Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komisi I DPR menyatakan telah mengusulkan revisi UU TNI masuk prolegnas jangka menengah periode 2025-2029.
Laboratorium Indonesia Emas 2045 menemukan sebanyak 2.569 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil.
Sebagai mantan prajurit TNI yang kerap mengklaim dirinya seorang patriotik, Prabowo semestinya sangat memahami fungsi utama TNI.
ASPIRASI dan tekanan masyarakat sipil yang berharap pemerintahan Prabowo Subianto tak melanjutkan revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tampaknya dianggap angin lalu.
Justru Prabowo di awal kepemimpinannya sudah menunjukkan tanda-tanda perluasan dwifungsi TNI, dengan menunjuk Mayor Teddy Indra Wijaya—seorang prajurit aktif—sebagai Sekretaris Kabinet. Upaya revisi UU TNI pun mendapat sambutan Dewan Perwakilan Rakyat. Selasa, 21 November 2024, Komisi I DPR menyatakan telah mengusulkan revisi UU TNI masuk program legislasi nasional jangka menengah periode 2025-2029.
Rencana revisi aturan itu sebelumnya muncul pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Revisi ini menjadi upaya melegitimasi ketelanjuran masuknya prajurit TNI dalam jabatan sipil serta menambah pos-pos kementerian yang dimungkinkan untuk diisi oleh prajurit.
Menurut Ikhsan Yosarie et al (2023), yang mengutip data Kementerian Pertahanan pada 2019, setidaknya terdapat 111 prajurit TNI aktif yang menjabat di sembilan instansi yang tidak termasuk dalam sepuluh instansi yang dibolehkan diisi prajurit sebagaimana diatur dalam UU TNI. Selanjutnya, berdasarkan catatan Ombudsman RI (2020), terdapat 27 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sebagai komisaris badan usaha milik negara dan penjabat kepala daerah (Ombudsman, 2022).
Jumlah ini belum termasuk keterlibatan prajurit dalam program pengawasan dana desa dan harga pangan (Al Araf, 2020), pelibatan TNI Angkatan Darat dalam program peningkatan kerukunan umat beragama oleh Kementerian Agama (2020), serta proyek lumbung pangan atau food estate (Walhi dan Yayasan Pusaka, 2021). Lalu, pada masa pemerintahan Joko Widodo pula, Laboratorium Indonesia Emas 2045 pada 2024 menemukan sebanyak 2.569 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil. Sebanyak 132 di antaranya menduduki jabatan di luar ketentuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenomena di atas bukan hanya memperlihatkan ekspansi militer di jabatan sipil, tapi juga ketidakpatuhan militer terhadap ketentuan operasi militer selain perang (OMSP) dalam Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI. Dalam ketentuan tersebut, diatur ruang lingkup OMSP dan aturan main yang berlaku. Namun peran-peran yang sebelumnya disebutkan juga tidak termasuk dalam ketentuan OMSP serta mengharuskan adanya keputusan dan kebijakan politik negara sebagai syarat keterlibatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua keterlibatan prajurit TNI aktif dalam ranah sipil selama masa pemerintahan Jokowi tidak dapat dijelaskan urgensi dan kebutuhannya. Selain itu, tidak ditemukan bentuk dan sifat ancaman non-militer di luar wewenang instansi pertahanan yang tak dapat diselesaikan oleh lembaga pemerintah di bidang non-pertahanan.
Ke depan, hal yang patut menjadi perhatian dan kewaspadaan publik terhadap pemerintahan Prabowo adalah kian banyaknya penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil. Risiko ini muncul karena Prabowo menambah jumlah kementerian koordinator. Pos yang berisiko dijadikan lumbung penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan yang mengkoordinasi tujuh kementerian dan instansi lain, serta Kementerian Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan yang mengkoordinasi tiga kementerian dan instansi lain.
Sebagai mantan prajurit TNI yang kerap mengklaim dirinya seorang patriotik, Prabowo semestinya sangat memahami fungsi utama TNI, yakni alat pertahanan negara yang seharusnya tidak dilibatkan dan dihindarkan dalam urusan sipil. Menurut Diandra Megaputri Mengko (2019), penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil di luar yang diatur dalam UU TNI dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI seperti masa lalu. Dalam hal ini pemerintahan Prabowo tidak boleh mengulangi kesalahan pemerintahan Jokowi.
Pemerintahan Prabowo dalam kerangka reformasi TNI sebaiknya berfokus mengevaluasi semua prajurit TNI yang sekarang menduduki jabatan sipil tidak sesuai dengan UU TNI. Lalu pemerintah perlu memastikan pembangunan profesionalisme TNI untuk menjadi tentara terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia.
Hal berikutnya, pemerintah harus memastikan kebutuhan anggaran modernisasi alat sistem utama persenjataan atau pembangunan komponen utama TNI sesuai dengan program peningkatan kekuatan pertahanan negara atau minimum essential force.
Alih-alih merevisi UU TNI, semestinya pemerintah mendahulukan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai mandat TAP MPR VII/2000, UU TNI, dan Putusan Nomor 27/PUU-XIX/2021. Hal yang tak kalah penting adalah mencabut berbagai peraturan yang dapat memberikan ruang kepada prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di luar bidang pertahanan dan memperkuat kontrol sipil atas militer.
Terus bergulirnya rencana revisi UU TNI ditambah pelantikan Mayor Teddy menjadi pembuka yang buruk bagi pemerintahan Prabowo sekaligus menarik mundur agenda reformasi TNI. Pemerintahan Prabowo sebaiknya tidak melanjutkan revisi UU TNI.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.