BICARANYA masih tetap lincah lepas dan kadang berapi-api.
Suasana di ruman kediamannya pun makin santai pula tampaknya.
Tak lagi memakai seragam Menteri, di siang yang panas itu dia
membuka jas dan sedikit menggulung lengan kemeja putihnya. Dia
juga nlerasa lebih santai untuk menerima tamunya di bagian ruang
tamu yang tak ber-AC. Itulah Adam Malik, 60, pejoang '45, bekas
anggota KNIP semasa zaman revolusi dan bekas Menlu Rl yang
paling lama memegang jabatan itu (11 tahun).
Termasuk orang Indonesia yang paling sering ke luar negeri, kini
sebagai Ketua DPR/MPR ia tentu akan lebih ban.yak berada di
posnya yang baru. Setidaknya tokoh yang merasa dekat dengan
rakyat dan cepat bicara itu berjanji akan lebih sering
berkunjung ke daerah. "Saya tentu saja tak ingin menjadi stempel
saja, tapi akan lebih banyak menampung keinginan rakyat,"
katanya pekan lalu. "Itupun sesuai dengan kehendak Presiden yang
ingin melihat DPR yang lebih hidup."
Apa saja harapan-harapannya tem tang DPR yang baru ini?
Bagaimana pula bekas Menlu yang punya nlotto "semuanya bisa
diatur" itu akan "mengatur" rolnya dalam lembaga tertinggi
perwakilan rakyat yang baru ini?
Semua itu bisa diikuti dalam wawancara tim wartawan Tl.MIO
(Fikri Jufri, Budiman S. Hartoyo, Zulkifly Lubis dan Susanto
Pudjomartono) yang merupakan wawancara resmi pertama Adam Malik
sebagai Ketua DPR/MPR RI. Beberapa petikan: Belum lama ini pak
Adam mengatakan, sesudah menjadi Ketua DPR tak akan banyak omong
lagi. Apalah ini tah bertentangan dengan sifat bapak yang suka
bicara terbuka? Sifat saya tak akan berubah. Dalam parlemen saya
tak bisa bicara begitu saja mewakili sekian banyak anggota.
Jadi harus disalurkan lewat fraksi-fraksi. Itu sesuai dengan
norma-norma yang saya kira berlaku di banyak negara. Saya ini
kan sekarang menjadi ketua kolektip. Jadi persoalan yang saya
hadapi itu tidak lagi langsung, seperti waktu menjabat
eksekutif. Mungkin pada waktu-waktu permulaan saya akan memberi
keterangan, tapi itu kan tak bisa setiap hari. Bosan orang
jadinya nanti.
Apa rencana bapak untuk membuat DPR yang baru ini lebih hidup
seperti juga diinginkan Presiden?
Pertama perlu ada teamwork di antara pimpinan yang kolektip.
Kedua, para anggota harus benar-benar menyadari bahwa mereka itu
wakil rakyat dan bukan tukang teken. Mereka perlu bertanya dalam
diri masing-masing: Apa tugas saya menurut UUD, apa pula hak-hak
saya? Dengan begitu akan bisa tercapai perimbangan dengan
eksekutif. Sebagai contoh adalah Carter. Di sana DPK-nya
dikuasai orang separtai Carter. Tapi begitu ia jadi Presiden,
kawan-kawan separtainya mulai menentangnya ketika membicarakan
soal anggaran belanja negara. Semangat seperti itulah perlu
difikirkan oleh eksekutif di sini. Ini kalau ingin Pancasila
agar lebih hidup. Jadi kalau nanti DPR bertentangan pendapat
dengan eksekutif, hal itu tak boleh dianggap sebagai memusuhi
atau ingin menjatuhkan pemerintah. Tapi harus dilihat sebagai
koreksi.
Apakah harapan seperti itu bisa dicapai, dalam keadaan seperti
sekarang?
Memang kondisi dan situasi sekarang sudah lain dengan dulu. Tapi
kita cobalah. Saya sendiri optimis. Kalau pesimis kan payah
namanya. Jadi, kalau ada harapan orang terhadap kedudukan saya
yang sekarang, itu tak heran. Sejak masa lampau pun orang
menaruh harapan terhadap saya.
Apakah bapak akan mendengarkan suratkabar?
Saya kira sebagai anggota parlemen, saya bisa menggunakan, opini
publik. Misalnya, apa benar kata suratkabar itu bahwa pejabat
keuangan anu telah menghamburkan uang lewat bank. Untuk
mengetahuinya, maka Menteri Keuangan bisa dipanggil melalui
fraksi. Cuma sebaiknya suratkabar itu mempunyai sumber informasi
yang benar. Seandainya contoh yang bapak kemukakan itu kelak
benar terjadi, dan suratkabar yang bersangkutan dicabut SlT-nya,
bagaimana?
Dalam hal ini, parlemen juga bisa memanggil Menteri Penerangan.
Sebagaimana juga mengusut seseorang yang mati dalam tahanan,
parlemen bisa menanyakan kepada Menteri sebab-sebab kematian
suratkabar itu. Apa memang dibunuh atau bunuhdiri?
Apa yang menurut pak Adam paling harus diperjoangkan oleh DPR
yang baru?
Nomor satu adalah hak-hak demokrasi yang perlu diperhatikan.
Nomor dua, jangan lupa soal perut. Ini prioritasnya yang
sekarang harus diperhatikan. Sebab selama 10 tahun orde baru,
sudah kita lewati beberapa tahap perbaikan.
Pada mulanya PKI kita ganyang. Inflasi kita tekan, lalu
perbaikan dan pembuatan prasarana sampai masuknya modal asing.
Ini semua sudah kita lewati. Jadi kalau saya sekarang bilang:
Kita akan melawan PKI, nanti rakyat tertawa.
Jadi yang perlu sekarang itu adalah hak demokrasi, dan hak
perut. Jangan sampai modal asing bertambah banyak, tapi rakyat
kecipratan pun tidak. Jangan sampai ada keterangan tentang GNP
yang naik, tapi hasilnya tak langsung bisa dirasakan rakyat.
Maka dalam rencana pembangurian pun harus jelas, apa saja yang
merupakan bagian rakyat.
Coba dibaca baik-baik itu pidato Presiden di deyan DPR. Di situ
jelas disebutkan agar DPRlebih aktif melakukan fungsi
kontrolnya, terutama tentang RAPBN. Jadi nanti kalau RAPBN
bilang akan ada 100 sekolah lagi di Indonesia, DPR tentu harus
mempelajari, dan mungkin akan mengatakan: Mengapa tidak dibuat
200 sekolah?
Tapi untuk melakukarl penelitian begitu kan perlu tenaga ahli.
Sedang DPR kurang punya anggotaanggota yang tergolong ahli.
Bagaimana ini?
Itu kan soal mudah. Tenaga ahli kan bisa kita sewa.
Dari mana dananya untuk membayar tenaga ahli, pak. Sedang untuk
melakukan peninjauan ke daerah saja biaya yang diberikan itu
dirasakan kurang? Ada anggota DPR yang dalam melakukan tugasnya
mendapat tambahan biaya dari Departemen yang bersangkutan, atau
dari Pemerintah Daerah.
Itulah. Soal bujet itu memang harus dibicarakan lagi dengan
Pemerintah. Bagaimana mungkin wakil rakyat melakukan fungsi
kontrolnya kalau dana yang disediakan itl kurang. Tapi dalam
melakukan perjalanan, kalau ada persetujuan ke empat fraksi,
sebaiknya dibatasi orangnya. Jangan sampai seperti suatu
ekskursi.
Sebagai bekas eksekutif, apa kesan bapak tentang DPR 1971?
Kritik saya. para anggota banyak yang bersikap pasif saja.
Mengapa DPR tak menggunakan seluruh hak mereka? Mengapa tak
pernah lahir suatu RUU yang datang dari mereka? Mengapa tak
kedengaran ada hak interpelasi, hak angket dan sebagainya?
Tampaknya banyak juga yang ingin pak Adam lakukan dalam DPR.
Seperti sudah saya katakan tadi, saya ingin melaksanakan apa
yang dipidatokan Pak Harto dalam pelantikan anggota DPR. Itupun
sudah saya sampaikan kepada Presiden ketika belia menannyakan
pada saya. Dan Presiden setuju itu.
Melihat sejarah DPR kita, apa bapak nantinya tak menjadi
semacam Don Kisot?
Don Kisot 'kan tidak punya senjata. Saya punya.
Apa gerangan senjata bapak itu? Pidato Presiden. Biar nanti saya
bacakan berulang-ulang, kalau sampai ada anggota DPR yang belum
membacanya. Presiden sendiri menginginkan bahwa parlemen itu
lebih bergairah, lebih kritis. Itu pula salah satu sebabnya saya
diminta untuk jadi ketua. Omong-omong bagaimana sejarahnya
sampai bapak yang dipilih jadi ketua?
Begini. Sesudah pemilu kemarin timbul persoalan: Apakah akan
diteruskan tradisi lama yang memberikan kursi pimpinan pada
partai atau kepada Golkar yang mayoritas? Rupanya Golkar sebagai
pemenang tak ingin mengecewakan rakyat. Jadi kemudian diputuskan
untuk mencari orang dari Golkar yang secara politis mendapat
dukungan luas. Dalam kata-kata Presiden, yang "berbobot".
Kepada Presiden, sebelum saya berangkat ke luar negeri waktu
itu, saya kemukakan beberapa nama sebagai calon, yang tergolong
orang-orang muda. Tapi Presiden tetap beranggapan sayalah yang
lebih tepat, karena mendapat dukungan Golkar juga. Kalau
mengingat kepentingan pribadi, orang seumur saya ini lebih baik
minggir. Tapi sebagai pejoang, saya tentu tak ingin menolak
tugas yang dipercayakan kepada saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini