Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rute Baru Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono kini lebih leluasa memilih calon wakil presiden. Mutu pemerintahan dan demokrasi hendaknya jadi pertimbangan.

11 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah saat yang baik bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memperbaiki mutu pemerintahan dan demokrasi negeri ini. Yang harus dia lakukan bukan langkah sulit. Dia hanya perlu menetapkan pasangannya untuk maju kembali sebagai calon presiden tanpa mengikuti ”logika” berkoalisi, misalnya, dengan memilih tokoh di luar jalur partai. Di dalam daftar SBY toh sudah ada nama-nama dari luar partai politik.

Pilihan itu wajar. Dengan melihat partai-partai yang menjadi mitra koalisi Partai Demokrat, yang memajukan Yudhoyono sebagai calon presiden, sesungguhnya tak tampak figur yang elektabilitasnya semeyakinkan Yudhoyono. Jika dipertimbangkan pula masalah negara lima tahun ke depan, dengan ekonomi sebagai isu sentral, Yudhoyono memerlukan pendamping dengan keahlian dan kemampuan untuk bertindak tepat di bidang itu.

Tentu saja hal yang terakhir itu bukanlah saran untuk mutlak mempertahankan pembagian kerja seperti yang berlangsung sekarang. Sebab, sebenarnya, Yudhoyono kali ini justru lebih leluasa menentukan tugas wakilnya seperti amanat konstitusi. Lima tahun lalu ihwal ini mustahil dilakukan mengingat Partai Demokrat membutuhkan dukungan suara jauh lebih besar untuk bisa memajukan calon presiden sendiri. Demi memenangi dukungan Dewan Perwakilan Rakyat, SBY pun harus memberikan konsesi berupa peran ”pengatur” ekonomi kepada wakil presiden dari Partai Golkar. Dengan kata lain, kini presiden bisa bebas menentukan tugas wakilnya sesuai dengan kebutuhan.

Memang, dari situ bisa terbayang bahwa figur nonpartai sangat berpotensi memperumit hubungan dengan anggota koalisi dan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi jika figur itu bukan preferensi partai mana pun.

Justru di sinilah titik krusialnya: Yudhoyono bisa saja bertahan di ”zona nyaman” dan mempertahankan status quo yang tak memberikan manfaat apa-apa bagi demokrasi, kecuali menjadi panggung praktek ”dagang sapi”. Pilihan lain tersedia: dia mau ”lompat pagar” untuk meletakkan dasar baru demi praktek dan sistem politik yang lebih baik.

Zona nyaman itu: Yudhoyono menikmati ”stabilitas” pemerintahan karena berhasil merangkul begitu banyak partai. Di sini perbedaan bagai kumpulan debu yang disembunyikan di balik permadani. Langkah yang dijalankan bahkan sejak tahap menjaring calon wakil presiden ini sesungguhnya sangat kontraproduktif bagi kesehatan demokrasi, yang justru membutuhkan fungsi penuh yang berkuasa dan oposisi, yang perlu checks and balances setiap saat.

Masalahnya selama ini adalah ketiadaan keterampilan mengelola perbedaan. Maka perbedaan dan kritik cenderung dihindari. Karena itu, jika SBY terpilih kembali, ia harus memikirkan cara memperkuat hubungan dengan Senayan. Yang diperlukan barangkali staf kepresidenan yang berperan efektif sebagai penghubung antara presiden dan kubu oposisi.

Tentu tak semudah membalik telapak tangan. Tapi hanya inilah rute yang belum pernah ditempuh dan berpeluang membawa demokrasi kita melangkah maju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus