. Bila kedua penutur bahasa itu bertemu, mereka akan dapat berkomunikasi tanpa kesulitan, tapi tetap menyatakan keduanya bahasa yang berbeda. Untuk mengukuhkan identitas, bahasa Urdu diungkap dengan aksara Arab, sedangkan bahasa Hindi dengan aksara Dewanagari.

Jadi pada dasarnya bahasa Indonesia adalah keputusan politik suatu komunitas bernama bangsa Indonesia. Bila mau konsisten dengan sejarah, tanggal lahir bahasa Indonesia adalah 2 Mei 1926 dan bulan bahasa jatuh pada bulan Mei.

IWAN KURNIAWAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus