OPSTIB mungkin sebuah "revolusi kebudayaan," dari atas.
Mungkin kita menyadari ini. Mungkin tidak. Mungkin kita seperti
Douwes Dekker yang jadi asisten residen di Lebak dan kemudian
jadi termashur sebagai Multatuli yang menulis Max Havelaar. Tapi
mungkin kita memang telah berada di jaman lain -- dan siapa tahu
tak mengulangi kesalahan Dekker di abad 19.
Sebab nampaknya memang ada yang keliru pada Douwes Dekker.
Seperti kita ketahui, dari catatan sejarah, 22 Januari 1856
Douwes Dekker tiba di Lebak, Banten. Ia merupakan orang pilihan
pribadi Gubernur Jenderal Duymaer van Twist untuk jadi asisten
residen di daerah yang miskin itu. Sang Gubernur Jenderal
menyukai orang yang "dapat merasakan nasib orang-orang pribumi"
itu, dan ia memang keras terhadap penyelewengan: "Saya ingin
sekali menghentikan penyelewengan-penyelewengan, dengan
sungguh-sunaauh, dengan kekuatan penuh, bahkan dengan kekerasan"
begitu tulis van Twist dalam sepucuk suratnya.
Dan di Lebak, dalam beberapa jam saja, Douwes Dekker merasa
telah memergoki apa yang dikiranya sebagai "penyelewengan":
Raden Adipati Kartanatanegara, bupati Lebak, baginya telah
menghisap rakyat, memanfaatkan tenaga dan harta rakyat lebih
dari yang semestinya.
Dengan segera Dekker bertindak. Tapi seperti pernah disinggung
oleh B. Suharso dalam buku kecil Korupsi di Indonesia (Bhratara,
1968) dan sebelumnya oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam
disertasinya tentang pemberontakan di Banten tahun 1888, ada
soal perbedaan penilaian dan kesalah-fahaman di situ. Pengarang
Belanda kelahiran Indonesia, Rob Nieuwenhuys, dalam sebuah
risalah yang tahun ini terjemahannya diterbitkan Pustaka Jaya
dengan judul Hikayat Lebak, menguraikan dengan tajam hasil
penelitiannya sebagai kritik kepada Douwes Dekker: "Apa yang
dalam mata orang Barat disebut sebagai 'sewenang-wenang,'
'penyalahgunaan kekuasaan' dan 'pemerasan,' tidak selalu
demikian dalam mata penduduk."
Rupanya orang harus teringat akan nota yang ditulis Bupati Demak
Pangeran Aryo Hadiningrat kepada gubernemen di tahun 1899:
"Pemerintah mengira bahwa merekalah yang menentukan hukum,
tetapi sesungguhnya bukan demikian halnya. Di desa-desa penduduk
menentukan hukumnya sendiri."
Pangeran Aryo Hadiningrat adalah paman Raden Ajeng Kartini. Di
tahun 1900, kemenakannya ini, biar pun pengagum Multatuli,
menulis juga tentang Para asisten wedana yang terpaksa mau
menerima hadiah dari orang di bawahnya: "Jangan hakimi mereka
terlalu keras, Stella .... "
NAMUN mungkin jaman sudah berubah. Bukankah kita hidup 120 tahun
sesudah kekhilafan Douwes Dekker? Apa yang dulu disebut sebagai
pundhutan yang diminta kepada penduduk untuk upacara komunal
dan suci -- dan diterima sebagai sesuatu yang sah oleh rakyat --
kini mungkin terasa sebagai "pungutan" dengan paksaan.
Barangkali pula kini kita merasa berhak untuk menghakimi lebih
keras. Para camat kini toh tak usah menggadaikan gelang
isterinya buat membiayai usaha penguberan penjahat, dan sang
bupati toh kini tak punya hubungan "batin" apa pun lagi dengan
kita.
Operasi Tertib jangan-jangan salah satu klimaks dari perubahan
kebudayaan yang selama ini telah terjadi. Itu, terutama jika ia
didukung secara luas oleh rakyat . . .
Atau mungkinkah ia justru pemula dari perubahan nilai-nilai
secara lebih keras? Pada saat kita menyatakan tidak sah
pemberian barang atau jasa kepada orang"di atas," pada saat itu
kita mengubah pandangan tentang apa sebenarnya seorang pejabat:
ia bukan lagi si "bapak" yang lengkap, melainkan cuma petugas di
kantornya. Dan pada saat kita diwajibkan membayar pajak secara
benar, pada saat itu pula kita cenderung untuk melihat
konsekwensi dari pajak itu. Kita mungkin mulai merasakan bahwa
pajak adalah tanda iuran kita dalam bernegara. Soalnya ialah:
adakah kita kemudian dihargai dengan hak untuk tahu buat apa
saja iuran itu?
Dengan kata lain, kita akan sampai pada masalah demokrasi.
Mungkin tidak dalam bentuk yang kita bayangkan, dan kita
praktekkan, selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini