Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Revolusi kebudayaan

Operasi tertib mungkin suatu revolusi kebudayaan dari atas, bila didukung rakyat. mungkin juga awal perubahan nilai nilai secara lebih keras. zaman dahulu penduduk menentukan hukum, kini terjadi sebaliknya.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPSTIB mungkin sebuah "revolusi kebudayaan," dari atas. Mungkin kita menyadari ini. Mungkin tidak. Mungkin kita seperti Douwes Dekker yang jadi asisten residen di Lebak dan kemudian jadi termashur sebagai Multatuli yang menulis Max Havelaar. Tapi mungkin kita memang telah berada di jaman lain -- dan siapa tahu tak mengulangi kesalahan Dekker di abad 19. Sebab nampaknya memang ada yang keliru pada Douwes Dekker. Seperti kita ketahui, dari catatan sejarah, 22 Januari 1856 Douwes Dekker tiba di Lebak, Banten. Ia merupakan orang pilihan pribadi Gubernur Jenderal Duymaer van Twist untuk jadi asisten residen di daerah yang miskin itu. Sang Gubernur Jenderal menyukai orang yang "dapat merasakan nasib orang-orang pribumi" itu, dan ia memang keras terhadap penyelewengan: "Saya ingin sekali menghentikan penyelewengan-penyelewengan, dengan sungguh-sunaauh, dengan kekuatan penuh, bahkan dengan kekerasan" begitu tulis van Twist dalam sepucuk suratnya. Dan di Lebak, dalam beberapa jam saja, Douwes Dekker merasa telah memergoki apa yang dikiranya sebagai "penyelewengan": Raden Adipati Kartanatanegara, bupati Lebak, baginya telah menghisap rakyat, memanfaatkan tenaga dan harta rakyat lebih dari yang semestinya. Dengan segera Dekker bertindak. Tapi seperti pernah disinggung oleh B. Suharso dalam buku kecil Korupsi di Indonesia (Bhratara, 1968) dan sebelumnya oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya tentang pemberontakan di Banten tahun 1888, ada soal perbedaan penilaian dan kesalah-fahaman di situ. Pengarang Belanda kelahiran Indonesia, Rob Nieuwenhuys, dalam sebuah risalah yang tahun ini terjemahannya diterbitkan Pustaka Jaya dengan judul Hikayat Lebak, menguraikan dengan tajam hasil penelitiannya sebagai kritik kepada Douwes Dekker: "Apa yang dalam mata orang Barat disebut sebagai 'sewenang-wenang,' 'penyalahgunaan kekuasaan' dan 'pemerasan,' tidak selalu demikian dalam mata penduduk." Rupanya orang harus teringat akan nota yang ditulis Bupati Demak Pangeran Aryo Hadiningrat kepada gubernemen di tahun 1899: "Pemerintah mengira bahwa merekalah yang menentukan hukum, tetapi sesungguhnya bukan demikian halnya. Di desa-desa penduduk menentukan hukumnya sendiri." Pangeran Aryo Hadiningrat adalah paman Raden Ajeng Kartini. Di tahun 1900, kemenakannya ini, biar pun pengagum Multatuli, menulis juga tentang Para asisten wedana yang terpaksa mau menerima hadiah dari orang di bawahnya: "Jangan hakimi mereka terlalu keras, Stella .... " NAMUN mungkin jaman sudah berubah. Bukankah kita hidup 120 tahun sesudah kekhilafan Douwes Dekker? Apa yang dulu disebut sebagai pundhutan yang diminta kepada penduduk untuk upacara komunal dan suci -- dan diterima sebagai sesuatu yang sah oleh rakyat -- kini mungkin terasa sebagai "pungutan" dengan paksaan. Barangkali pula kini kita merasa berhak untuk menghakimi lebih keras. Para camat kini toh tak usah menggadaikan gelang isterinya buat membiayai usaha penguberan penjahat, dan sang bupati toh kini tak punya hubungan "batin" apa pun lagi dengan kita. Operasi Tertib jangan-jangan salah satu klimaks dari perubahan kebudayaan yang selama ini telah terjadi. Itu, terutama jika ia didukung secara luas oleh rakyat . . . Atau mungkinkah ia justru pemula dari perubahan nilai-nilai secara lebih keras? Pada saat kita menyatakan tidak sah pemberian barang atau jasa kepada orang"di atas," pada saat itu kita mengubah pandangan tentang apa sebenarnya seorang pejabat: ia bukan lagi si "bapak" yang lengkap, melainkan cuma petugas di kantornya. Dan pada saat kita diwajibkan membayar pajak secara benar, pada saat itu pula kita cenderung untuk melihat konsekwensi dari pajak itu. Kita mungkin mulai merasakan bahwa pajak adalah tanda iuran kita dalam bernegara. Soalnya ialah: adakah kita kemudian dihargai dengan hak untuk tahu buat apa saja iuran itu? Dengan kata lain, kita akan sampai pada masalah demokrasi. Mungkin tidak dalam bentuk yang kita bayangkan, dan kita praktekkan, selama ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus