Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rusuh 22 Mei dan Benalu Demokrasi

KERUSUHAN yang terjadi di sejumlah lokasi di Jakarta pada Rabu dinihari, 22 Mei lalu, harus diusut tuntas. Perkara itu dengan dalih apa pun tidak boleh dibiarkan menguap begitu saja. Pelaku lapangan dan auktor intelektualisnya mesti mendapat sanksi hukum yang tegas.

8 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Opini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah tak boleh gentar membongkar habis-habisan kejahatan para pelaku dan dalang kerusuhan. Mereka mengobarkan amuk dengan dalih menolak hasil penghitungan suara pemilihan presiden 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum. Kendati belum ada pengumuman resmi dari kepolisian tentang korban huru-hara itu, disebutkan delapan orang hilang nyawa dan 737 lainnya terluka.

Unjuk kekerasan yang bermula dari kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, dan kemudian menyebar ke sejumlah lokasi lain itu amat kentara dirancang secara serius. Indikasinya, penyerangan terhadap petugas keamanan dan aksi kekerasan lain baru terjadi ketika massa yang memiliki izin unjuk rasa sudah membubarkan diri pada pukul 21.00. Selain itu, ditemukan ada pengiriman pelaku kerusuhan dari kota-kota lain.

Polisi sudah menyebut keterlibatan sejumlah pensiunan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia dalam insiden itu. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, Mayor Jenderal Purnawirawan Soenarko, telah ditahan karena diduga menyelundupkan senjata serbu untuk memanaskan kerusuhan 22 Mei tersebut.

Belakangan, muncul nama Kolonel Purnawirawan Fauka Noor Farid, yang ditengarai berperan merekrut komandan lapangan aksi kerusuhan. Fauka saat berpangkat kapten tergabung dalam Tim Mawar. Tim ini di Pengadilan Mahkamah Militer pada 9 April 1999 terbukti menculik sejumlah aktivis pada 1997-1998. Fauka divonis 1 tahun 4 bulan penjara, tapi tidak dipecat sebagai anggota TNI. Belakangan, Fauka bersama Soenarko tercatat sebagai pengurus Partai Gerindra.

Dari sisi lain, terdapat indikasi pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian saat mengamankan aksi massa. Penyerangan terhadap tenaga medis, penganiayaan terhadap anak di bawah umur dan jurnalis, serta dugaan penggunaan peluru tajam untuk meredam perusuh menjadi cerita lancung lain dari amuk 22 Mei.

Keterlibatan dua pensiunan tentara menambah panjang deretan orang yang diduga ikut menjadi pemicu kerusuhan 22 Mei lalu. Sebelumnya, bekas Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen, dan politikus Eggi Sudjana sudah ditahan polisi. Diduga ada nama-nama besar lain yang merancang dan terlibat dalam kerusuhan tersebut. Siapa pun dan bagaimana peran mereka harus dibuka lebar. Pelbagai klaim polisi tentang skenario rusuh mesti dibikin benderang di pengadilan.

Agar rusuh tak menjadi bom waktu pelanggaran hak asasi manusia, pemerintah harus membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF). Tim serupa pernah dibentuk untuk mengusut sejumlah perkara pelanggaran hak asasi manusia. Payung hukum yang bisa dipakai adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dipicu oleh kontestasi politik—Joko Widodo ikut berlaga di dalamnya—TGPF harus dipimpin dan diisi tokoh independen. Penempatan pejabat negara bisa menjadi masalah baru karena akan dengan mudah dituding sebagai upaya Jokowi menghabisi lawan politik. Para pegiat hak asasi manusia, tokoh masyarakat, serta akademikus yang memiliki rekam jejak bagus, kredibel, dan bebas kepentingan layak dipilih.

Jokowi mesti memastikan TGPF bekerja lurus dan profesional. Siapa saja yang terlibat, tidak terkecuali kontestan pemilihan presiden 2019, harus diproses hukum. Pengalaman buruk pembentukan tim sejenis untuk perkara pelanggaran hak asasi manusia, seperti kerusuhan 1998, peristiwa Talangsari, dan kematian Munir, yang tidak tuntas hingga kini, tak boleh terulang lagi. Penganiayaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, bahkan diusut oleh tim gabungan yang sebagian besar diisi anggota Kepolisian RI—lembaga yang dinilai tak netral dalam perkara ini.

Hasil TGPF mesti dibuka luas kepada publik dan tidak menjadi alat tawar politik untuk mengakhiri kegaduhan Pemilihan Umum 2019. Presiden hendaknya menyadari, jika tak dituntaskan, perkara huru-hara 22 Mei akan menjadi bom waktu yang tiap saat bisa meledak. Menewaskan delapan orang dan melukai ratusan lainnya, rusuh Mei akan selalu dikenang sebagai pelanggaran hak asasi yang tak jelas siapa pelaku dan dalangnya.

Membuat benderang kerusuhan 22 Mei, dengan menyeret otak dan penyandang dananya ke penjara, harus dijadikan momentum untuk mengakhiri sejarah politik kekerasan Orde Baru yang terus menempel dan menjadi benalu dalam demokrasi kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus