TAK ada lagi pacet di hutan Kalinjau. Ini tentu saja bukan berita gembira. Ini sebuah ungkapan duka bagi penghuni hutan. Tak ada pacet berarti tanah tak lagi cukup lembap. Padahal, kelembapan merupakan indikasi bahwa hutan tropis dalam keadaan sehat. Kelembapan adalah syarat utama terjadinya pembusukan, hingga sampah daun-daun yang rontok segera menjadi zat makanan, dan langsung disedot oleh ribuan akar berbagai jenis esles tumbuhan hutan tropis. "Berburu semakin sulit, belukar duri semakin lebat alang-alang bermunculan. Hutan tropis yang sehat selalu lapang, mudah menjalaninya, dipayungi pohon-pohon menjulang. Sekarang, setiap jalan, selalu ribut bunyi daun kering terinjak, bunyinya kraaaak kraaak," kata seorang pendeta. Pak Pendeta suku Kenyah di pedalaman Kalimantan ini tak bisa bicara tentang kerusakan hutan dalam cara spektakuler dengan hitungan angka jutaan hektar yang musnah. Dia bicara hal-hal kecil, tapi memberi kesan orang yang tahu betul mana hutan sebenarnya, dan mana yang sekadar hijau. Konon, Sang Budha meminta muridnya mempelajari hutan, maka segera murid-murid itu menyebar. Masing-masing datang dengan sekian jumlah pohon, ada yang datang dengan sekian jenis tanah, dan jumlah buah-buahan. Ternyata, pengetahuan hakiki diketahui oleh seorang muridnya yang hanya memungut sebuah daun, dan dia mencerita segalanya tentang kehidupan hutan dalam penghayatan yang total. Pak Pendeta ini tahu hutan sudah berubah tanpa membaca angka-angka fantastis tentang kerusakan akibat kebakaran yang memusnakan 3,6 juta hektar hutan Kalimantan. Tapi, betapa susahnya bagi orang kota untuk simpati dan tergugah atas laporan 3,6 juta hektar hutan Indonesia musnah. Bencana kebakaran hutan terbesar di dunia itu melalap daerah seluas 60 kali wilayah DKI Jakarta. Setara dahsyatnya bila sebuah negara seluas Negeri Belanda terbakar dan lenyap. Keluar dari hutan, aku membawa lima orang suku Kenyah Umak Taw, satu orang suku Modang dan dua orang suku Kenyah Umak Jalan. Mereka generasi yang mengalami hidup di hutan-hutan Apo Kayan -- daerah perbatasan dengan Serawak. Dari kuping mereka yang panjang, dari gerak tari dan petikan sampek serta kedirek (instrumen asli, seperti organ bamboo), kita akan menyaksikan spesies seniman terakhir dari suku-suku Dayak pedalaman mengungkapkan kelembutan penghayatan manusia terhadap alam. Aku membuka catatan, dan menemukan tulisan Soedjatmoko, "Keserasian dengan alam bagi manusia, yang diperlukan untuk menghadapi masa depan, bukan persoalan pengetahuan dan konsepsi intelektual semata-mata. Ia meliputi persoalan rasa, yaitu induk daripada kemampuan intuitif, ekspresif, dan estetis manusia serta kemampuannya berkomunikasi secara nonverbal." Di tepi Sungai Kelinjau saat pamitan, Pak Pendeta secara mengejutkan berkata, "Hutan memang berubah, bahkan ada yang telah menjadi gurun pasir. Belum luas, memang, tetapi telah dimulai. Naiklah perahu, berhenti di Long Tsak, lalu menyelinaplah ke jalan kamp HPH, pada kilometer keempat sampai kesepuluh akan kau lihat awal dari lahirnya gurun pasir di Kalimantan." Peringatan Pak Pendeta terasa tak berlebihan. Di Indonesia terdapat 43 juta hektar lahan tidak produktif -- 20 juta hektar ditumbuhi alang-alang, dan 23 juta hektar lagi lahan semak belukar. Data lain menunjukkan laju kerusakan hutan bertambah 500.000 hektar setiap tahun. Bayangkan: Lima ratus ribu hektar....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini