Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGKA pengguguran kandungan tanpa alasan medis di negeri ini sudah mencapai batas yang mengerikan. Diperkirakan 100 ribu perempuan di Jakarta ”membunuh” janinnya setiap tahun. Di seluruh negeri, dalam setahun 2,5 juta perempuan melakukan hal yang sama. Tingginya permintaan aborsi ini menciptakan pasar gelap. Dan tentu saja ”harga pasar” tindakan ilegal ini sangat mahal, karena tenaga medis amat terbatas.
Mengikuti hukum pasar, tak mengherankan bila kemudian datang para ”pemasok” jasa aborsi. Ada dokter ”nakal” yang melanggar sumpahnya untuk ”senantiasa melindungi makhluk insani”. Para bidan tak ketinggalan ambil bagian di jalur kaya duit ini. Mereka bekerja dalam sindikasi yang cukup rapi—seperti hasil investigasi majalah ini. Para makelar ikut beraksi menjaring konsumen, di bawah proteksi aparat yang korup.
Praktek gelap begini bisa ”meriah” lantaran aturan hukum yang ambigu. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tegas menggolongkan pengguguran janin secara paksa sebagai tindak kriminal. Namun Undang-Undang Kesehatan Tahun 1992 mengizinkan ”tindakan tertentu” demi menyelamatkan jiwa ibu atau janinnya. Seperti banyak beleid lain, ketidakrincian rumusan aturan aborsi ini menimbulkan celah yang bisa dimanfaatkan, terutama oleh mereka yang memang ”bandel”.
Sikap masyarakat pun mendua terhadap keabsahan aborsi. Ada gerakan pro-life, yang menganggap janin sebagai bakal manusia yang mempunyai hak hidup. Tak ada peluang setitik pun untuk melakukan aborsi. Ada lagi gerakan pro-choice, yang menganggap perempuan berhak memilih dan menentukan apa pun yang terjadi dalam tubuhnya. Dari sudut pandang agama, pastilah debat tentang keabsahan aborsi ini bagaikan jalan tak berujung.
Agak sulit melegalkan—atau melarang sama sekali—praktek aborsi di negara ini. Karena itu, pengaturan terperinci perlu dibuat untuk menghindari moral hazard para dokter yang mengeruk keuntungan besar. Satu mekanisme bisa diterapkan, umpamanya setiap aborsi harus dilaporkan, tidak boleh dikomersialkan, dan hanya bisa dilakukan di rumah sakit pemerintah.
Pengguguran kandungan yang dilakukan di rumah sakit pemerintah setidak-tidaknya didasarkan pada indikasi medis—itu pun kalau dokter di rumah sakit itu tak ikut-ikutan ”tergoda untuk bermain”. Sedangkan larangan mengkomersialkan aborsi penting agar praktek ini tak menjadi lahan bisnis. Kini tarif selangit aborsi ditentukan sepihak oleh dokter atau kliniknya.
Organisasi profesi dokter kebidanan pun perlu lebih aktif mengendalikan praktek aborsi. Kita tahu, mereka terkesan gagap menanggapi keterlibatan anggotanya dalam skandal aborsi yang dibongkar kepolisian. Kita juga belum pernah mendengar adanya ”pengadilan profesi” terhadap dokter yang terlibat praktek gelap. Akibat tak ada ketegasan, dokter yang pernah dihukum untuk pidana aborsi bisa berpraktek kembali setelah bebas.
Tentu saja, sisi demand juga perlu ditangani. Tugas kita semualah untuk menjaga kehamilan yang tak dikehendaki. Akses pelayanan keluarga berencana agaknya perlu dibuka tidak hanya untuk pasangan menikah. Soalnya, banyak perempuan yang tidak berada dalam ikatan pernikahan tapi aktif secara seksual.
Keluarga Berencana pun kini tak lagi menjadi program prioritas pemerintah. Akibatnya, kelompok miskin kesulitan memperoleh alat kontrasepsi. Muncullah kasus kehamilan yang tak dikehendaki.
Tanpa pengaturan sisi supply dan demand itu, bisnis gelap aborsi akan semakin subur dan melibatkan lebih banyak pemain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo